Senin, 30 Juni 2008

Duduk Dimeja Makan Atau Menjadi Menunya?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Mungkin anda pernah mendengar ungkapan berikut ini: ”If you are not in the table, you will be in the menu.” Jika anda tidak duduk dimeja makan, maka anda akan menjadi menunya. Tentu kita sepakat bahwa lebih baik duduk dimeja makan daripada menjadi menunya, bukan? Namun, namanya juga ungkapan; tentu bukan pesan harfiahnya yang perlu kita perhatikan. Melainkan ‘makna sesungguhnya’ dari pesan itu. Jadi, apa sih sesungguhnya pesan yang ingin disampaikan ungkapan itu? Kira-kira demikian; didalam dunia yang penuh persaingan ini, kita tidak bisa tinggal diam - menunggu seseorang melakukan sesuatu untuk kita. Kita sendirilah yang harus mengambil tanggungjawab itu. Karena, jika kita diam saja; maka kita ini tidak ubahnya seperti menu makanan yang terbaring pasrah dimeja makan. Ingat nasib menu dimeja makan? Tentu. Sebentar lagi dia akan dikunyah. Ditelan. Dan dua belas jam kemudian akan dibuang dalam bentuk yang anda tidak ingin melihatnya. Dengan kata lain, jika kita berdiam diri saja; pihak lain akan mengambil manfaat yang bertebaran disekitar kita. Sementara mereka menjadi sejahtera; kita hanya bisa menjadi objeknya saja. Kita tidak ingin mengalami hal sedemikian, bukan?

Pagi itu saya bermaksud untuk menikmati sarapan. Saya memilih untuk menyantap soup berisi sayuran. Asyiknya, saya boleh memilih jenis sayuran apa yang hendak diramu dalam soup itu. Meletakkannya dalam mangkuk. Lalu menyerahkannya kepada sang koki yang dengan sigap akan memasakkan soup itu hanya dalam 3 menit saja. Pagi itu, gerakan saya agak terhenti, karena sayur favorit saya tidak ada. Lalu, saya bertanya; “Wah, tauge-nya tidak ada ya Pak?” Si koki tersenyum lalu menjawab:”Maaf Pak, taugenya sedang kosong….” katanya. Tanpa sayuran yang banyak mengandung vitamin E itu, saya merasa soup itu kurang lengkap. Tapi, mau bagaimana lagi? Akhirnya saya menerima saja keadaan itu.

Sesaat setelah saya menyerahkan mangkuk berisi sayuran pilihan itu, sang koki berkata. “Sebenarnya ada sih taugenya Pak…,” katanya. Dahi saya mengerut. Sambil berbisik didalam hati; ‘maksud elo….?’ “Tapi,” koki tersebut meneruskan “hanya tauge lokal, Pak..” katanya.

“Tauge lokal bagaimana?” saya bertanya.
“Iya, Pak, lokal. Bukan tauge import.”

Bisakah anda membayangkan itu? Seorang koki berkebangsaan Indonesia. Bekerja di hotel berbintang lima yang berlokasi di Indonesia. Melayani klien yang berbahasa Indonesia. Merasa menyesal untuk memberikan tauge hasil kerja keras petani Indonesia.

Bagi saya, kenyataan ini cukup memilukan. Karena, ini menunjukkan bahwa sikap inferioritas kita sudah sedemikian kronisnya sehingga untuk urusan barang senilai tauge pun kita tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup. Dengan ungkapan diatas itu, sesungguhnya saya ingin menekankan kepada diri saya sendiri tentang betapa pentingnya untuk bersikap proaktif, dan berani mengambil resiko untuk melakukan sesuatu bagi diri sendiri. Bukan berdiam diri saja sambil menyerah pasrah atas tindakan apa saja yang akan orang lain timpakan pada diri saya. Jadi, lebih baik duduk dimeja makan daripada menjadi menu yang tersaji diatas meja makan itu. Tetapi, kejadian dipagi itu, menjadikan mata saya terbuka lebar, bahwa; bangsa ini sedang mengalami krisis yang begitu kritis dimana jangankan untuk duduk dimeja makan, bahkan untuk ’menjadi menu diatas meja makan itu pun’ ternyata tidak memiliki cukup nyali.

Jujur saja. Saya sedih. Sedih sebagai anak bangsa. Sedih sebagai anak petani. Dan sedih sebagai anak manusia yang sangat menyukai tauge. Tetapi, kesedihan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, katanya bukan? Baiklah. Jika demikian, hikmah apa yang bisa kita bawa pulang? Mari kita camkan hal berikut ini: ’Jangankan untuk duduk dimeja makan, untuk menjadi menu yang tersaji dimeja makan pun dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan’. Sehingga, kita tidak mempunyai pilihan lain, selain menjadi yang terbaik dikelasnya. Jika kita ini adalah seorang tauge, maka menjadi tauge yang terbaik dibandingkan dengan para tauge lainnya adalah satu-satunya kondisi yang bisa menjadikan kita terpilih sebagai tauge pertama yang diberi kesempatan untuk menghiasi meja makan. Sebab, jika kualitas kita tidak cukup bagus – apakah itu karena persepsi orang lain, atau memang kenyataannya kita ini tauge jelek; maka tidaklah ada gunanya kita berharap bahwa seseorang akan memilih tauge dari jenis diri kita untuk menjadi bagian dari masakan prestisius yang disajikan seorang koki restoran.

Jadi? Jadi, ini bukan saatnya bagi kita untuk bermanja-manja, ya? Bahkan, bekerja dan berusaha saja tidaklah cukup rupanya. Jaman dahulu kala; mungkin kita bisa bilang ’sudah saya kerjakan’. Tapi sekarang, itu tidak lagi cukup. Anda bekerja. Saya bekerja. Mereka bekerja. Siapa yang pekerjaannya lebih baik? Dialah yang mendapatkan kesempatan. Sedangkan yang lain? Maaf, anda harus mengantri dalam waiting list. Jika orang lain masih ada; maka anda tidak akan kami pakai. Jika orang lain selamanya ada, maka anda selamanya akan terbengkalai. Jika orang lain terus menerus lebih baik dari anda, maka anda akan terus menerus pula terlunta-lunta.

Oleh karena itu, sekarang kita mesti lebih sadar bahwa merasa berpuas diri itu bisa membahayakan. Ini sama sekali tidak berhubungan dengan keserakahan. Karena, konteks yang tengah kita bahas adalah tentang mengimbangi dunia yang penuh persaingan. Jika kompetitor kita lebih baik; mengapa kita masih merasa yakin bahwa seseorang masih akan mempertahankan kita? Jika ada pekerja yang lebih baik dari kita, mengapa kita masih mengira bahwa perusahaan akan terus mempekerjakan kita? Padahal, kita semua sudah tahu bahwa perusahaan manapun tidak ada yang mau berkompromi dengan pegawai yang tidak memiliki daya saing. Bahkan, kenyataannya sekalipun orang-orang itu berkualitas tinggi; tidak jarang kena pengurangan juga.

Coba saja perhatikan; banyak perusahaan besar yang akhir-akhir ini mengurangi jumlah karyawannya. Dan banyak petunjuk yang membuktikan bahwa itu tidak semata-mata dilakukan karena karyawannya kurang berkualitas. Memang, ada diantara mereka yang kurang bagus; tetapi, pengurangan karyawan secara masal lebih banyak disebabkan karena perusahaan itu sudah tidak lagi sanggup untuk mempertahankan semuanya. Jadi, suka atau tidak, mereka melakukannya. Jika sudah demikian; apa yang bisa kita lakukan? Demo? Boleh saja. Tetapi, jika perusahaan sudah menunjukan itikad baik dengan melakukan semua kewajibannya sesuai dengan undang-undang; apakah kita masih memiliki alasan untuk melawan?

Hey, ternyata masalahnya menjadi semakin kompleks. Bahkan, menjadi orang yang bagus pun tidak dijamin terus dipekerjakan. Jadi, apa gunanya punya kualifikasi bagus jika demikian? Bukankah lebih baik santai-santai saja? Toh, sudah kerja keraspun akhirnya terhempas juga. Sungguh sebuah pemikiran yang menggoda. Tapi hey, lihat. Berusaha untuk menjadikan diri kita memiliki daya saing itu masih jauh lebih menguntungkan. Jika perusahaan kita baik-baik saja; mungkin kita bisa mendapatkan bonus yang menggiurkan. Mungkin kita akan dipromosikan. Atau, setidaknya; kita bisa diandalkan. Jika perusahaan kita terpaksa harus melakukan penghematan; mungkin kita bisa dipilih untuk tetap dipertahankan. Jika itu pun tidak bisa, mungkin perusahaan lain akan menyukai kualifikasi yang kita miliki. Tidak rugi bukan? Kalau tidak ada yang mau juga? Mungkin apa yang kita bangun dan kembangkan selama ini bisa menjadi bekal bagi kita untuk hidup mandiri. Apa bedanya?

Jadi, bagaimana pun juga. Membangun kompetensi dan kualitas tinggi itu tetap lebih menguntungkan. Bukan hanya untuk meningkatkan daya saing kita. Atau berjaga-jaga jika situasi sulit menerpa kita. Tetapi yang lebih penting lagi adalah, kita bisa menunjukkan kepada sang pemilik jiwa bahwa; kita sudah mengoptimalkan semua yang diamanahkan-Nya kepada kita.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Tidak soal apakah kita duduk dimeja makan, atau menjadi menu makanan. Sebab, keduanya membuktikan bahwa kita memiliki arti. Dan itu lebih baik daripada keadaan dimana kita kehilangan peran bagi dunia yang kita huni.

Minggu, 22 Juni 2008

Membesarkan Ukuran Hati

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Kepada orang yang kalah kita sering menyebutnya pecundang. Tetapi, tahukah anda siapa sesungguhnya yang benar-benar pecundang? Sungguh, bukan mereka yang kalah. Melainkan mereka yang tidak bersedia menerima kekalahan itu. Mereka yang menyalahkan orang lain untuk kekalahannya sendiri. Dan mereka yang menanam kebencian atas kekalahan yang dialaminya. Pendek kata, mereka yang tidak memiliki kebesaran hati, untuk menerima kekalahan itu. Anda dapat menyimak dialog ini dalam ‘21’; sebuah film yang berkisah tentang bagaimana sekelompok mahasiswa cerdas di MIT membobol meja perjudian Las Vegas dalam setiap permainan Blackjack yang diikutinya. Film itu memberi penegasan bahwa memiliki kesadaran tentang adanya kalah dan menang dalam setiap permainan, tidaklah cukup. Bersedia untuk menerima kekalahan adalah fondasi atas semuanya itu. Semua orang selalu tahu bagaimana caranya merayakan sebuah kemenangan. Namun, menerima kekalahan? Tak banyak yang bisa. Bukankah demikian?

Beberapa hari yang lalu, saya menyaksikan tayangan Wild Wild Life. Tayangan itu menceritakan tentang perilaku binatang yang kita sebut sebagai Kukang. Nama keren Kukang adalah ‘Slow Loris’. Dan, seperti yang anda ketahui; ‘Slow Loris’ berarti si lelet. Kukang mungkin termasuk mahluk paling lelet dimuka bumi. Namun, hal yang sangat menakjubkan dari Kukang adalah bagaimana mereka memiliki kebesaran hati untuk menerima kekalahan dari pesaingnya. Menurut pendapat anda; persaingan untuk mendapatkan seekor betina didunia binatang itu seperti apa? Biasanya, para pejantan tangguh berkelahi satu sama lain, bukan? Untuk sekedar menunjukkan siapa yang lebih berkuasa diantara mereka. Yang kalah dan berdarah-darah harus menerima kenyataan bahwa gadis pujaan hatinya jatuh kepelukan pejantan tangguh itu. Tapi hey, itu tidak terjadi pada Kukang.

Para pejantan Kukang bersaing dengan cara yang berbeda. Tahukah anda? Mereka berlomba kecepatan untuk berlari sampai ke garis finis. Dan garis finisnya? Dahan dimana sang betina jelita bergelantung menanti kedatangan sang pangeran. Dalam gerakannya yang sangat lamban itu, Kukang berpacu. Tentu, untuk mahluk yang disebut si lelet ukuran yang menentukan bukanlah kecepatan. Melainkan perhitungan. Naluri. Serta kecerdikan untuk menemukan dahan dan ranting yang akan menjadi penghubung dari satu pohon ke pohon lain hingga mereka sampai kehadapan sang puteri. Dan. Ketika satu Kukang jantan berhasil meraih ranting tempat sang puteri bersanding, semua Kukang jantan lain yang ikut bertanding, menghentikan perebutannya. Mereka tahu diri. Mempersilakan sang pemenang untuk menikmati kehidupan penuh privasi. Tanpa darah. Tanpa kekerasan. Tanpa hujatan. Tanpa balas dendam.

Rupanya, kita para manusia perlu belajar dari para Kukang juga. Meskipun sesungguhnya kita tidak pernah kekurangan pelajaran dari para orang tua kita; untuk bersikap ksatria. Sebab, para ksatria bersedia menerima kekalahannya. Oleh karena itu, sakti saja tidaklah memadai untuk menjadikan seseorang sebagai ksatria. Sebab, kesaktian tidak serta merta menggambarkan kebesaran hati. Manusia – manusia sakti yang tidak memiliki kebesaran hati tidak bisa menjadi ksatria. Persis seperti Thai Lung. Sehingga master Oogway tidak membirakan mahluk sakti dari jenis ini untuk memiliki mantra sakti Dragon Hero. Dan itu terbukti ketika Thai Lung kalah dalam perebutan mantra suci itu. Dia tidak menerima kekalahan itu. Alih-alih, dia mengoceh dalam frustrasinya dengan mengatakan; “Kamu hanyalah seekor Panda gendut. Bagaimana mungkin kamu bisa mengalahkan aku?” Dalam keadaan sempoyonganpun dia masih merasa dirinya lebih berhak untuk mendapatkan kemenangan itu. Dan benarlah adanya yang dikatakan master Oogway, bahwa; kerendahan hati adalah salah satu tanda dari seorang ksatria. Sebab, memang kerendahan hati, senantiasa bersanding dengan kebesaran hati itu sendiri.

Orang-orang yang memiliki kebesaran hati, selalu memiliki ruang untuk merendah. Sebab, mereka tahu bahwa dengan kerendahan hati tidak menjadikan harga dirinya rendah. Sebaliknya jika hati terlalu tinggi, sangat sulit bagi harga diri untuk berpijak. Bahkan, jika hati kita terlalu tinggi; sangat sulit bagi kita untuk mengakui bahwa orang lain memang lebih baik dari kita. Sehingga, ketika mereka memenangkan persaingan ini; kita menjadi semakin murka.

Mungkin kita mengira bahwa jaman sudah serba berubah. Kehidupan kita saat ini sama sekali bukan masa untuk bermimpi dengan mengharapkan seekor panda untuk menjadi Dragon Hero. Mungkin kita juga merasa bahwa kehidupan kita tidaklah sama dengan para Kukang. Dan. Mungkin kita bersikeras bahwa 21 hanyalah rekaan sutradara belaka. Tetapi hey, bukankah kehidupan nyata kita menyajikan begitu banyak fakta bahwa kita para manusia masih suka lupa bahwa dalam setiap permainan jarang sekali terjadi remis? Kalau pun angka imbang bertahan sampai pertandingan usai; kita masih harus adu penalty. Sekalipun setiap bidak dalam papan catur sudah tidak mungkin lagi saling mengalahkan; kita harus mengulang pertandingan. Sampai kapan? Sampai ada sang pemenang.

Kehidupan nyata kita memperlihatkan bahwa kita masih sering lupa bahwa pada akhirnya; selalu ada kalah dan menang dalam setiap perlombaan. Sehingga, ketika kita maju kesebuah kontes; kita sering meninggalkan ‘kebesaran hati’ diruang-ruang perenungan. Sedangkan dilapangan; kita menjadi mahluk yang berbeda. Makanya, tidak aneh jika diarena-arena perebutan kekuasaan sering tercecer dendam. Sebab selalu ada alasan untuk mendiskreditkan sang lawan. Dikantor-kantor juga demikian. Betapa sering kita mendengar orang-orang berkomentar bahwa seseorang dipromosikan hanya karena kedekatan dengan para atasan? Agak aneh, bukan? Kita menyalahkan orang lain atas ketidakmampuan kita untuk membangun hubungan yang produktif dengan para atasan. Jika kita menganggap bahwa hubungan dan kedekatan dengan para pengambil keputusan itu sangat menentukan masa depan; mengapa kita berpura-pura tidak butuh untuk membangun hubungan seperti itu? Dan ketika ada orang terampil yang berhasil melakukannya, maka lidah kita cepat-cepat berkata; dasar penjilat!

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kehidupan kita menyerupai arena penuh persaingan. Hanya para pemenang yang layak untuk mendapatkan hadiahnya. Dalam pertandingan itu, kadang kita menang. Kadang kita kalah. Apa bedanya? Tidak ada bedanya. Kecuali, kalau kita lebih suka menodai kesucian arena pertandingan kita itu dengan kepicikan, dan kesempitan hati. Sehingga, kita tidak pernah bisa menerima kekalahan. Namun, semua itu tidak akan terjadi jika sebelum pergi bertanding kita sudah terlebih dahulu memiliki kebesaran hati itu. Sebab, dengan kebesaran hati itu; kita menjadi tetap rendah hati dikala menang; dan secara ksatria mengakui kemenangan orang lain ketika kita mengalami kekalahan.

Jadi, dalam setiap persaingan; kita perlu mempersiapkan 2 hal. Pertama, kemampuan teknis yang memungkinkan kita untuk menjadi manusia unggul. Agar kita mempunyai kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Merebut hadiah. Atau mendapatkan kursi jabatan. Atau meraih kesempatan untuk dipromosikan. Dan kedua. Kebesaran hati. Agar kita tetap memiliki kehormatan, saat mengalami kekalahan. Oleh karena itu. Persiapan yang kita lakukan tidaklah cukup pada faktor fisik. Teknik. Pengetahuan. Ataupun keahlian. Kita juga perlu melakukan latihan dan persiapan; untuk membesarkan ukuran hati.


Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Orang-orang yang berbesar hati itu unik. Jika menang, mereka merunduk hormat kepada lawan-lawan yang telah dikalahkan. Jika kalah, mereka bertepuk tangan untuk kemenangan sang lawan.

Minggu, 15 Juni 2008

Perlukah Kita Membawa-bawa Dendam Ini?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Dendam nyaris selalu disertai sakit hati. Dan itu sering menjadi dasar untuk melakukan sebuah pembalasan. Saat orang lain melakukan sesuatu yang tidak kita sukai, tiba-tiba saja kita merasa mendapatkan ijin khusus dari Tuhan untuk melakukan pembalasan. Bahkan, tidak jarang kita memberikan ‘bonus’ nya sekalian. Jika anda menampar saya perlahan, maka sebagai bonusnya, tamparan balasan dari saya bisa sangat keras sekali. Kalau perlu, hingga membuat anda pingsan. Jika hari ini saya belum bisa membalas anda, maka semuanya itu akan berubah menjadi utang yang wajib untuk dibayarkan kepada anda dimasa depan. Jika tangan saya sendiri tidak mampu melakukannya, maka saya mengutus orang lain untuk mewakili terlunasinya utang-utang itu. Berikut bunganya sekalian. Bukan begitukah kita mendefinisikan sebuah dendam?

Secara garis besar, ada tiga komponen yang menghidupi dendam, yaitu: perbuatan orang lain kepada kita, rasa sakit hati, dan pembalasan. Mari kita tahas, satu demi satu. Pertama, perbuatan orang lain kepada kita. Dalam banyak situasi, kita tidak bisa mengendalikan perbuatan orang lain. Kita sama sekali tidak memiliki hak untuk menyuruh atau melarang orang lain untuk melakukan atau menghindari sebuah perbuatan. Paling banter, anda hanya bisa menghimbau. Misalnya dengan mengatakan; ”Maaf Mas, kalau mau merokok jangan diruangan ber-AC seperti ini dong....” Apakah orang itu akan berhenti, atau pindah ketempat terbuka, atau memasabodohkan perkataan anda; itu diluar kuasa anda.

Bahkan, sekalipun anda seorang atasan; anda hanya bisa mengatakan; ”Optimalkan jam kerjamu.” Atau ”Lakukan kegiatan ekstra untuk perusahaan.” Atau ”Jangan terlambat masuk kerja.” Anda bisa melakukannya sebatas itu. Sekalipun anda melakukan semuanya itu atas kewenangan anda dan demi kebaikan organisasi dan diri mereka sendiri, tetapi dimata mereka anda tidak lebih dari seorang atasan yang bawel. Anda tak perlu heran. Sebab, anda sama sekali tidak bisa mengontrol tindakan atau perbuatan orang lain. Dengan kata lain; anda sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mempengaruhi ’will’ seseorang. Mengapa? Karena, ’kehendak’ adalah hak setiap manusia. Dan seperti yang kita tahu; ada orang yang mampu mengarahkan kehendaknya kepada hal-hal postif dan produktif, dan ada pula yang sebaliknya.

Kedua, rasa sakit hati. Mungkin anda bisa mengatakan ’sakit sekali hati ini’. Namun, bisakah anda menemukan dimanakah letaknya rasa sakit hati itu? Dibawa kerumahsakit pun tidak akan membantu anda menemukan letak rasa sakit itu. Mengapa? Karena sakit hati adanya diawang-awang. Yang bisa menjangkaunya hanyalah perasaan. Liver kita sehat walafiat. Tetapi, mengapa kita merasakan sakit begitu rupa? Karena kita membiarkan perasaan merengkuh rasa sakit itu. Dan membawanya masuk kedalam hati kita. Seandainya kita tidak mengijinkan perasaan menggapainya, maka kita tidak akan merasakannya.

Oleh karena itu, sakit hati sama sekali tidak berhubungan dengan tindakan orang lain; melainkan dengan diri kita sendiri. Jika kita tidak menginginkan rasa sakit hati itu, maka tindakan apapun yang dilakukan oleh orang lain tidak akan berhasil menjadikan kita sakit hati. Ada orang yang menghina anda sebegitu rupa; namun, anda tidak mengijinkan perasaan membawa sakit hati. Maka anda akan tenang-tenang saja. Ada orang yang menggosipkan tentang kekurangan-kekurangan anda. Dan tentu saja, gosip baru enak kalau ditambah dengan bumbu-bumbu, bukan? Sehingga, dilingkungan anda terbentuk opini yang sedemikian buruknya tentang anda. Anda sakit hati? Tidak, jika anda tidak mengijinkan sang perasaan melakukannya. Sekalipun tidak semua yang mereka katakan tentang anda itu benar. Artinya, ada bumbu tambahan yang dilebih-lebihkan. Jika anda benar-benar tidak seperti yang mereka katakan; maka itu tidak akan terlalu berpengaruh kepada baik atau buruknya diri anda. So what?

Ketiga, pembalasan. Anda boleh melakukan pembalasan dengan 3 syarat; kalau anda lebih kuat, kalau ingin membuat dendam baru, dan kalau anda kurang kerjaan. Kalau mereka lebih kuat dari anda, dan anda ngotot untuk melakukan pembalasan itu berarti anda bunuh diri. Jadi, melakukan pembalasan kepada pihak yang lebih kuat itu sama sekali bukanlah tindakan yang cerdas. Jika anda benar-benar cerdas, lebih baik lupakan saja itu yang namanya balas dendam. Buang jauh-jauh sifat dendam, dan anda akan hidup dengan tentram.

Mungkin anda bisa membalas dendam. Sehingga ketika dendam itu terbalaskan, hati anda sembuh dari sakit. Hey, harap diingat; pembalasan anda bisa menumbuhkan dendam lain dihati mereka. Kemudian mereka membalas lagi kepada anda, lalu anda kembali membalasnya. Maka jadilah dendam itu berputar-putar sampai tidak tahu kapan saatnya untuk berhenti. Sehingga, anak keturunan kita harus ikut menanggung dendam yang sama; meskipun mereka tidak tahu menahu apa penyebabnya. Maukah anda mengorbankan anak cucu untuk sebuah dendam yang anda buat dengan orang lain? Tidak. Baguslah itu. Jadi, mari kita lupakan dendam kesumat itu. Cukup sampai disitu saja.

Lagipula, anda bukanlah orang yang kekurangan pekerjaan. Ada seribu satu hal penting yang membutuhkan curahan perhatian kita. Dengan melakukan semuanya itu, hidup kita menjadi lebih berarti. Jika kita membuang-buang waktu, tenaga, dan perhatian hanya untuk mengurusi dendam; maka semua hal positif yang menanti kita untuk bertindak akan terbengkalai begitu rupa. Sehingga, hidup kita menjadi kurang bermakna. Jadi, bisakah kita mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa; ’kita tidak memiliki waktu untuk membalas dendam’. Oleh karena itu, setiap perbuatan buruk orang lain kepada kita, tidak perlu dibalas dengan perbuatan buruk yang sama. Dengan begitu, selain kita bisa menjadi manusia yang pemaaf; kita akan terbebas dari sesuatu yang kita sebut sebagai ’sakit hati’ itu. Kita juga bisa melakukan banyak hal lain yang lebih berguna dalam hidup ini. Jadi, perlukan membawa-bawa dendam ini disepanjang hidup kita?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Apa yang dilakukan orang lain kepada kita mungkin memang penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita menyikapinya. Jika kita bersikap dengan cara yang tepat; tindakan apapun dari orang lain akan menjadikan nilai hidup kita semakin tinggi.

Sabtu, 07 Juni 2008

Andakah Sang Talenta Langka Itu?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Hari ini, frase ‘talent war’ sudah menjadi wabah dikalangan industri apapun, dan dimanapun. Gagasan dasarnya sangat sederhana; kelestarian perusahaan sangat bergantung kepada para talenta itu. Permasalahannya adalah; jumlah talenta itu sangat terbatas. Sehingga kalangan industri tidak bisa begitu saja mendapatkan talenta sebanyak mereka mau. Oleh karenanya, para atasan hebat tidak henti-hentinya melakukan talent reengineering. Dan organisasi bisnis manapun sangat berkepentingan dengan apa yang dilakukan oleh para atasan hebat ini. Bagaimana dengan anda? Apakah anda berada dalam lingkaran itu atau tidak?

Anda tentu tahu mentimun. Sejenis sayuran yang mengandung banyak air dan rasanya sangat menyegarkan. Tukang sayur akan dengan senang hati menyediakannya untuk anda. Penduduk dikampung saya menyebutnya ‘bonteng’. Mulai sekarang, saya ingin anda menyebut timun itu sebagai ‘bonteng’. Ngomong-ngomong, seberapa besar ukuran bonteng yang pernah anda lihat? Saya yakin, sebagian besar dari anda belum pernah melihat ukuran yang sedemikian besarnya, sehingga anda tidak dapat menggenggamnya dengan sebelah tangan. Anda harus menggunakan kedua tangan untuk bisa memegangnya. Besar sekali, bukan?

Anda benar. Tentu ini bukanlah bonteng biasa. Meskipun sesungguhnya dia itu dihasilkan dari pohon yang sama seperti pohon bonteng lainnya. Pertanyaannya; bagaimana seorang petani bisa menghasilkan bonteng sedemikian besar? Tentu ada rahasianya. Ayah saya yang seorang petani mengetahui rahasia itu. Dia bisa mengenali bonteng besar itu sejak bunga bonteng layu dan digantikan oleh bayi bonteng yang ukurannya tidak sampai sebesar jari kelingking seorang bayi. Dengan kata lain, petani yang hebat seperti ayah saya, sudah bisa mengenali calon bonteng besar sejak pertama kali dia melihatnya tumbuh. Dia bisa mengenali; bahwa bayi bonteng itu memiliki potensi untuk tumbuh lebih besar dari bonteng-bonteng lainnya.

Begitulah pula halnya dengan seorang atasan yang hebat. Dia bisa mengenali potensi besar yang tersembunyi didalam diri orang-orang yang dipimpinnya sejak masa-masa awal interaksi dengannya. Dia tahu jika anda itu orang yang mempunyai potensi diri yang besar atau tidak. Dan dia tahu, apakah anda sesungguhnya bisa dikembangkan untuk menjadi pemimpin dimasa mendatang atau tidak.

Lantas, apa yang dilakukan oleh seorang petani bonteng ketika dia menemukan bakal bonteng yang hebat? Ayah saya, telah menyediakan tongkat ajaib yang terbuat dari bambu. Kemudian tongkat itu ditancapkan disamping bayi bonteng itu. Apa artinya itu? Artinya; tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu bayi bonteng itu. Tidak saya yang anaknya ini. Dan tidak juga tikus, ulat tanah, atau hama apapun juga. Pendek kata; Ayah saya akan memproteksi bayi bonteng itu, dari pengaruh negative apapun yang mengancamnya! Lantas, apa yang dilakukan oleh atasan hebat anda? Dia akan menandai anda, seperti ayah saya menandai bayi bontengnya!

Langkah selanjutnya yang diambil ayah saya adalah; menjaga kelembaban tanah disekitarnya, memberikan pupuk yang secukupnya, dan mengatur drainase diseputarnya. Dengan kata lain, sebagian besar perhatian ayah saya tertuju kepada bayi bonteng yang istimewa itu. Ada ribuan bayi bonteng dikebun itu; namun, bayi bonteng istimewa itu mendapatkan perhatian yang lebih banyak dibandingkan dengan seluruh perhatian yang sang petani berikan kepada semua bonteng lainnya. Seorang atasan yang hebatpun demikian. Dia mungkin mempunyai banyak staff di teamnya. Namun, dia mengalokasikan secara khusus sumberdayanya kepada calon ‘bonteng’ istimewa di teamnya.

Hati-hati. Sampai disini, bisa saja anda mulai diganggu oleh prasangka. Ya, prasangka yang biasa terdapat didalam hati kebanyakan orang. Prasangka itu berbunyi; Atasan gue pilih kasih! Lho kok pilih kasih? Yo-i coy. Doi pilih kasih. Masa perhatiannya dihabiskan kepada si anak emas itu!

Teman-teman sekalian, prasangka itu juga dimiliki oleh para bonteng lainnya dikebun ayah saya. Mereka menggugat ayah saya dengan mengatakan;”Kamu pilih kasih pak petani! Mengapa setiap hari kamu memikirkan bonteng yang satu itu? Mengapa kamu memberi pupuk lebih banyak? Mengapa kamu menyediakan training lebih sering? Mengapa kamu melatih dia lebih intensif? Mengapa kamu MENGISTIMEWAKAN dia SIH!???” Begitu kan, gerutuan yang seringkali terdengar dikantor-kantor para bonteng?

Faktanya memang demikian. Para petani hebat, memperlakukan bonteng istimewa dengan cara yang istimewa pula. Memang, kadang-kadang para bonteng lainnya menuduh itu sebagai sikap diskriminatif. Tetapi, asal anda tahu saja; kalaupun petani itu memperlakukan bonteng-bonteng lainnya dengan perlakukan istimewa juga; maka mereka tidak akan tumbuh menjadi bonteng yang istimewa. Percaya deh. Para ordinary bonteng, meski diperlakukan khusus tetap saja akan tumbuh seperti kebanyakan bonteng lainnya. Dia menua hanya dalam lima sampai tujuh hari. Itulah sebabnya para petani bonteng memanen bonteng setiap 2 hari. Karena, jika mereka menunda panen hingga hari ketiga dan seterusnya; maka bonteng itu warnanya berubah dari hijau menjadi oranye. Sedangkan bonteng yang berwarna orangye itu rasanya asam. Kalau tukang sayur membawa bonteng berwarna hijau; anda mau beli. Tapi kalau bontengnya sudah berwarna oranye, anda tidak mau membeli karena rasanya sudah tidak enak lagi. Itulah yang terjadi pada ordinary bonteng. Perlakuan istimewa tidak bisa menjadikan dirinya extraordinary bonteng.

Manusia seperti kita juga begitu. Jika kita ini hanya sekedar ordinary people; meskipun atasan kita memberikan perlakuan istimewa kepada kita. Menyediakan training yang sophisticated buat kita. Memfasilitasi proses pengembangan diri kita. Tetap saja kita akan menjadi si mediocre juga. Perlakuan istimewa tidak bisa menjadikan kita extraordinary bonteng. Lain halnya jika kita ini adalah ‘bibit’ yang hebat. Maka perlakuan istimewa atasan kita akan menyempurnakan pertumbuhan diri kita. Jika kita ingin menjadi bibit yang hebat itu, maka kita perlu mencamkan ini: sekalipun kita tidak selalu bisa mengatur atasan, tapi kita selalu bisa mengatur diri kita sendiri. Jadi, hal paling penting yang perlu kita lakukan adalah; memastikan bahwa kita ini adalah bibit extraordinary people. Jadi, kalau nanti atasan kita menempa, maka kita ‘pasti’ jadi somebody.

Oleh karena itu, kita harus mulai mengembangkan sikap dan sifat positif dari dalam diri kita. Dan menyingkirkan sikap dan sifat negative yang masih mengotorinya. Jika pikiran kita cupet, kita bukan bibit bonteng yang hebat. Jika hati kita dipenuhi oleh prasangka buruk, kita tidak akan menjadi bonteng yang unggul. Jika kita tidak bersedia menerima input dari atasan yang berhati tulus; maka itu sama dengan para bonteng biasa yang sudah dikasih banyak pupuk oleh petani, tapi dia tidak bersedia memakan pupuk itu untuk menumbuhkan dirinya menjadi semakin besar. Kita akan menjadi orang yang kerdil selamanya.

Jika kita tidak memiliki trust kepada atasan yang beritikad baik itu; kita juga akan selalu memandang curiga. Jadi, ketika dia memberi kita tugas yang lebih banyak, kita menganggap mereka memperbudak. Ketika mereka menguji kita dengan tugas-tugas yang sulit, kita menganggap mereka tidak manusiawi. Harap diingat, atasan yang hebat tidak memberi tugas dalam jumlah yang sama kepada bawahannya. Justru kepada orang-orang yang dianggap capable tugas yang lebih berat itu diberikan. Bukan untuk membebani. Bukan untuk menyiksa. Melainkan untuk menempa mereka supaya menjadi bonteng yang menonjol. Masalahnya, hati kita suka sekali dengan prasangka buruk.

Bibit bonteng yang istimewa itu akan tumbuh semakin besar. Semakin baik. Dan semakin jauh bedanya dibandingkan dengan bonteng-bonteng ordinary lainnya. Dan jika saatnya tiba, petani hebat itu akan memetiknya. Dari bonteng-bonteng pilihan itu, sang petani akan mendapatkan biji-biji bonteng, yang bisa digunakan sebagai bibit bonteng untuk musim tanam dimasa-masa mendatang. Sehingga, kebun bonteng itu bisa lestari.

Bibit manusia yang istimewa itu akan tumbuh semakin besar. Semakin baik. Dan semakin jauh bedanya dibandingkan dengan manusia-manusia ordinary lainnya. Dan jika saatnya tiba, atasan hebat itu akan memetiknya. Dan dari manusia-manusia pilihan itu, sang atasan akan mendapatkan harapan atas tersedianya calon-calon pemimpin masa depan untuk musim bisnis dimasa-masa mendatang. Sehingga, perusahaan itu bisa lestari.

Bonteng istimewa hasil pembibitan petani hebat itu diberi gelar baru, dan disebut sebagai ‘brewek’. Manusia istimewa hasil tempaan atasan hebat itu diberi gelar baru, dan disebut sebagai ‘Talent’. Andakah Sang Talenta Langka Itu?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Mau dapat atasan hebat seperti itu? Jika anda seorang bibit yang baik, mereka akan dengan senang hati menerima anda. Karena, para atasan hebat tidak akan membuang-buang waktu, energi dan sumber dayanya dengan orang-orang yang berpikiran sempit, tertutup oleh ke-aku-an, dan enggan untuk melakukan extra mile.

Bukti Bahwa Kita Pernah Ada

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Sekalipun tidak pernah melihat dinosuarus secara langsung, anda percaya bahwa mahluk itu memang pernah menghuni bumi kita. Apakah anda juga percaya bahwa mahluk-mahluk dalam film fiksi ilmiah seperti naga penyembur api dan kuda unicorn benar-benar pernah ada dibumi ini? Saya yakin anda sependapat bahwa itu hanyalah mahluk khayalan belaka. Anda tidak pernah melihat langsung dinosaurus. Tidak juga unicorn atau naga. Tetapi, mengapa anda yakin bahwa dinosaurus pernah ada sedangkan yang lainnya sekedar dongeng saja? Itu karena kita semua dapat menemukan jejak dinosaurus berupa fosil-fosil yang ditinggalkannya. Naga dan Unicorn? Tidak. Kesimpulannya tentu saja; Ada bukti bahwa dinosaurus pernah ada. Lantas, bagaimana dengan kita?

Alkisah, Tuhan mengijinkan setiap orang beriman yang sudah meninggal untuk berkunjung ke dunia. Hanya satu kali. Hanya satu hari. Mereka boleh menggunakan kesempatan itu untuk melakukan apa saja didunia ini. Biasanya mereka berkunjung menemui sanak famili dan orang-orang terkasihnya, untuk sekedar melakukan satu hal yang ingin dilakukannya terakhir kali. Namun, mereka tidak bisa berkomunikasi kecuali dengan anak-anak kecil. Karena kebanyakan orang dewasa tidak bisa merasakan kehadirannya. Salah satu dari orang beriman itu keluar dari pintu sorga, lalu terbang menuju rumah dimana orang-orang yang dikasihinya tinggal. Sesampai didepan rumah, dia mengetuk pintu sambil berucap salam.

”Bunda, ada tamu.” Kata cucunya yang lucu. Bundanya bilang “Mana?” Lalu dia kembali kedapur. Sekali lagi orang beriman itu mengucap salam. “Ayah, ada tamu.” Kata sang cucu lagi. Ayahnya tersenyum. Lalu melanjutkan membaca koran. Orang itu sekali lagi mengucap salam. Dan kali ini sang cucu membalas salamnya sambil berlari kearah pintu. “Kakek!?” katanya berseru seraya memeluk kakeknya yang sudah sangat lamaaaaaaaa sekali tidak bertemu. Mereka berpelukan.

“Aku kangen sama kakek.....,” kata anak itu. Tiba-tiba saja dari sudut mata sang kakek mengalir air mata sebening kaca. Kembali terbayang saat-saat dimana dia menggendong cucunya ketika masih bayi. Membimbingnya untuk belajar berjalan. Mengajarinya naik sepeda. Menemaninya bermain ditaman. Rasanya, dia masih ingin menjalani semuanya itu. Tetapi, waktunya hanya satu hari saja. Sejenak, dia berpikir tentang apa yang akan dilakukannya bersama sang cucu tercinta. Dia ingin itu menjadi saat paling istimewa bagi cucunya. Dia ingin itu menjadi bekal paling berarti bagi kehidupannya kelak. Dan dia ingin, kesempatan terakhir yang dimilikinya menjadi warisan paling bermakna darinya.

“Cucuku,” katanya dengan penuh kasih. ”Kakek ingin mengajakmu berjalan-jalan.”
”Naik sepeda seperti dulu, Kek?” Mata cucunya berbinar-binar.
”Tidak,” kata sang kakek.”Kita akan terbang....” lanjutnya kemudian.

Sang cucu berteriak kegirangan. ”Horeeeee aku akan terbang. Aku akan terbang!” serunya sambil berlari-lari dari ruang tamu. Lalu ke dapur. Ke halaman belakang. Kemana-mana. ”Aku akan terbang bersama kakek,” katanya lagi. Bunda dan Ayahnya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.”Ayah, Bunda, aku mau terbang bersama kakek ya?” suara renyahnya memenuhi udara. Sekali lagi Ayah dan Bunda saling bepandangan. Lalu mereka tersenyum. Dan; ”Iya, sayang. Titip salam sama kakek ya...” kata Bunda sambil mencubit pipinya yang tembem. Anak itu lari kehalaman depan. Memeluk kakeknya. Lalu mereka terbang.

Dari ketinggian, mereka melihat gedung menjulang. Gedung yang indah. Lagi megah. ”Lihatlah gedung itu Cucuku,” katanya. Sang cucu melihatnya dengan kagum. Ribuan orang keluar masuk gedung itu, sambil sesekali mereka berdecak kagum atas keindahannya. ”Dulu, kakek ikut membangun gedung itu,” katanya. Dan benar, diantara dinding yang kokoh anak itu melihat sidik jari kakeknya. Lalu mereka kembali terbang.

Tiba-tiba, mereka melihat sebuah taman yang indah. ”Lihatlah taman itu Cucuku,” kata sang Kakek. Sang cucu melihatnya dengan takjub. Ribuan orang asyik bermain ditaman itu. ”Dulu, kakek ikut menanam pepohonan disana,” katanya. Dan benar, ketika mereka melintas diatas taman itu, semua pohon yang dulu ditanam sang kakek merunduk penuh hormat. Lalu, mereka kembali terbang.

Dari atas sana, mereka melihat jembatan panjang. Melintang diatas sungai yang lebar lagi dalam. ”Lihatlah jembatan itu Cucuku,” kata sang kakek. Ribuan kendaraan berlalu lalang diatasnya. ”Dulu Kakek ikut menancapkan tiangnya,” Dan benar, ketika mereka terbang diatasnya, tiang-tiang jembatan itu membungkuk khidmat. Lalu, mereka terbang kembali.

Sepanjang hari itu, sang kakek menunjukkan kepada cucunya semua hal yang sudah dibangunnya ketika dia masih hidup. Dan sang cucu begitu terkagum-kagum atas semua pencapaian yang sudah dibuat oleh kakeknya. Lalu dia berkata; ”Aku ingin seperti Kakek,” katanya.
”Oh, ya?” jawab sang Kakek.

”Kalau aku sudah menjadi kakek-kakek nanti,” kata anak itu, ”Aku mau membawa cucuku terbang.”
”Oh, ya?” kata sang kakek.

”Aku mau tunjukkan kepadanya semua yang pernah kubuat semasa hidupku.”
”Kamu akan membangun gedung-gedung seperti kakek?”
katanya.
”Tidak.” jawab sang cucu.
”Taman?”
”Tidak.”
”Jembatan?”
”Tidak.”

”Lantas, apa?”
”Aku mau membangun apa saja yang bisa membuktikan bahwa aku pernah ada.”
kata cucunya dengan mantap.

”Kakek belum mengerti apa yang kamu katakan, Cucuku.” kata sang kakek dengan penuh kebanggaan.
”Aku ingin agar semua orang bisa mengenang aku meskipun aku sudah meninggal kelak, Kek.”
”Oh, ya?”
”Iya.”
katanya. ”Seperti orang-orang yang saat ini mengagumi semua yang pernah kakek buat dimasa kakek hidup dulu.”

Kakeknya tersenyum bahagia. Bermanfaat sudah waktu satu hari yang Tuhan berikan kepadanya. Dihadapannya kini berdiri seorang anak kecil yang siap melakukan sesuatu dalam hidupnya. Sesuatu yang layak dikenang. Sesuatu yang patut dikagumi. Sesuatu yang pantas diingat. Sesuatu yang membuktikan bahwa dia pernah ada.

”Mari kita pulang Cucuku,” kata sang kakek. Lalu mereka kembali terbang.

Hari sudah malam ketika mereka tiba dirumah. Dan saat anak itu berada dihadapan Ayah dan Bunda, mereka seolah-olah terkejut karenanya. ”Darimana saja kamu, Nak?” kata mereka dengan cemas.

”Aku habis terbang bersama, Kakek.” kata anak itu.
”Jangan main-main, Nak.” kata mereka. ”Kamu tidak boleh lagi pergi seperti itu.”
Anak itu tersenyum. ”Baiklah, Bunda.” katanya. ”Tapi kalau aku sudah besar nanti,” lanjutnya. ”Aku akan membuat sesuatu yang menjadi bukti bahwa aku pernah ada.”

Ketika anak kecil itu tertidur pulas, Ayah dan Bunda memandang wajahnya yang bening dalam tidur penuh senyum. Ayah Bunda saling pandang, lalu mereka berkata;”Bukti bahwa kita pernah ada?” Ya. Bukti bahwa kita pernah ada.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Kakek masih sesekali datang melalui mimpi-mimpi saya. Dengan wajahnya yang teduh. Dan tutur katanya yang halus. Beliau memandang dari kejauhan, seolah-olah berbisik; ”bukti, bahwa kita pernah ada....”.

Copyright2008@Dadang Kadarusman

Andakah Si Pemimpin Karbitan Itu?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Pemimpin karbitan! Anda boleh menggunakan kalimat itu untuk menumpahkan kekesalan pada orang-orang yang anda anggap tidak layak diposisinya sekarang. Tenang saja, tidak hanya anda yang menggunakan sumpah serapah itu. Banyak. Entah diucapkan secara langsung. Atau hanya sekedar gerundelan dalam hati belaka. Kita melakukannya ketika melihat orang yang lebih muda melesat naik mendahului kita. Juga ketika melihat seseorang yang dianggap tidak becus melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan yang diembannya; kita kemudian - dalam hati - berbisik, ’itulah jadinya kalau pemimpin karbitan yang dipilih’. Tetapi, bagaimana jika yang terpilih sebagai si pemimpin karbitan itu adalah kita sendiri? Apakah kita punya cukup keberanian untuk mengatakan kepada diri sendiri – akulah si pemimpin karbitan itu?

Masa kecil saya dijalani didaerah pertanian. Selama masa itu pula saya dekat dengan beragam macam tanaman, tetumbuhan, dan sayur-sayuran. Yang selalu ada nyaris sepanjang tahun adalah buah tomat. Ayah saya menanamnya dalam jumlah yang cukup banyak. Jika anda penyuka tomat dan membeli tomat matang dipasar atau toko swalayan, maka ketahuilah bahwa; tomat matang yang anda beli itu tidak matang dipohonnya. Sebab, tomat yang matang dipohon tidak akan bisa bertahan lama-lama ditempat penyimpanan. Pasti dia akan penyok dalam satu atau dua hari kemudian. Dia segera menjadi tomat bonyok. Jadi, mengirimkan tomat matang langsung dari kebun ke pasar adalah tindakan yang tidak cukup cerdas untuk dilakukan. Kalau begitu, tomat matang yang anda beli itu apa? Itu adalah tomat yang dipetik dari pohonnya dalam keadaan mentah. Masih keras. Dan berkulit buah warna hijau. Bukan merah seperti yang anda lihat sekarang. Lalu, untuk menjadikannya matang; tomat itu diperam. Biasanya, dalam proses memeram digunakan karbit. Itulah kenapa kita suka sekali mengatakan; ’matang karbitan’! Seperti kepada para pemimpin itu. Tidak ada yang perlu dipusingkan, bukan?

Jika seseorang menghardik dan mencap saya sebagai seorang pemimpin karbitan – nanti kalau saya berkesempatan menjadi pemimpin – maka saya akan mengatakan kepada orang itu: ”Terimakasih. Saya tersanjung karenanya....” Mengapa saya harus tersanjung? Bukankah harusnya saya tersinggung? Saya tahu, biasanya orang marah kalau disebut pemimpin karbitan. Saya ini juga pemarah, tapi tidak mau marah gara-gara sebutan itu. Mengapa demikian? Ada dua hal. Pertama, tidak ada dimuka bumi ini satu orang pun manusia yang langsung berhasil menjadi pemimpin hebat. Sebut saja siapa. Semua pemimpin hebat itu adalah mereka yang sebelumnya bukan pemimpin kemudian menjalani proses penggemblengan yang luar biasa. Persis seperti buah tomat mentah yang diperam menggunakan karbit. Semua pemimpin besar yang kepemimpinannya lestari, pasti dikarbit terlebih dahulu.

Tahukah anda bagaimana rasanya berada dalam tempat pemeraman bersama dengan batu karbit? Saya tahu. Sebab, dimasa kecil saya sering masuk kedalam tempat pemeraman. Rasanya panas. Bau tidak karuan. Gatal. Bikin sesak nafas. Dan jika kebetulan saja ada percikan api yang melintas; anda bisa membayangkan bagaimana jadinya. Tapi, jika tidak demikian, maka buah tomat kepemimpinan anda yang masih hijau itu tidak akan pernah menjadi matang. Itu yang pertama.

Kedua. Saya tersanjung, sebab jika saya harus terlebih dahulu matang sebelum mulai memimpin; maka sesungguhnya dengan segera saya akan menjadi pemimpin bonyok. Kalau saya berkesempatan untuk menjadi pemimpin ketika saya masih hijau, maka itulah saat terbaik untuk memulainya. Saat itu, saya berkesempatan menjalani semua kesulitan dalam proses memimpin. Diserang dan digoyang orang-orang. Diumpat didepan dan digunjing dibelakang. Diteriaki sebagai si pemimpin karbitan. Semua itu akan menjadi karbitnya yang pertama. Kritikan dari orang-orang yang tidak suka dan caci maki dari mereka yang iri menjadi karbit yang kedua. Sedangkan kesempatan untuk melakukan beragam eksperimen, belajar dari kesalahan, dan memupuk pengalaman adalah karbit ketiga. Dan semuanya itu; menjadikan tingkat kematangan kepemimpinan kita semakin menjulang tinggi.

Jadi, kita tidak usah marah kan, kalau digelari sebagai pemimpin karbitan? Tapi hey, tunggu dulu. Saya tidak bermaksud mengatakan kepada anda; jadilah tomat mentah dan harapkan seseorang mengkarbitmu dilubang pemeraman. Saya tidak bermaksud demikian. Memang sih, banyak orang yang mencela para pemimpin yang dianggap karbitan. Tapi, dalam hati, mereka juga tidak keberatan untuk dikarbit jadi pemimpin. Siapa sih yang tidak tergiur fasilitas yang diberikan kepada seseorang yang menduduki posisi pimpinan? Prinsipnya; daripada lawan gue yang dikarbit, ya mendingan gue dong? Perkara gue ini juga pemimpin karbitan; peduli malaikat!

Jujur saja, banyak orang yang mengharapkan untuk dipromosikan. Kalau dipromosikan, biasanya identik dengan jabatan yang lebih tinggi dong, ya kan? Ya, lumayanlah; jadi pemimpin kecil-kecilan. Salahkah jika kita memiliki keinginan macam itu? Tidak salah sih... Tapi kan sebenarnya kalau jujur kita katakan kepada diri sendiri; kita ini tidak hebat-hebat amat. Jujur saja, seringkali ambisi kita lebih besar daripada kualitas diri kita sendiri. Bagus jika anda tidak setuju dengan saya; sehingga saya menjadi lebih tenang karena kita punya orang-orang yang beneran hebat seperti anda. Tapi jika anda tidak demikian, ijinkan saya meneruskan pembicaraan ini.

Saya mengatakan bahwa pemimpin hebat itu memang lahir dari proses pengkarbitan. Bukan dimatangkan dulu baru didudukkan menjadi pemimpin. Tetapi, jangan sembarangan menggunakan perkataan saya untuk melegalisasikan ambisi-ambisi anda. Mengapa demikian? Sebab ternyata; tidak semua tomat mentah bisa dikarbit menjadi matang. Saya ulangi kata-kata saya; tidak semua tomat mentah bisa dikarbit menjadi matang.

Ayah saya, seorang guru SD dan petani yang hebat. Dia mengatakan: Dadang, jangan dipetik buah tomat itu! Ketika itu tangan saya menyelosor untuk memetik buah tomat yang masih hijau. ”Kenapa?” saya balik bertanya. ”Belum waktunya,” begitu ayah saya bilang. ”Lho, bukankah buah tomat ini bisa diperam?” sanggah saya. ”Baiklah, kalau begitu,” balasnya. ”Ambillah, dan peramlah.” saya menang. Saya memetiknya. Dan kemudian memeramnya.

Tiga hari kemudian, saya membongkar pemeraman. Dan saya menemukan tomat itu; membusuk. Tahukah anda mengapa? Benar, karena tomat itu dipetik terlampau dini. Belum saatnya bagi tomat itu untuk diperam. Sehingga bukannya dia menjadi matang; melainkan membusuk ditempat pemeraman. Untuk bisa berhasil diperam, buah tomat harus memiliki standar kondisi tertentu. Jika tidak, dia akan membusuk.

Manusia juga begitu. Boleh saja sekarang anda percaya bahwa proses pengkarbitan bisa menjadikan anda pemimpin yang hebat. Tetapi, sebelum memasuki proses pengkarbitan itu; anda harus mencapai tarap kualitas diri tertentu terlebih dahulu. Sebab, jika anda masih hijau sehijau-hijaunya, maka proses pengkarbitan itu justru akan sangat membahayakan diri anda sendiri. Anda akan membusuk seperti tomat hijau tadi.

Mari kita lihat sekali lagi disini tentang dua hal. Satu. Kita tidak perlu lagi menyalahartikan proses pengkarbitan jiwa kepemimpinan seseorang. Apakah itu orang lain, ataupun diri kita sendiri. Memang kita harus mengkarbitnya. Karbitlah jiwa kepemimpinan itu hingga matang. Dan biarkan suara-suara miring melintas dibawa angin hingga menghilang. Sebab, jika anda berhasil menjalani proses pengkarbitan kepemimpinan itu; cepat atau lambat, mereka yang mengkritik anda akan mengerti juga pada akhirnya. Mereka akan berbalik menghormati anda. Karena, dengan kematangan yang anda miliki setelah menjalani proses pengkarbitan itu; anda menjadi pemimpin yang hebat bagi mereka.

Dua. Untuk bisa matang dalam proses pengkarbitan; kita harus mempunyai modal dasar yang benar-benar kuat dan baik. Sikap kita. Perilaku kita. Kemampuan intelektual kita. Kemampuan konseptual kita. Kemampuan operasional kita. Semuanya. Itulah prasyarat bagi kita untuk bisa matang setelah dikarbit. Dan jadilah kita; pemimpin masa depan yang tangguh dan dapat diandalkan. Pemimpin yang memancarkan kemilau indah warna kepemimpinan kita yang menggemaskan. Sehingga setiap orang ingin merasakan nikmatnya berada dibawah kepemimpinan kita.

Hey, tapi kan sekarang kita belum memasuki masa pengkarbitan itu. Biar saja. Cepat atau lambat, kita akan sampai kepada proses itu. Selama kita terus-menerus meningkatkan kualitas diri kita hingga mencapai standard yang diperlukan untuk menjadikan diri kita layak mendapatkan kesempatan itu. Setelah itu; bersiap siagalah. Anda akan dikarbit. Dan Anda. Akan. Menjadi. Pemimpin. Karbitan!

Hore,
Hari baru!
Dadang Kadarusman

Catatan kaki:
Untuk bisa dikarbit, buah tomat mentah harus memiliki standard kematangan tertentu. Dan untuk bisa dikarbit, kita harus memiliki standard kualitas pribadi tertentu. Jika tidak, proses pengkarbitan tidak akan bisa menjadikan kita pemimpin yang matang.

Copyright2008@Dadang Kadarusman

Benarkah Kita Harus Membuang Rasa Malu?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Dimasa kecil, ketika pelajaran kesenian tiba, Ibu guru meminta setiap anak untuk bernyanyi didepan kelas. Kita bersembunyi dikolong meja dengan debaran jantung teramat kencang, berusaha menghindari giliran. Kita merasa malu. Ketika beranjak remaja, Ayah dan Ibu bilang:”Kamu ini bikin malu keluarga saja!”. Saat memasuki usia dewasa muda, kita duduk dibangku kuliah berhadapan dengan dosen yang sangat cerdas. Dia tahu kita tidak mengerti rumus-rumus abstrak yang dilukisnya dipapan tulis. Beliau bertanya:”Siapa yang belum mengerti?” Kita terdiam. Membisu. Malu ketahuan teman kalau kita ini bodoh. Dan. Ketika sudah benar-benar dewasa, kita duduk di kursi hotel untuk sebuah pelatihan dari seorang trainer hebat. Ketika trainer itu bertanya:”Bapak, Ibu, silakan jika ada yang ingin ditanyakan...” Kita terdiam. Malu. Masak, pangkat manajer kok mengajukan pertanyaan sedungu itu. Kemudian kepada kita dikatakan; ”Buanglah jauh-jauh rasa malu. Karena itu akan menghambat keberhasilanmu!” Benarkah demikian?

Seorang salih yang dicintai umatnya mengatakan:”Rasa malu itu adalah bagian dari Iman.” Dengan kata lain, keimanan seseorang tidaklah sempurna seandainya orang yang mengaku beriman itu tidak memiliki rasa malu. Sekarang pilihannya ada pada diri anda; apakah anda ingin menjadi orang berhasil dalam karir, atau menjadi orang yang beriman dengan keimanan yang utuh? Jika anda ingin sukses berkarir, buang rasa malu dari dalam diri anda! Jika anda ingin menjadi orang beriman, pupuk dan hidupkan rasa malu dalam diri anda! Gampang, kan? Tetapi, benarkah kita harus demikian? Tidakkah keimanan dan kesuksesan bisa seiring sejalan?

Kita seringkali mencampakkan ajaran-ajaran normatif seperti itu. Mungkin karena terlalu dipengarui oleh hawa hedonisme, dimana materi menjadi tolak ukur paling dominan. Hidup kita, dinilai dari jenis mobil yang dikendarai. Kemegahan rumah yang kita huni. Label pakaian yang kita kenakan. Gelar yang menempel pada nama kita. Dan jabatan atau pangkat yang melekat dipundak kita. Ajaibnya, kita meyakini bahwa kalau kita malu, tidak mungkin semuanya itu bisa kita raih. Oleh karena itu, mengapa kita mesti malu melakukan ini dan itu. Mengapa kita mesti malu melabrak sana sini. Menyikut kanan dan kiri. Mengambil. Merenggut. Meraup. Apa saja. Supaya dalam sekejap, kita bisa mendapatkan segala-galanya. Mengapa mesti malu?

Buanglah jauh-jauh rasa malu. Karena itu akan menghambat keberhasilanmu!” Rasa malu seperti apa yang mesti kita buang jauh-jauh? Malu bertanya sesat dijalan, katanya. Jadi, mungkin harus membuang rasa malu itu. Sebab, kalau malu bertanya kita akan tersesat. Bisa iya. Bisa tidak. Anda, jika sudah memiliki fasilitas GPRS; tidak usah lagi bertanya. Tidak akan pernah tersesat lagi, kok. Anda, jika sudah punya asisten pribadi yang hebat; mengapa masih harus bertanya? Cukup anda katakan kepadanya: ”Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, tapi kamu harus kerjakan ini untukku!”. Besok pagi hasilnya sudah tertata rapi diatas meja kerja anda yang mewah. Masih haruskah anda bertanya? Jika anda malu tampil didepan orang banyak untuk sebuah pidato yang bermutu, mengapa pusing. Minta saja pegawai anda mengadakan kontes untuk mencari orang yang mirip dengan anda; dan suruh dia bicara didepan publik untuk anda. Masihkah anda membutuhkan rasa malu?

Rasa malu itu adalah bagian dari Iman.” Ngomong apa sih sang Nabi ini? Please, deh. Jangan kaitkan soal rasa malu dengan keimanan! Baiklah, kita hentikan semua omong kosong ini sampai disini. Tapi sebelum itu, coba kita perhatikan beberapa hal berikut ini. Seorang beriman akan merasa malu jika dia tidak bisa mempersembahkan hasil pekerjaan yang baik untuk perusahaan yang menggajinya. Seorang beriman akan malu jika kemampuan dirinya lebih rendah dibandingkan rekan sejawat yang bekerja dalam tanggungjawab yang sama, digaji sama, diberi fasilitas sama, dan diperlakukan sama. Dia malu jika membiarkan dirinya terus menerus ketinggalan. Dan dia malu, jika meminta kenaikan gaji padahal dia tahu; dia belum bekerja maksimal untuk perusahaan. Seorang yang beriman, malu jika menyalahgunakan fasilitas dan kesempatan yang dia dapatkan. Seorang yang beriman malu, jika menggunakan kewenangan untuk memeras para pemasok barang. Dan seorang yang beriman malu, jika harus mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Oleh dasar rasa malu itu; seorang yang beriman, dalam bekerja pasti akan mempersembahkan prestasi puncaknya. Dan oleh dasar rasa malu itu; seorang beriman akan sadar bahwa bertanya merupakan tugas dirinya yang belum mengetahui suatu hal. Malu dia, jika nanti setelah mengikuti pelatihan, pengetahuan dan kemampuannya sama sekali tidak ada penambahan. Jadi pastilah dia akan bersungguh-sungguh dalam melakukan apapun yang menjadi tanggungjawabnya. Seorang atasan yang beriman malu jika semua kesalahan ditimpakan kepada anak buahnya. Apa fungsi atasan jika demikian? Seorang anak buah yang beriman, malu jika keberadaannya sama sekali tidak menyebabkan segala sesuatunya lebih mudah bagi sang atasan. Apa guna seorang bawahan jika demikian?

Seorang kolega yang beriman, malu jika kehadirannya sama sekali tidak menyebabkan teman-temannya dalam team terbantu. Dan seorang pegawai yang beriman, malu dia; kalau sampai tugas-tugasnya terbengkalai. Seorang karyawan yang beriman akan malu jika dia masuk ke kantor selalu terlambat, dan terbiasa pulang cepat-cepat. Dan karyawan yang beriman akan malu jika menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan siang dengan desert berupa rumpi yang tidak karuan. Dia akan malu juga, jika setelah menyia-nyiakan jam kerja itu tetap tinggal dikantor sampai larut malam agar perusahaan membayar upah lembur. Dan orang yang beriman; akan malu jika menyia-nyiakan kesempatan untuk dipromosikan. Sehingga dia akan berusaha sekuat tenaga, agar memiliki kualitas yang jauuuuuuuuuuh lebih baik dari teman-temannya yang lain. Agar nanti, jika ada lowongan jabatan yang lebih tinggi – management tidak ragu memilihnya untuk dipromosikan. Karena, ”Rasa malu itu adalah bagian dari Iman.”

Kita bisa menjadi orang beriman yang sukses, bukan? Tentu saja bisa. Sebab ternyata, sang Nabi merancang konsep rasa malu dalam iman itu untuk memastikan bahwa umatnya benar-benar meraih kesuksesan dalam hidup, dan dalam mati. Dalam hidup dengan rasa malu itu, kita dibimbing untuk menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Dan bisa diandalkan. Layak untuk diberi tanggungjawab besar. Patut untuk menjadi panutan. Dan pantas dijadikan tempat dimana orang-orang lainnya mendapatkan pencerahan. Dalam mati dengan rasa malu, kita meninggalkan jejak-jejak keterpujian. Untuk dicatatkan oleh malaikat sebagai kebajikan. Untuk menjadi landasan, mengapa dia layak mendapatkan imbalan dari Tuhan. Dan untuk menjadikannya modal agar pantas mendapat tempat yang terpuji disisi-Nya.

Kadang kita mengatakan ’telah berpulang ke rahmatullah’. Mana mungkin kita benar-benar kembali kepada rahmat Allah, jika ketika mati, kita tak memiliki rasa malu? Mungkin kita mengatakan ’telah berpulang kerumah bapa di surga’. Mana mungkin pintu rumah Allah akan dibukakan untuk kita; seandainya kita tidak memiliki rasa malu? Bahkan, untuk memasuki rumah tetangga saja kita harus memiliki rasa malu itu. Bukankah tidak ada orang yang senang dikunjungi oleh jenis manusia yang tidak tahu malu? Jadi, bagaimana kita bisa masuk surga kalau pintunya tidak dibuka pemiliknya? Karena sang pemilik surga hanya akan membukakan pintu itu bagi mereka yang benar-benar beriman. Sedangkan kata Pak Muhammad: ”Rasa malu itu adalah bagian dari Iman.” Dan kalau tidak kesurga, kemana lagi kita akan kembali pulang?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman.

Catatan kaki:
Jika dirawat dan dimanfaatkan dengan tepat; rasa malu akan membantu kita untuk tumbuh menjadi pribadi yang berhasil meraih keagungan didalam kedua kehidupan

Copyright2008@Dadang Kadarusman

Kapan Terakhir Kali Doa Anda Dikabulkan Seketika?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Jika kita berdoa biasanya kita mengharapkan doa itu segera dikabulkan, bukan begitu? Bahkan, kita sering berharap agar doa itu langsung dikabulkan tepat disaat kita selesai mengucapkannya. Seketika itu juga. Memang kadang kita ini tidak realistis, sih. Tapi, sebenarnya, berharap agar Tuhan segera mengabulkan doa kita tidaklah berlebihan. Dan memang kenyataannya begitu, kok. Tuhan mengabulkan begitu banyak permintaan kita, dengan segera. Coba saja anda renungkan; kapan terakhir kali anda berdoa dan doa itu langsung dikabulkan Tuhan?

Jika saya merenungi kembali doa-doa yang pernah saya panjatkan. Ternyata, begitu banyak doa yang dikabulkan oleh Tuhan dengan serta merta. Langsung Tuhan berikan tanpa harus menunggu lama. Terutama ketika doa itu berupa sesuatu yang tidak berhubungan dengan material duniawi seperti misalnya kesehatan dan ketenangan. Keberanian. Atau ketegaran hati. Ketika saya bilang; Tuhan, berikan saya kekuatan. Maka saya benar-benar merasa kuat. Tuhan, kumohon ketenangan hati; maka segera saja hati saya merasa tenang. Jujur saja, kadang saya lupa bahwa itu merupakan bentuk pengkabulan langsung dari Tuhan.

Bukan itu saja, permintaan material pun tak jarang Tuhan segera kabulkan. Puji Tuhan, saya bukan orang yang berlimpah ruah dari sisi materi. Bukan orang kebanyakan uang. Sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup pada taraf yang wajar. (Jangan-jangan, ini merupakan terminologi lain dari kata ’pas-pasan’, haha.). Tetapi, saya merasa beruntung berada pada tingkatan status ekonomi yang biasa-biasa saja ini. Sebab, harus saya akui, ketika baru terima gajian; saya suka lupa untuk meminta kepada Tuhan. Lain sekali ketika dompet sedang benar-benar lepet dan kepepet; saya merasa begitu dekatnya dengan Tuhan, sehingga saya merasa berhak untuk meminta kepadaNya. Jadi, Tuhan, saya tidak keberatan jika Engkau terus menerus menempatkan diri saya pada posisi pas-pasan ini. Kalau hanya itu cara satu-satunya agar saya tidak terlalu sulit untuk agak lebih sering mendekat padaMu. Untuk meminta tambahan dari kekurang-kekurangan yang kadang-kadang menyesakkan dada. Hehe, curang.

Anda, terakhir kali doanya dikabulkan langsung oleh Tuhan, kapan? Saya mengalaminya tadi pagi. Sehabis mandi, saya berdiri tertegun dihadapan lemari pakaian. Lalu saya memandang gantungan pakaian kerja yang ada disana. Dan saya menyadari bahwa celana panjang saya, sudah pada berumur lama. Tidak belel, memang. Tetapi, jika saya mengenakannya, orang tahu bahwa itu sudah berumur lebih dari 2 atau 3 tahun. Anda sering membeli pakaian? Saya tidak. Pagi itu, saya bergumam; Oh, Tuhan, saya sudah sangat membutuhkan celana panjang yang baru.

Tahukah anda, apa yang terjadi satu detik kemudian? Saya benar-benar mendapatkan celana panjang baru seketika itu juga!

Sekitar 4 tahun yang lalu, kantor tempat saya bekerja membiayai pembuatan satu stel jas untuk sebuah acara resmi. Bahannya cukup bagus. Ada penjahit khusus yang ditunjuk untuk menjahitkannya pula. Jahitannya bagus. Tetapi...., entah kenapa; celana panjang yang penjahit itu buatkan untuk saya ternyata ukuran pinggangnya kebesaran. Kalaupun saya paksakan memakainya, pasti tampak kedodoran. Pagi ini, sekitar empat tahun kemudian, tepat setelah saya berkata; Oh, Tuhan, saya sudah sangat membutuhkan celana panjang yang baru, itu; saya teringat celana panjang itu. Dan tahukah anda, selama empat tahun terakhir ini tubuh saya sudah tumbuh lebih besar, terutama dibagian pinggang. Maka, jadilah celana yang dijahit empat tahun lalu itu barang baru yang benar-benar pas buat saya. Pagi ini, saya bahagia untuk dua hal. Pertama, karena doa saya terkabul Tuhan seketika itu juga. Dan kedua, ternyata, saya masih berada dalam masa ’pertumbuhan’. Alhamdulillah. Terpujilah Tuhan.

Mungkin anda menganggap ini hal sepele. Tetapi, cobalah kembali anda renungkan; kapan terakhir kali doa anda dikabulkan Tuhan seketika itu juga? Boleh jadi selama ini kita tidak menyadari betapa Tuhan bersedia mendengarkan doa-doa kita. Bahkan mengabulkannya seketika itu juga. Dia mengabulkan doa-doa kita; sekalipun kita tidak selalu bersegera memenuhi panggilannya ketika Dia menyeru kita. Dan, hey ingat; boleh jadi doa-doa itu tidak terucapkan. Sekedar terbersit dalam hati. Tetapi, Tuhan tetap mendengarnya. Lalu Dia mengabulkannya untuk kita. Setiap malam, ketika kita pergi tidur; mungkin kita tidak mengucapkan seulas kata untuk meminta kepadaNya. Tetapi, jauh dilubuk hati yang paling dalam, kita ingin agar besok pagi bangun dalam keadaan sehat walafiat. Dan benar saja, ketika keesokan harinya kita bangun pagi; kita benar-benar sehat. Lihatlah. Bahkan, sekalipun kita tidak mengucapkannya. Tuhan masih bisa mendengarkan. Bahkan, sekalipun itu hanya tersirat dalam hati saja; Tuhan langsung mengabulkannya. Coba saja anda bayangkan; betapa seringnya kita bangun pagi dalam keadaan sehat. Sehingga pagi itu; kita terbangun dengan gairah dan kebugaran tertinggi. Setiap hari. Sementara kita tidak cukup paham bahwa itu terjadi, karena Tuhan sayang pada kita. Dan Dia mengabulkan doa-doa kita, seketika itu juga.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman

Catatan kaki:
Dan jika hamba-hambaku bertanya tentangku; katakanlah bahwa Aku ini dekat.

Copyright2008@Dadang Kadarusman