Sabtu, 30 Agustus 2008

Menjadi Manusia Yang Lebih Baik Dari Hari Kemarin.

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Ada sebuah pertanyaan yang agak bodoh. Jika orang ditanya; “Mau pilih untung atau rugi?” Pastilah dia memilih untung. Memangnya siapa diantara kita yang mau rugi? Apalagi kalau ditanya; “Kamu mau bangkrut atau tidak?” Hah! Rugi saja tidak mau, apalagi kalau sampai bangkrut. Ya jelas tidaklah. Tapi, tunggu dulu. Kira-kira, mengapa ada orang yang begitu dungunya hingga bersusah payah menyampaikan pertanyaan pilon itu? Ternyata pertanyaan itu memang layak diajukan kepada kita. Karena, meskipun secara konsepsi kita tidak ingin rugi, namun perilaku kita sehari-hari menunjukkan bahwa kita sedang menuju kepada kerugian. Anda yang merasa tidak pernah rugi dalam berbisnis mungkin menyangkalnya. Namun, benarkah demikian?

Jaman dahulu kala, ada seorang lelaki yang dijuluki sebagai ‘Al-Amien’. Artinya, orang yang terpercaya. Dikemudian hari, Al-Amien ini disebut-sebut sebagai Sang Utusan. Pada suatu hari, beliau melintasi sebuah kota. Kepada orang-orang dikota beliau bertanya; “apakah kalian tahu apa artinya untung, rugi, dan bangkrut?” Sungguh, itu pertanyaan gampang. Sehingga setiap orang bisa menjawabnya dengan mudah. Namun, tak satupun dari jawaban itu yang memuaskan sang utusan. Lalu dia berkata “Orang-orang yang beruntung adalah mereka yang dihari ini, lebih baik dari hari kemarin. Mereka yang tidak lebih baik dari hari kemarin, adalah orang-orang yang merugi. Sedangkan jika dihari ini dirinya lebih buruk dari hari kemarin, maka mereka adalah orang-orang yang bangkrut.”

Jadi untuk menilai apakah kita untung, rugi atau bangkrut caranya sederhana, yaitu; membandingkan hari ini dengan hari kemarin sebagai acuan. Jika kita bisa menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka kita sungguh menjadi orang yang beruntung itu. Namun, seandainya kita hanya bisa menjalani hari ini dengan nilai yang setara dengan hari kemarin, maka sesungguhnya kita ini merugi. Apalagi seandainya dihari ini, perilaku kita, sikap kita, cara berpikir kita lebih buruk dari hari kemarin. Maka, kita masuk kedalam kelompok orang-orang yang bangkrut.

Kita cenderung menggunakan jumlah uang, harta kekayaan, dan kesuksesan dalam karir untuk mengukur untung dan rugi. Hari ini, kita diajak untuk melihat untung dan rugi dengan perspektif lain. Dengan menggunakan konsep ‘pertumbuhan’. Yaitu, konsep untuk bertumbuh. Terus bertumbuh. Dan terus bertumbuh dari hari kemarin, menuju ke hari ini, dan melanjutkannya ke hari esok. Konsep ini, tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang sedang membangun kesuksesan non-material belaka. Anda yang tengah berfokus kepada kesuksesan material juga bisa menggunakannya sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja kapital anda. Jika anda mendapatkan seribu rupiah kemarin, anda mesti mendapatkan lebih dari seribu hari ini. Jika tidak, maka artinya anda rugi, atau malah bangkrut. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, uang seribu rupiah hari ini nilainya lebih rendah dari seribu rupiah kemarin sebagai konsekuensi dari inflasi. Jadi, hikmah yang diajarkan seribu limaratus tahun lalu ini sungguh sangat relevan dihari ini.

Tapi, memang benar bahwa untuk sesaat kita perlu keluar dari alam materialistik menuju kepada dimensi non-materialistik. Toh, tubuh kita terdiri dari dua bagian penting; fisik dan non-fisik. Komponen fisik dibangun oleh unsur-unsur material. Sedangkan komponen non-fisik disusun oleh unsur-unsur non-material. Oleh karenanya, untuk menjadikan diri kita utuh; kita harus bersedia menembus hal-hal non-material itu.

Dalam perspektif non-fisik, konsep ini mengisyaratkan dua aspek penting. Aspek pertama berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan atau keahlian. Pendek kata, kita ditantang untuk memastikan bahwa pengetahuan kita hari ini lebih banyak atau lebih baik dari hari kemarin. Maknanya? Kita mesti benar-benar menerapkan apa yang biasa kita sebut sebagai ‘long life learning process’. Ibu saya yang tidak berbahasa Inggris menasihatkan;‘Ulah liren diajar’. Artinya, ‘jangan pernah berhenti belajar’. Dan itu betul. Sebab, jika kita berhenti belajar, maka pengetahuan kita dihari ini tidak lebih baik dari hari kemarin. Jika demikian, kita tidak termasuk orang yang beruntung.

Aspek kedua berhubungan dengan perilaku, sikap serta tindak-tanduk kita. Aspek ini bisa menjadi lebih penting bobotnya dari yang pertama. Karena, kita sudah tahu bahwa sikap bisa berarti segala-galanya. Orang yang sikapnya buruk, kemampuan belajarnya juga buruk. Sehingga dengan sikap buruk, kita tidak bisa mengadopsi keterampilan dan keahlian yang lebih baik. Seorang karyawan yang bersikap buruk ditempat kerja, tidak akan bersedia untuk mempelajari hal baru. Menangani tugas-tugas tambahan. Atau melatih diri untuk mengasah keahlian. Seorang karyawan yang berpikiran dan berprasangka buruk pun demikian. Apapapun yang dilakukan atasannya, akan dicurigai dan disikapi dengan buruk.

Sebaliknya, orang-orang yang bersikap baik. Berpikir positif. Membuka diri terhadap kritik. Pastilah akan mendapatkan peningkatan bermakna hampir dalam segala hal. Bahkan, sekalipun memang benar bahwa atasannya memperlakukan dia secara tidak adil. Memangnya, kita bisa selalu bersikap positif untuk setiap tindakan buruk yang dilakukan oleh orang lain kepada kita? Memangnya, kita selalu bisa bersikap positif untuk peristiwa-peristiwa menyakitkan yang menimpa kita? Tentu saja bisa. Mengapa? Karena, kita semua mengetahui dan meyakini bahwa dalam setiap peristiwa; ada sisi baik dan ada sisi buruk. Bahkan, kejadian yang baikpun ada sisi buruknya. Sebaliknya, peristiwa buruk selalu ada sisi baiknya. Itulah sebabnya kita mempunyai istilah; ‘dua sisi mata uang’. Mana ada uang yang hanya memiliki satu sisi? Sikap yang baik akan membantu kita untuk selalu menemukan sisi baik dari hal apapun yang kita hadapi.

Sampai disini, jelas sudah bahwa sesungguhnya, ‘Al-Amien’ mengajari kita tentang sebuah prinsip sederhana, yaitu; “manjadi manusia yang lebih baik, dari hari kehari.” Bisakah anda membayangkan seandainya kita menjadi lebih baik setiap hari? Tentu pencapaian kita akan semakin baik dari hari ke hari juga.

Tapi tunggu dulu. Pelajaran kita belum selesai. Sebab, kedua aspek non material yang baru saja kita bahas itu baru menyentuh alam duniawi. Bagi kita yang meyakini bahwa selain dunia ini juga ada alam akhirat; tentu tidak cukup jika hanya mementingkan dan memperjuangkan urusan dunia saja. Urusan akhirat sama pentingnya. Sehingga kalimat itu selengkapnya berbunyi; ‘menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari dimata Tuhan’. Semakin hari, hati kita semakin bersih. Niat kita semakin tulus. Dan kepatuhan kita kepada kehendak Tuhan menjadi semakin tinggi. Bisakah anda membayangkan seandainya dimata Tuhan kita bisa menjadi hamba yang lebih baik setiap hari? Tentu nilai kemanusiaan kita akan semakin meningkat dari hari ke hari juga.

Dan, jika kita ingat doa yang paling sering kita panjatkan. Doa yang berbunyi; “Tuhan, berikanlah kepadaku kebaikan didunia, dan kebaikan diakhirat.” Tentu kita juga akan sadar bahwa menjadi lebih baik dalam urusan dunia saja, tidaklah cukup. Mungkin kita untung secara duniawi. Pengetahuan kita semakin bertambah. Keterampilan kita semakin tinggi. Penghasilan kita semakin banyak. Rumah kontrakan diganti menjadi hunian cicilan. Sepeda motor beroda dua berubah menjadi mobil. Dari naik angkot menjadi menyetir mobil sendiri. Tapi, kalau nilai akhirat kita tidak menjadi lebih baik apa artinya? Apalagi jika semua peningkatan dan kenikmatan hidup itu semakin menjauhkan diri kita dari aturan Tuhan. Kita untung untuk ukuran dunia, tapi merugi berdasar kriteria akhirat.

Ini sungguh sesuatu yang sangat menakutkan. Menakutkan, karena hidup didunia ini hanya tinggal beberapa saat. Belum tentu umur kita sampai ke tahun depan. Betapapun berhasilnya kita secara duniawi, kenikmatannya hanya bisa dirasakan sementara. Sedangkan akhirat? Dia abadi. Selamanya. Menakutkan jika hanya sempat mengecap nikmat didunia sesaat. Namun, tidak dapat mengecap nikmat akhirat.

Jika nikmat dunia kita bertambah, namun cara kita bertingkah polah semakin buruk; kita benar-benar bangkrut. Hari ini, sudah Tuhan anugerahkan nikmat yang lebih banyak dari hari kemarin. Tapi, hari ini; kita terlenakan dengan kenikmatan itu. Sampai-sampai kita berpikir; ‘kapan lagi menikmatinya’. Lalu kita mengumbar semua keinginan. Oh, bagaimana seandainya Tuhan menjadi marah. Marah karena Dia sudah memberi kita nikmat lebih banyak. Namun, bukannya kita menjadi semakin mendekat. Sebaliknya, kita malah menjadi lebih berani menghujat hukum-hukumNya.

Rugi. Bukanlah tentang berapa uang kita yang hilang. Bangkrut. Bukan tentang bisnis yang tumbang. Melainkan tentang gagalnya diri kita untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah. Manusia. Yang beruntung.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Hanya karena merasa diri lebih baik dari orang lain, tidak berarti kita boleh berhenti disini. Karena, kesempurnaan itu tiada lain adalah sebuah proses perbaikan diri yang tidak pernah berhenti.

Minggu, 24 Agustus 2008

Simply A Terimakasih

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Anda tentu masih ingat tentang frase ‘tidak tahu terimakasih’. Sebuah sebutan yang biasa kita gunakan untuk menggambarkan mereka yang melupakan orang-orang yang telah berjasa kepadanya. Tentu, ini bukan karena mereka tidak tahu bahwa seharusnya mereka berterimakasih, tapi; egonya terlampau besar untuk bisa mengakui hal itu. Lagi pula, mengapa harus berterimakasih jika hal itu justru akan menunjukkan seolah-olah kerberhasilan yang selama ini kita raih itu bukan dari hasil usaha kita sendiri. Padahal, sesungguhnya yang namanya ‘hasil usaha sendiri’ itu tidak ada. Hanya gara-gara anda membeli sendiri sayur ke pasar. Lalu mencuci. Dan kemudian memasaknya hingga matang. Anda tidak bisa serta merta menganggap bahwa anda menyediakan makanan itu sendiri. Memangnya, siapa yang bersedia belumur lumpur untuk menanam benih sayuran itu ketika masih berupa biji-bijian. Siapa yang bersedia membebani pundaknya membawa sayuran itu dari tengah sawah menuju kepasar didekat rumah? Dan siapa yang sudah memeras keringat memasangkan saluran air untuk mencucinya dipancuran keran air rumah kita?

Seorang sahabat bercerita tentang temannya dimasa lalu. Disaat segalanya masih serba alakardarnya, konon dialah yang memberikan bantuan ini dan itu kepada sang sahabat. Bahkan, ketika sahabatnya tidak memiliki sedikitpun makanan untuk disantap; dialah yang bersedia berbagi bekal untuk dinikmati bersama-sama. Ketika sahabatnya tengah sakit, dialah yang membawanya kedokter dan membelikan obat. Bertahun-tahun kemudian, sahabatnya sudah menjadi orang sukses. Jauh lebih sukses dari dirinya. Ketika baru-baru ini mereka kembali saling jumpa, segalanya sudah sangat berbeda. Kejadiannya agak kurang menyenangkan sehingga dia berkata dalam hatinya;’haruskah aku mengingatkannya tentang kebaikan-kebaikanku dimasa lalu?” Saya bertanya; ‘untuk apa?’ Dia berkata;”Untuk mengingatkan bahwa dia tidak akan pernah jadi orang kalau dulu tidak ada yang menolongnya!” Matanya melotot; “Dan itu adalah AKU!” lanjutnya.

Semakin kita menyadari bahwa kita ini tidak bisa hidup sendiri, selayaknya semakin kita sadari bahwa diluar diri kita, begitu banyak peran yang dimainkan oleh orang lain. Ada peran orang lain dalam sukses kita. Ada peran orang lain dalam sehat kita. Ada peran orang lain, dalam segala kenikmatan hidup kita. Tapi, kadang kita lupa akan semuanya itu. Kita masih suka mengira bahwa meskipun kita ini mahluk sosial. Mahluk yang hanya bisa meraih kesempurnaan hidup jika dan hanya jika berinteraksi dan saling mengisi dengan orang lain. Namun, kita suka berkata;”ini adalah hasil kerja keras dan jerih payah gue!” Kita lupa, bahwa ada kontribusi orang lain ketika ’sang gue’ bekerja keras dan berjerih payah. Seorang atasan yang sukses, lupa bahwa kesuksesannya sangat ditentukan oleh kontribusi para bawahan. Seorang bawahan yang sukses, berkata; ”Lihatlah, tanpa atasan gue, gue bisa berhasil juga.” Kita, kadang-kadang mengingkari kemahluksosialan kita sendiri.

Kata terimakasih memiliki dimensi vertical, juga horizontal. Secara horizontal, dia merupakan mantra yang paling ampuh untuk menarik energi positif mendekat kearah kita. Ketika kita mengucapkan terimakasih kepada orang yang telah berbuat kebaikan kepada kita misalnya; maka energi yang keluar dari kata terimakasih itu memberikan vibrasi positif yang membangkitkan kenikmatan disekujur tubuh orang yang ditujunya. Tepat disaat mendengar ucapan terimakasih dari kita; dia merasa bahagia. Dan perasaan bahagia itu menghubungkannya dengan penemuan bahwa; ternyata berbuat baik kepada orang lain itu rasanya membahagiakan.

Itulah sebabnya mengapa orang yang telah berbuat kebaikan secara tulus. Lalu, diberi ucapan terimakasih secara tulus pula cenderung untuk melakukan kebaikan yang lebih banyak. Dan hal ini merupakan satu pertanda lain bahwa kebaikan itu menimbulkan ketagihan. Artinya, orang-orang yang sudah merasakan betapa indahnya berbuat kebajikan cenderung untuk mencari keindahan lain dengan cara berbuat kebajikan lain. Semakin indah. Semakin nikmat. Semakin bersemangat. Sehingga, kebaikan terus meluncur dari jemari tangannya. Laksana mata air yang tidak pernah kering.

Jika kita ingat bahwa Tuhan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik, maka pastilah kita ingat pula bahwa semakin banyak kita berbuat baik, semakin banyak pula pahala yang Tuhan berikan. Jadi, jika kita semakin bersemangat untuk berbuat kebaikan karena orang berterimakasih pada kita, sesungguhnya yang diuntungkan adalah kita. Sebab, dengan ucapan terimakasih orang itulah kita akhirnya berbuat kebaikan lain. Dan mendapatkan pahala lain dari Tuhan. Jadi, jika kita yang untung gara-gara termotivasi oleh orang yang mengucap terimakasih kepada kita; siapa sesungguhnya yang paling berjasa diantara kita? Siapa yang paling pantas untuk berucap terimakasih? Mereka yang yang kita tolong? Ataukah kita yang menjadi semakin terdorong? Jangan-jangan, kitalah yang harus berterimakasih itu….

Secara vertical, kata terimakasih memiliki makna yang khusus pula. Lagipula, bukankah memang sudah sepantasnya kita berterimakasih kepada Tuhan? Sebab tidak ada satupun peristiwa yang terkait dengan kita tanpa campur tangan Tuhan. Telinga kita, mata kita, tangan kita, jiwa, bahkan hidup kita seluruhnya adalah bukti nyata bahwa terimakasih kita kepada Tuhan bisa menjadi tiada berbatas. Makanya, pantaslah jika Dia berkata: “Jika engkau menghitung-hitung nikmatku, maka pastilah engkau tidak bisa menghitungnya.” Sampai disini, kalimat itu masih tidak bisa dibantah. Sebab, memang nikmat Tuhan itu begitu melimpah. Sehingga kita tidak mungkin menghitung dan menginventarisirnya satu demi satu. Dan konon, Tuhan juga mengatakan bahwa; “Sesungguhnya, jika kamu bersyukur; maka Aku akan menambahkan kenikmatan yang disyukuri itu berkali-kali lipat.....”

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Kadang kita mengharapkan orang lain mengucapkan terimakasih kepada kebaikan-kebaikan yang kita lakukan untuk mereka. Namun, kita sering lupa bahwa kitalah yang sesungguhnya harus berterimakasih atas kesediaan mereka menerima apa yang kita lakukan untuk mereka.

Minggu, 17 Agustus 2008

Sebagai Individu, Apakah Kita Juga Sudah Merdeka?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang sebuah masyarakat tradisional yang beramai-ramai melakukan eksodus. Semua orang dikampung itu meninggalkan tanah kelahirannya begitu saja. Tahukah anda apa yang menyebabkan mereka melakukannya? Teka-teki itu mengarahkan dugaan para ahli arkeologi kepada kemungkinan adanya hewan buas yang mengancam keselamatan. Namun, ternyata bukan. Ada wabah penyakit yang mematikan? Bukan. Tahayul yang sangat menakutkan? Juga bukan. Lantas apa? Rupanya, mereka pergi karena sudah selama bertahun-tahun tidak turun hujan. Padahal, hujanlah satu-satunya sumber kehidupan yang menumbuhkan tetumbuhan, dan menghidupkan binatang-binatang buruan. Dengan ketiadaan hujan, tak ada lagi yang bisa menghidupi mereka. Maka, hengkanglah mereka dari tempat itu.

Sudah sejak beratus-ratus tahun lamanya sang kepala suku memimpin ritual upacara meminta hujan. Dengan diiringi nyanyian dan puji-pujian serta tari-tarian; dia memanjatkan doa. Meminta supaya sang penguasa langit bersedia menurunkan hujan. Dan penguasa bumi mau mengubah sosok hujan itu menjadi sumber kehidupan. Maka, selama ratusan tahun itu pula mereka selalu mendapatkan hujan yang diharapkan. Namun, beberapa tahun terakhir ini, ritual itu sudah tidak seampuh dulu lagi. Hujan tidak lagi kunjung tiba, meski ritual dan doa-doa itu terus dikumandangkan. Ketika sirna segala harapan, maka pilihan terakhir yang mereka bisa lakukan adalah; pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan tempat penuh kenangan. Meninggalkan segala peradaban yang pernah mereka bangun selama beratus-ratus tahun.

Bertahun-tahun kemudian, seseorang datang ke desa yang tidak lagi bertuan itu. Kemudian, dia menurunkan tongkat kayu yang digunakan untuk menyangga bungkusan bekal dipundaknya. Lalu, dia menggunakan tongkat kayu itu untuk menggali. Setelah sekian lama menggali dalam susah dan payah, akhirnya dia menemukan tanah yang basah. Wajahnya berubah menjadi cerah. Ada seberkas harap tersamar disana. Dia terus menggali. Sekarang, dia menemukan tetesan-tetasan air. Dia terus menggali. Sekarang ada sebuah lubang kecil dimana air itu memancar. Dia terus menggali. Sekarang lubang yang digalinya sudah berkembang menjadi kubangan. Dia menggali lagi. Waaah, sekarang, kubangannya telah berubah menjadi sebuah sumur!

Mungkin kita mengira bahwa orang-orang primitif itu kurang cerdas. Mereka tidak cukup pintar untuk berpikir tentang menggali sumur. Sehingga, mereka percaya bahwa ritual doa yang sudah digunakannya selama beratus-ratus tahun itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan air kehidupan. “Yah, namanya juga orang primitif,” barangkali kita menganggap demikian. Tapi, tidakkah kita ingat bahwa kita yang mengklaim diri sebagai manusia modern ini sering sekali bertindak dan bersikap layaknya manusia-manusia primitif?

“Maksud eloh?”
Maksud saya; kita sering ingat untuk berdoa, namun sering lupa untuk menggali. Kita meminta sesuatu, tapi lupa bahwa untuk mendapatkannya kita harus bersedia membayar harganya. Kita mengira bahwa semua hal yang kita inginkan dimuka bumi ini bisa didapatkan hanya dengan sekedar meminta. Padahal. Tidak. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika begitu banyak hal yang kita dambakan, tetapi tidak kunjung kita dapatkan. Kita sering merasa patah arang karenanya. Tapi, kita jarang sadar, bahwa kita harus mengimbangi permintaan kita itu dengan usaha yang pantas. Yang bisa menjadi dasar kuat agar keinginan kita itu terkabulkan.

Kepada Tuhan kita berdoa; “Tuhan, berikanlah kepadaku ini dan itu.” Tetapi, tindakan kita tidak menunjukkan bahwa kita pantas mendapatkannya. Padahal, jika kita tahu Tuhan itu maha adil, itu berarti bahwa Tuhan akan memperlakukan manusia sesuai dengan kontribusi masing-masing bagi hidupnya. Tidak mungkin yang maha adil memberi lebih banyak dan lebih berkah kepada orang-orang yang berusaha lebih sedikit.

Kepada perusahaan, kita mengajukan tuntutan:”Naikkan gajiku sepuluh persen.” Tetapi, kualitas kerja kita tahun ini tidak ada bedanya dengan yang tahun lalu. Kita tidak menaikkan kinerja kita tahun ini sebesar 10% dari tahun lalu. Padahal, jika kita tahu perusahaan itu bukan badan amal, itu berarti perusahaan hanya akan sanggup menaikkan gaji karyawan jika pendapatannya juga ada peningkatan. Tidak mungkin perusahaan yang untungnya tidak bertambah, harus menanggung beban pembayaran semakin besar.

Kepada negara, kita meminta;”Penguasa. Penguasa. Beeerilah hambaamu uuuang. Beri hamba uang…. Beri hambaaa uuuuaaaaang.” Tetapi, kesempatan yang kita miliki sehari-hari tidak digunakan untuk melakukan tindakan produktif. Kita tidak datang dengan inisiatif. Padahal, jika kita tahu mereka itu penguasa, itu berarti bahwa mereka bukan abdi rakyat. Tidak mungkin yang bukan abdi rakyat mengabdi untuk rakyat.

Kita ini mirip manusia-manusia primitif. Ingat berdoa kelangit diatas, lupa menggali ketanah dibawah. Kita sering mengawang-awang dengan angan-angan dan keinginan yang menjulang. Namun, jarang ingat bahwa kaki kita menginjak tanah dimana usaha dan kerja keras diperlukan. Mungkin, itulah sebabnya guru mengaji saya dimasa kecil berkata;”Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri benar-benar melakukan perubahan-perubahan yang diinginkannya.”

Apakah itu bararti bahwa Tuhan berlepas tangan? Tuhan telah membuat hukum yang berlaku universal. Dan, alam sudah menandatangani naskah hukum itu. Jadilah dia hukum milik alam. Kita menyebutnya hukum alam. Dengan hukum itu, alam berjanji kepada Tuhan; jika suatu benda dijatuhkah dia akan meluncur ke tanah. Jika hutan digunduli, air tidak meresap kedalam tanah. Jika lingkungan dirusak, bencana alam merangsek. Alam juga berjanji bahwa; orang yang bekerja lebih baik, mendapatkan hasil yang lebih baik. Mereka yang menggunakan systemnya secara lebih efisien, menghasilkan kinerja yang lebih memuaskan. Manusia yang menggunakan waktunya untuk hal-hal positif, memperoleh hasil positif. Menurut pendapat anda; Kepada mahluk yang menyia-nyiakan hidupnya, alam akan memberikan apa?

Dengan hukum itu, Tuhan memberi manusia begitu banyak pilihan. Kamu mau jadi orang baik, silakan. Kamu mau jadi orang buruk juga boleh. Anda memilih untuk sukses, itu bagus. Anda lebih suka menjadi manusia gagal, tak ada halang rintang. Anda ingin menjadi pemenang? Selamat berjuang. Anda memilih menjadi pecundang? Siapa yang bisa melarang? Ya, Tuhan. Ternyata, Dia memberi manusia kesempatan untuk melakukan apa saja. Belok kiri. Atau belok kanan. Putar balik. Atau terus lurus kedepan. Bukankah itu yang kita sebut sebagai kemerdekaan?

Kemerdekaan yang tidak melulu soal bule-bule yang ngacir karena tidak tahan dengan ketajaman si bambu runcing. Kemerdekaan yang tidak semata-mata peringatan setahun sekali saat tujuh belasan, seperti hari ini. Dan upacara rutin di tahun-tahun sebelumnya. Ini tentang kemerdekaan individu yang sengaja diberikan Tuhan. Kepada setiap insan. Kemerdekaan untuk menjadi diri sendiri. Kemerdekaan untuk mengeksplorasi potensi diri. Kemerdekaan untuk berlomba menjadi manusia terbaik. Kemerdekaan untuk berkontribusi. Kemerdekaan. Untuk mengubah. Nasib. Diri sendiri.

Kemerdekaan untuk memilih hitam atau putih. Putih. Atau merah. Merah atau putih? Atau merah dan putih. Merah dicampur putih. Menjadi merah dan putih. Merah itu darah yang mengalirkan energi kehidupan. Putih itu hati yang bersih. Memilih merah dan putih, berarti memilih untuk menjadi manusia yang dipenuhi oleh energi untuk kehidupan, dengan disertai hati yang bersih. Sehingga dengan merah dan putih itu, kita berani memproklamirkan diri sendiri sebagai manusia yang mampu memberi makna positif bagi kehidupan. Karena, setiap tindak tanduk dalam hidup, selalu dibarengi dengan hati yang putih bersih. Merah saja tanpa putih, hanya menjadikan kita manusia yang berdaya saing tinggi, tapi tidak punya nurani. Putih saja tanpa merah, hanya menjadikan kita manusia pasrah yang tidak menghasilkan pencapaian bermakna. Merah dan putih memang harus disatukan. Menjadi satu warna utuh; merah putih. Lalu kita memeluknya erat. Hingga dia melebur dengan jiwa dan raga kita. Agar didalam dada kitalah. Sang merah putih itu. Berkibar.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Kita terlampau sering berbicara tentang kemerdekaan dalam konteks negara. Sehingga, kita sering lupa bahwa sebagai individu, kita juga sudah merdeka.

Senin, 11 Agustus 2008

Seberapa Besar Kapasitas Aktual Diri Anda?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Disekitar kita; begitu banyak orang hebat yang mengagumkan. Mereka memiliki kemampuan diatas rata-rata. Sehingga terlihat unggul dari manusia lainnya. Ketika dihadapkan pada suatu pekerjaan atau tugas tertentu, mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan lebih baik dari orang lain. Ketika mereka dihadapkan pada situasi sulit tertentu, mereka selalu bisa menangani kesulitan itu dengan lebih baik dari orang lain. Ketika prestasi mereka dievaluasi, track record-nya lebih cemerlang dari kebanyakan orang. Seolah-olah, mereka benar-benar manusia paling ideal untuk pekerjaan yang ditanganinya. Itu membuat kita bertanya; “Mengapa Tuhan memberikan talenta begitu hebatnya kepada dia? Sedangkan kepada saya tidak. Jika saya diberkahi kemampuan yang seperti itu, pasti saya akan berprestasi seperti orang itu.” Benarkah demikian?

Beberapa waktu lalu, saya merasakan bahwa kemampuan lap top saya sudah menurun sangat jauh sekali dari sebelumnya. Padahal, dia menggunakan processor yang pasti memadai untuk mendukung kinerja seorang perofesional. Kinerjanya yang semakin memburuk membuat saya tidak mampu menyembunyikan ketidaksabaran ini, sampai-sampai boss saya memergoki dan bilang; “Be patience Dadang, it is still processing…” katanya. “She has to perform faster if she still wants to work with me,” saya menyahut. Tapi, kecaman saya tidak membuatnya bekerja lebih cepat. Padahal, saya sudah melakukan clean disk, dan juga defrag. Akhirnya, minggu lalu saya mengirim memo kepada teman-teman di BT, bahwa saya mau lap top yang bisa bekerja lebih cepat.

Tak lama kemudian, lap top itupun masuk ke dalam klinik untuk diperiksa para dokter spesialis computer, sebelum kembali keruang kerja saya beberapa jam berikutnya. Tahukah anda, bagaimana kinerjanya sekarang? Wuish, she runs like a flash! Sampai-sampai saya terkejut dibuatnya. Sehingga saya tidak sabar untuk bertanya;”Man, elo apain tuch lap top gue?”

Teman BT saya berkata;”Ditambah RAM-nya jadi dua kali lipat, Pak.”
“Cuma begitu doank?”
“Iya. Hanya itu.” Jawabnya. Saya tahu dia bangga dengan hasil kerjanya. Dan saya sangat menghargai usahanya.
“Nggak elo ganti processornya?”
“Nggak Pak,” katanya. “Masih bagus, kok.” Lanjutnya.

Saat itu saya menyadari, bahwa processor adalah potensi atau kapasitas maksimal tentang apa yang bisa dilakukan oleh sebuah computer. Dalam diri manusia, itulah yang biasa kita sebut sebagai talenta atau bakat, alias kapasitas terpendam dalam diri seseorang. Dalam computer, fungsi processor itu penting pada saat kompuetr sedang diaktifkan untuk bekerja. Ini menentukan sampai sejauh mana fungsi computer itu bisa dimaksimalkan. Bagi manusia, fungsi talenta itu penting pada saat kita sedang bekerja atau melakukan suatu aktivitas. Ini menentukan sampai setinggi apa kita bisa berprestasi.

Sekarang, RAM itu apa? Mengapa meningkatkan RAM dua kali lipat bisa menaikkan kinerja processor computer itu sedemikan bermaknanya? RAM adalah sebuah playing ground. Tempat dimana file-file ditarik dari hard disk dan siap untuk diaktifkan. Dioperasikan. Diolah. Dieksekusi. Ditambah gambar ini dan itu. Meskipun kemampuan prosesornya tinggi, namun jika RAM-nya terlampau kecil untuk menampung file-file yang sedang diaktifkan, maka kinerja computer itu akan menjadi sangat buruk. Dia tidak bisa menjadi computer canggih. Manusia juga demikian. Meskipun talentanya besar. Potensi dirinya tinggi. Namun, jika kapasitas playing ground-nya terlampau kecil untuk menampung seluruh potensi diri itu, maka kinerjanya akan buruk juga. Dia tidak akan bisa menjadi manusia unggul.

Ngomong-ngomong, bukankah kita seringkali berbangga hati dengan menyebutkan bahwa; “manusia adalah super computer?” Jika klaim itu benar adanya; bukankah seharusnya kita bisa lebih hebat dari computer tercanggih sekalipun? Mungkin itu benar jika konteks yang kita maksud adalah talenta atau potensi diri yang kita miliki. Sebab, kita percaya bahwa kemampuan otak kita saja konon baru digunakan tidak sampai 5% saja. Tetapi, jika kita berbicara tentang actualized individual potential, maka kita harus bertanya ulang. Mengapa? Karena, kita sudah bertemu dengan begitu banyak orang yang sesungguhnya sangat berbakat, namun pencapaiannya tidak sampai kemana-mana. Sebab, orang-orang ini telah membiarkan playing ground-nya menjadi begitu kecil.

Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimana caranya memperbesar playing ground diri kita? Ada banyak cara. Satu, melatih diri untuk sesuatu yang lebih tinggi. Berapa banyak dari kita yang bersedia menantang diri sendiri untuk menguasai keterampilan-keterampilan baru? Kenyataannya kita sudah cukup puas dengan kemampuan yang kita miliki saat ini. Melatih diri untuk sesuatu yang baru itu menguras tenaga. Membutuhkan waktu. Dan memerlukan komitment. Mengapa kita harus bersusah payah begitu jika kita sudah puas dengan keadaan sekarang?

Dua, meninggalkan comfort zone. Ada banyak peluang baru dalam jarak setengah sentimeter dari diri kita. Namun, untuk meraihnya kita harus bersedia keluar dari zona kenyamanan kita. Mungkin kita harus meninggalkan kestabilan menuju kepada hal yang tidak menentu untuk sementara waktu. Kita perlu menyesuaikan diri kembali. Kita harus merevisi asumsi-asumsi diri. Dan banyak hal lagi yang mesti kita ubah. Tetapi, berapa banyak dari kita yang bersedia meninggalkan comfort zone seperti itu? Jika kondisi sekarang sudah membuat kita enak, mengapa kita harus meninggalkan kenyamanan ini untuk sesuatu yang beresiko dan penuh teka-teki?

Tiga, bersedia membayar harganya. Ketika kita melihat orang lain berprestasi tinggi, seringkali kita hanya melihat hasil akhirnya saja. Yaitu, berupa pencapaian hebat orang itu. Lalu, kita berkata; “Beruntungnya dia. Tuhan telah berbaik hati memberinya talenta yang hebat.” Kita tidak pernah tahu bahwa orang itu telah selama bertahun-tahun mengurangi jam tidurnya. Membuang kesenangannya bermain-main dengan game computer yang menyita begitu banyak waktu, tenaga dan biaya itu. Memeras pikirannya. Memaksa diri untuk berdisiplin tinggi. Dan hanya berfokus kepada hal-hal yang akan membawanya kepada peningkatan kualitas diri secara progresif.

Kita tidak pernah mengetahui semua kerja keras yang dilakukan oleh orang itu. Karena kita terlampau silau oleh hasil akhir yang dicapainya, sambil sesekali menelan ludah. Yang sebenarnya terjadi adalah; ‘Hanya setelah orang itu bersedia membayar semua harganya sajalah, dia baru bisa sampai kepada pencapaian itu.’ Lagi pula, kalau pun kita tahu pahit dan sulit serta terjal berlikunya jalan yang harus dia tempuh; belum tentu kita mau mengikuti jejak langkahnya, bukan? Padahal, ketiga hal itulah yang sesungguhnya telah berhasil menjadikan playing ground-nya menjadi semakin besar. Sehingga kapasitas dirinya juga menjadi semakin besar. Semakin besar. Dan semakin membesar. Sehingga tidak heran jika orang itu bisa meninggalkan manusia-manusia kebanyakan jauh dibelakangnya.

Jika dalam computer kita menyebutnya RAM, bagaimana dengan manusia? Bolehkah saya menyebutnya HAM? Ya. HAM. Human Activated Memory. Yaitu, memory yang tersimpan dalam diri kita, yang bisa kita gunakan untuk berurusan dengan hal-hal yang kita hadapi secara spontan. Memori itu berbahan dasar talenta. Yaitu, potensi yang tersimpan didalam diri kita. Betul-betul dilatih dan diolah sampai menjadi kemampuan actual. Sehingga, kapan saja kemampuan itu dibutuhkan, kita bisa memanggil dan mendayagunakannya secara spontan.

Anda boleh saja mengklaim diri berbakat bermain piano, misalnya. Tapi, jika bakat itu tidak diasah dengan sungguh-sungguh. Maka klaim anda hanya akan menjadi bualan belaka. Permainan piano anda tetap saja jelek. Anda boleh saja mengklaim bahwa diri andalah yang paling layak mendapatkan promosi itu, bukan pesaing anda. Karena anda mengira bahwa anda lebih senior. Lebih pintar. Lebih rajin. Tapi, jika klaim anda itu tidak didukung oleh kapasitas actual yang bisa anda tunjukkan; maka anda tetap saja akan menjadi karyawan jelek. Dan hati anda juga jelek, karena dipenuhi rasa iri.

Anda juga boleh menganggap diri sendiri kurang berbakat. Jadi, wajar saja jika pencapaian anda biasa-biasa saja. Anda tidak dilahirkan untuk menjadi pemenang. Karena Tuhan memberi anda begitu banyak keterbatasan. Hey, wake up! Bangun, bung! Tidak ada manusia yang dilahirkan tanpa keterbatasan. Dan tidak ada manusia yang dilahirkan tanpa membawa pesan dan seoles kemampuan. Wake up and realize that YOU; don’t need to be a perfect person to succeed. YOU, just need to accept yourself just the way you are. And start to enlarge your own playing ground. Your Human Actualized Memory. Your HAM. Would you?


Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Bukan ketiadaan bakat yang menimbulkan masalah bagi kita. Melainkan, kelalaian kita sendiri pada bakat-bakat yang telah kita warisi.