Minggu, 16 November 2008

Hari Ini Bawahan, Besok Atasan

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Pernahkah anda mendengar seseorang mengatakan:”Boleh jadi, bawahan anda akan menjadi atasan anda pada suatu saat kelak....”. Tidak banyak atasan yang menyadari kenyataan ini, sekaligus bersedia menerima konsekuensi yang ditimbulkannya. Dan, lebih sedikit lagi atasan yang bahkan dengan ’sengaja’ melakukan ’sesuatu’ untuk membantu bawahannya menapak lebih tinggi dari dirinya sendiri. Meskipun pada kenyataannya, ada banyak bukti bahwa para bawahan cemerlang melejit karirnya hingga menjadi atasan bagi para mantan atasannya. Apakah anda menemukan fenomena serupa ini dilingkungan kerja anda?

”Gue resign aja deh....” begitu kata seorang teman. Dia lebih suka pindah ke perusahaan lain daripada harus menjadi bawahan bagi orang yang pernah menjadi bawahannya. Secara mental, dia tidak siap menghadapi situasi terbalik seperti itu. Sulit menerimanya karena ada ganjalan psikologis didalam dirinya. Dia dikuasai rasa gengsi. Merasa diri lebih senior. Lebih superior. Dan rupanya, tidak sedikit orang yang bersikap seperti itu.

Banyak orang yang mengatakan bahwa; promosi tidak dilakukan secara transparan. Sarat dengan kolusi. Dilatarbelakangi diskrimanasi. Dan penuh dengan perbenturan berbagai kepentingan. Akibatnya, orang mendapatkan posisi lebih tinggi tanpa didukung oleh kemampuan yang memadai. Sehingga;”berseliweranlah para ‘anak kemarin sore’ dijajaran manajer senior perusahaan”. Mungkin betul begitu. Mungkin juga sekedar alasan belaka. Tapi, konteks diskusi kita saat ini tidak sedang membahas aspek itu. Jadi, mari kita fokuskan pembahasan kita kepada kenyataan bahwa :”Boleh jadi, bawahan kita akan menjadi atasan kita pada suatu saat kelak....” Let’s accept the fact, and let’s deal with it.

Bagi kita, hal ini memiliki dua implikasi. Pertama; seandainya kita adalah sang atasan itu. Bagaimana kita menghadapi kemungkinan seperti itu? Kemungkinan ketika bawahan kita menjadi atasan bagi kita. Mustahil? Tidak.

Maka, penting bagi kita untuk memiliki paradigma positif. Jika ada bawahan yang memiliki kualitas dan kinerja yang lebih baik dari kita; bukankah itu baik bagi kita maupun organisasi itu sendiri? Memang, idealnya kita naik posisi terus menerus, sehingga setinggi apapun bawahan kita naik; kita masih berada diatasnya. Namun, bukankah didunia nyata tidak selalu terjadi hal sedemikian?

Mari cermati kalimat ini;”Guru yang baik bukanlah mereka yang mau mengajarkan semua hal yang diketahuinya. Melainkan, mereka yang bersedia membantu muridnya membuka tabir-tabir pengetahuan yang belum pernah terpecahkan.” Apa yang kita ketahui sangatlah terbatas. Sehingga, mengajarkan semua yang kita tahu tidak akan bisa menjadikan generasi masa depan lebih baik dari kita. Jika hal ini berlaku dalam hubungan antara guru dan murid, dapatkah juga terjadi dalam hubungan antara atasan dan bawahan?

Seorang guru sejati akan bahagia ketika mendapati muridnya lebih hebat dari dirinya sendiri. Demikian pula seorang atasan yang hebat. Dia bahkan membuka jalan, supaya bawahannya bisa menapak lebih tinggi. Tanpa ada rasa iri. Tiada pula kecemburuan. Yang ada, hanyalah kebanggaan didalam dirinya. Meskipun – biasanya - seseorang yang telah menapak tinggi lupa bahwa; ada peran atasannya dalam pencapaian yang diraihnya. Jadi, tidak mengherankan jika mereka kerap berkata;”I did it myself.” Tapi, seorang atasan sejati; tidak terlampau merisaukannya.

Implikasi kedua; seandainya kita sang bawahan itu. Bukti bahwa seorang bawahan bisa menapak jenjang karir yang lebih tinggi dari atasan, cukup untuk meyakinkan diri kita bahwa masa depan kita bisa jauh lebih baik dari yang dapat kita bayangkan.

Sering kita dengar orang yang mengeluh bahwa karirnya tidak berkembang karena atasannya tidak cukup memberi bimbingan. Bisa iya. Bisa juga tidak. Lagipula, kita tahu bahwa tuntutan perusahaan semakin banyak, sementara jumlah karyawan bahkan semakin berkurang. Sehingga para pemegang posisi kunci semakin terbatas waktunya untuk menyuapi kita. Atau mengajarkan kepada kita tentang ini dan itu. Mengharapkan mereka selalu ada disamping kita membuktikan bahwa memang kita bukan orang yang bisa diandalkan. Lagipula, mengapa atasan kita harus memberi penilaian istimewa kepada orang-orang yang bisanya hanya bergelantung diketiak mereka?

Disisi lain, kita juga sering terjebak pada anggapan bahwa; ’kemampuan teknis adalah segala-galanya’. Padahal, kemampuan teknis hanyalah satu dari sekian banyak faktor penting. Jadi, orang-orang yang hanya hebat secara teknis, hanya layak untuk menjadi pelaksana. Bukan pemimpin. Itulah sebabnya, mengapa orang-orang yang hebat secara teknis; sering tersingkir. Repotnya, mereka merespon situasi ini dengan menyimpulkan bahwa manajemen telah pilih kasih. Mereka merasa; proses assesment tidak fair.

Kita, harus keluar dari pola pikir semacam itu. Sebab, jika terjebak didalamnya; kita tidak akan pernah mengetahui apa yang harus diperbaiki. Kita mengira bahwa semua kualifikasi itu sudah kita miliki. Padahal, ada orang lain yang lebih baik dari kita. Seperti halnya anda yang tidak ingin dipimpin oleh orang yang sekedar jago dalam hal-hal teknis; maka tentu orang lainpun tidak ingin anda yang hanya menguasai aspek teknis itu tampil menjadi pemimpin. Sebaliknya, ketika kemampuan teknis anda dipadukan dengan sikap positif, kemampuan membangun hubungan yang produktif baik dengan atasan, bawahan maupun rekan sekerja, serta loyalitas yang tinggi; maka mungkin, memang anda layak mendapatkan kesempatan untuk dipersaingkan dengan orang-orang hebat lainnya.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Akan tiba saat dimana para atasan harus digantikan. Siapkah kita, ketika kesempatan itu tiba?

Sabtu, 08 November 2008

Tolong, Kami Kekurangan Karyawan Handal...

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Perlu saya tegaskan bahwa ini bukan iklan lowongan kerja. Tapi, memang benar bahwa saat ini, begitu banyak perusahaan yang lapar dan dahaga atas keberadaan tenaga kerja terampil. Sehingga, pencarian talenta-talenta hebat tidak pernah ada hentinya. Kita seringkali mendengar bahwa jumlah lapangan kerja sangat terbatas. Namun, jumlah tenaga kerja terampil lebih terbatas lagi. Sehingga meskipun disatu sisi ada surplus tenaga kerja, namun disisi lain ada begitu banyak jenis posisi yang teramat sulit untuk dicarikan orang yang tepat untuk mendudukinya.

”Punya teman yang bagus nggak?” teman saya bertanya.
”Untuk apa?” saya balik bertanya padanya. Lalu dia menjelaskan beberapa posisi penting yang katanya;”sudah hampir setahun ini kosong karena belum ditemukan kandidat yang tepat.”

Ada banyak perusahaan papan atas yang seperti itu. Mereka membiarkan posisi penting kosong sampai mendapatkan orang yang benar-benar tepat. Karena, mereka percaya bahwa orang-orang yang tepat itulah yang akan berhasil membawa perusahaan kepada pencapaian tinggi. Oleh karena itu, meskipun teramat banyak orang berseliweran dipasar tenaga kerja kita, namun ada banyak posisi yang tetap dibiarkan tak terisi.

Secara teoritis, perusahaan memang harus melakukan pengembangan calon-calon tenaga kerja handal itu. Mereka harus mempersiapkan bakat-bakat muda untuk menjadi pemimpin masa depan. Orang-orang muda yang bagus ini menjadi generasi penerus atau pemain utama bagi posisi-posisi baru yang muncul sesuai dengan dinamika organisasi. Namun, bahkan perusahaan yang sudah sedemikian cermatnya seperti inipun kadang-kadang masih kekurangan karyawan-karyawan handal itu. Terutama, ketika genderang perang bertajuk ’Talent War’ ini ditabuh diseantero dunia. Dimana setiap perusahaan bisa dengan leluasa membajak karyawan-karyawan hebat dari para pesaing utamanya.

Fakta ini menyiratkan dua hal. Pertama, perusahaan harus sadar betapa pentingnya membangun kemampuan organisasi untuk mengembangkan karyawan-karyawan andalan masa depan. Cara terbaiknya adalah dengan membentuk institusi atau fungsi khusus semisal Program Management Trainee atau Future Leader Development Center. Tapi, ini tentu tidaklah mudah. Misalnya, seingat saya; dibutuhkan waktu tidak kurang dari dua setengah tahun sejak usulan program management trainee saya diterima menejemen puncak sampai ’iklan’ pencarian trainee muncul untuk pertama kali dimedia masa.

Bagi organisasi yang tidak memungkinkan untuk membuat program sistematis seperti itu, praktis tantangannya terletak dipundak para manager. Manager level mana? Itu tidak penting. Sebab, inisiatif seperti ini bisa muncul dari level Direktur terus turun kebawah. Atau, sebaliknya justru datang dari para menejer lini yang terjun langsung dilapangan karena mereka mengetahui betul kebutuhan operasionalnya seperti apa. Contoh sederhana yang bisa dilakukan adalah; jika hendak merekrut orang untuk posisi-posisi tertentu misalnya. Kita mempunyai 2 pilihan; membajak orang yang sudah jadi dari luar, atau mengijinkan bakat-bakat muda didalam organisasi untuk mencobanya. Tidak harus langsung diberi gelar manajer karena gelar bisa didapatkan kemudian; jika mereka benar-benar bisa mengembangkan diri, dan kemudian menunjukkan hasilnya.

Adalah benar bahwa membajak orang yang sudah jadi merupakan cara yang paling praktis. Dengan sejumlah uang dan sejumput kompensasi sebagai daya tarik, orang itu bisa berpindah kursi hanya dalam waktu satu atau dua bulan saja. Sekedar menulis 30 days notification; orang itu sudah bisa terbang ke kantor lain. Tidak jarang masih digedung perkantoran yang sama. Sedangkan, memberi orang-orang muda kesempatan untuk belajar, sangat lama dan melelahkan. Namun, menurut pendapat anda; cara manakah yang merupakan langkah strategis jangka panjang?

Hal kedua yang juga sangat penting adalah; sikap kita sebagai karyawan itu sendiri. Kita, sebagai seorang karyawan; sudahkah bisa menjadi seseorang yang berharga bagi perusahaan? Dengan kata lain; apakah kita sudah menjadi satu dari bakat-bakat yang akan dengan berbagai cara dipertahankan oleh perusahaan? Jika kita belum menjadi orang yang seperti itu, maka itu menandakan bahwa kita belum benar-benar menunjukkan kemampuan sesungguhnya yang kita miliki. Kecuali jika anda orang yang memang tidak berguna; anda pasti memiliki sesuatu yang sangat langka. Yang unik. Yang berbeda secara positif. Sesuatu. Yang perusahaan anda tidak dapat menemukannya dari orang lain. Sesuatu itulah yang harus anda tunjukkan. Sehingga, untuk ’hal yang satu’ itu, perusahaan tidak memiliki pilihan lain selain mengandalkan anda. Temukan itu. Dalam diri anda masing-masing.

Dan untuk memastikan bahwa ’sesuatu’ itu bernilai bagi perusahaan; kita perlu membungkusnya dengan sikap positif. Kita semua sudah menyaksikan betapa banyaknya orang-orang pintar yang tidak maju, hanya gara-gara sikapnya. Dan diantara sikap yang merusak kualitas diri kita itu adalah; tidak kooperatif baik dengan atasan, bawahan atau teman sekerja. Juga menggunakan waktu kerja untuk hal-hal yang tidak produktif. Berapa banyak orang bahkan dilevel manajer dan direktur yang bermain game komputer pada saat seharusnya mereka bekerja atau mempelajari suatu keterampilan baru, misalnya? Lemahnya loyalitas, juga sering menjadi hambatan. Ini memang agak subjektif. Tetapi, atasan yang jeli biasanya dapat ’merasakan’ hal itu. Tidak sedikit orang berbakat yang dimasukan kedalam daftar orang-orang yang ’loyalitasnya perlu dipantau’. Jika kita masuk kedalam daftar itu, bagaimana? Ya, sekurang-kurangnya, kita tidak akan menjadi pilihan pertama jika sebuah kesempatan muncul suatu ketika.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah diri kita dari karyawan biasa. Menjadi seorang bintang ditempat kerja. Dan jika kita sudah bisa menjadi karyawan seperti itu, maka menejemen puncak akan menempatkan kita didalam sebuah daftar ’khusus’. Daftar itu disimpan didalam deposit box dan dikunci serta dijaga ketat. Bahkan ketika membicarakannya pun mereka menggunakan kode rahasia yang disepakati diseluruh dunia. Sekarang saya akan membisikkan kode rahasia itu kepada anda. Kode itu disebut ”236”. Maukah anda masuk kedalam daftar karyawan dengan kode itu?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Ada banyak alasan untuk menjadi pekerja gagal. Dan ada lebih banyak lagi alasan untuk menjadi karyawan handal.