Sabtu, 27 September 2008

Saham Yang Tidak Pernah Turun Nilainya

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Konon, berinvetasi sudah menjadi salah satu ciri gaya hidup manusia modern. Orang-orang yang sudah sadar akan pentingnya berinvestasi menanamkan uangnya untuk membeli saham, membeli surat utang negara, atau bemain valas dan berbagai jenis investasi lainnya. Meskipun tujuan berinvestasi adalah untuk mencari keuntungan, namun ada kalanya justru uang yang kita investasikan menjadi berkurang. Memang, para manager investasi bisa membantu kita memaksimalkan laba dan mengurangi resiko rugi. Namun, pasti akan lebih elok lagi kalau investasi kita dijamin selalu menguntungkan. Tidak pernah rugi. Tidak bisa diakuisisi oleh orang lain. Berlaku sepanjang masa. Bahkan setelah kita mati pun keuntungannya tetap mengalir. Tapi, mana ada investasi macam itu?

Pertengahan bulan September lalu, kejutan besar menghantui pasar investasi dunia. Hari itu, kita seolah disadarkan tentang betapa rapuhnya dunia bisnis ini. Sehingga, negara sekuat Amerika pun kelimpungan. Dan, yang lebih mengejutkan lagi, pada tanggal 16 September 2008 Bank Investasi Lehman Brother yang sudah beroperasi selama 158 tahun dinyatakan bangkrut. Pada kesempatan lain, teman saya menceritakan bahwa dia pernah mendapatkan keuntungan sekitar US$2,700.- hanya dalam satu malam. Terpukau oleh ’keberuntungan pemula’ itu; semua uang yang semula akan digunakan untuk membeli rumah dia investasikan demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi. Dan. Amblas!

Sedangkan pada suatu sore, seorang Kakek tengah berhadapan dengan lelaki muda berdasi disebuah padepokan. ”Maukah engkau kutunjukkan kepada investasi yang sahamnya tidak pernah turun?” tanya sang Kakek. Lelaki itu menatap matanya. Dia tidak pernah percaya kepada rayuan gombal para pengelola keuangan semacam itu. Apalagi ketika si Kakek mengatakan bahwa keuntungannya bersifat abadi. Tidak perlu dimonitor setiap hari. Tidak usah pergi kepasar modal. Tidak perlu membayar fee kepada fund manager.

”Saya tidak percaya,” kata lelaki itu. ”Tapi, sebaiknya kakek katakan saja.” lanjutnya. ”Mungkin itu bisa menjadi hiburan atas kerugian yang baru saja saya alami.” nada suaranya terdengar sinis.

”Kakek tahu penyebab hilangnya kepercayaanmu,” jawabnya. Lelaki itu mengangkat kepalanya. Tatap matanya mengisyaratkan keraguan. ”Karena kamu bertransaski dengan manusia,” lanjut si Kakek.

”Maksud kakek apa?”
”Setiap transaksi dengan manusia tidak dijamin akan menghasilkan keuntungan,” jawabnya. ”Karena, manusia cenderung mengambil kentungan untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Setelah dia sendiri untung, baru dia memikirkan orang lain.” lanjutnya. ”Kalau perlu, manusia membiarkan temannya jatuh kedalam kerugian karena mereka percaya bahwa hukum ekonomi itu berarti keluar sedikit dapatnya banyak....”

”Iya, tapi kalau tidak dengan manusia saya harus bertransaksi dengan siapa? Monyet?” Lelaki itu kesal bukan hanya karena merasa disindir, tetapi juga karena dia tahu bahwa monyet tidak bisa melipatgandakan uangnya.

”Kita mesti bertransaksi dengan Tuhan.” jawab si Kakek. Matanya tertuju lurus menabrak kedua bola mata lelaki itu. Tembus hingga menghunjam ulu hatinya. ’Deg’, lelaki itu merasakan tumbukan dijantungnya. Tuhan? Bahkan dia sudah lama tidak mengingat nama itu. Dia terlalu sibuk dengan urusan kantornya. Bisnis akhir-akhir ini menjadi semakin manja. Tidak bisa berkembang kalau tidak di-ninabobo-kan oleh dirinya secara langsung. Dan pasar modal semakin kurang bersahabat. Sehingga uang yang ditanamnya terancam lenyap. Tapi, dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan si kakek. Uang yang lenyap dari tangannya berarti keuntungan bagi pihak lain. Oh. Uang itu sungguh tidak menghilang. Dia ada. Tapi, dia berpindah tangan. Dari tangan orang-orang yang bangkrut seperti dirinya. Berpindah ke rekening orang-orang yang untung. Sama seperti ketika dia yang untung. Ada seseorang dibelaham bumi lain yang mengalami kerugian. Duh, inilah rupanya yang dihasilkan oleh ’untung dan rugi’.

”Tuhan mengajarkan konsep untung dan untung.” lanjut si Kakek seolah mengerti apa yang dipikirkannya. ”Jika kamu menginvestasikan uangmu dijalan Tuhan. Atau sekedar berbuat kebajikan untuk sesama. Maka kebajikan itu akan ditransformasikan menjadi lembaran-lembaran saham yang semakin hari-semakin bertambah labanya. Tanpa ada kemungkinan orang lain merebut saham itu dari tanganmu.” Lanjutnya.

Si Kakek kemudian mengatakan bahwa orang-orang yang menerima kebajikan itu diuntungkan. Hidup mereka menjadi termudahkan. Pandangan mereka menjadi tercerahkan. Lalu mereka mencerahkan orang lain lagi. Dan orang yang mereka cerahkan mencerahkan orang-orang disekitarnya. Teruuuuus begitu. Sehingga saham yang kita tanamkan melalui kebajikan itu semakin hari semakin berkembang. Hebatnya lagi, kita tidak harus memiliki uang untuk membeli saham itu. Cukup dengan memasuki lingkaran kebajikan itu saja, kita sudah bisa memiliki saham yang nilainya tidak pernah turun itu. Semakin banyak kebaikan itu kita sebarkan, semakin banyak lembaran saham yang kita kumpulkan. Dan suatu hari nanti; saham-saham itu bisa kita gunakan untuk penebusan atas dosa-dosa kita dimasa lalu. Dan, ketika jumlah saham itu sudah mencukupi untuk menghapuskan semua dosa-dosa kita, maka neraca rugi laba kita menunjukan ’break even point’. Kita kembali menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan. Dan. Kita kembali kepada ’Fitri’. Tepat dihari yang fitri.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Mohon maaf lahir dan batin.

Minggu, 14 September 2008

Pertarungan Terakhir Sang Pendekar Nomor Wahid

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Kita tentu masih ingat tentang ilmu padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Semakin seseorang bertambah ilmunya, semakinlah dia menyadari betapa dia mesti lebih banyak menundukkan kepalanya. Sehingga matanya tidak tertuju keatas untuk mendongak. Melainkan melihat kebawah kearah hati. Mungkin itu pula sebabnya kita mengenal istilah ‘rendah hati’. Tentu, rendah hati itu tidak sama dengan rendah diri. Sebab, rendah diri membawa kita kepada sikap inferior. Sedangkan sifat rendah hati menjadikan kita orang yang yakin kepada kemampuan diri tanpa harus membusungkan dada. Atau sekedar merasa diri lebih hebat dari orang lain. Kita kemudian berkata; “Apa salahnya orang hebat seperti gue membangga-banggakan diri?” Apalagi jika kehebatan dan kesuksesan kita ini, dihasilkan dari ‘jerih payah sendiri’. Tidak salah. Namun, padi tidaklah bersikap demikian.

Dulu. Ketika keunggulan manusia diukur oleh kemampuannya memainkan pedang. Orang-orang hebat saling berlomba untuk menjadi pendekar nomor wahid. Sehingga, mereka berlatih tanpa henti dengan tujuan utama; mengalahkan pemegang gelar ‘pendekar nomor wahid’ yang ada. Dan merebut gelar itu. Mereka tidak keberatan jika harus bertarung hingga mati.

Pada suatu ketika, kesaktian sang pendekar nomor wahid sudah mencapai tingkatan yang paling tinggi. Sehingga, tidak ada lagi orang yang berani menantangnya. Lama-lama, dia merasa bosan sendiri. Tak ada lagi pertarungan. Tak ada lagi kemenangan. Dan akhirnya, tidak ada lagi nilai dari gelar yang selama ini dibangga-banggakannya. Lalu, hati kecilnya berbisik; “Benarkah aku ini seorang pendekar nomor wahid?” Mengingat tak ada lagi yang berani menantangnya, seharusnya tak seorangpun meragukannya. Tetapi, hati kecilnya kembali berbisik; “Bagaimana seandainya dibelahan dunia lain ada orang yang lebih sakti. Apakah aku layak menyandang gelar ini?”

Kegelisahan itu membawanya kepada pengembaraan yang teramat panjang. Dia melintasi bukit. Menyeberang lautan. Menjelajah padang pasir yang gersang. Semuanya hanya untuk mendatangi orang-orang sakti dan mengalahkannya satu demi satu. Akhirnya, sampailah dia disebuah perguruan terakhir untuk ditaklukan. Jika dia berhasil mengalahkan orang paling sakti diperguruan itu, maka dia berhak menyandang gelar pendekar nomor wahid secara mutlak.

“Siapakah orang paling sakti diperguruan ini?” hardiknya, sesaat setelah dia mendobrak pintu gerbang. Dengan sekali tendang.

”Disini tidak ada orang yang seperti itu, Tuan” jawab orang-orang itu.
“Perguruan macam apa ini?” sergahnya. “Masa, tidak ada orang yang paling sakti disini!” sang pendekar nomor wahid kembali menghardik. “Memangnya apa yang kalian pelajari selama ini dengan pedang, tombak, dan toya itu.?”

“Disini,” jawab para murid. “Kami belajar tentang kerendahan hati,” katanya dengan serempak.

Sang pendekar nomor wahid terlihat gusar dengan omong kosong itu. Tidak ada perguruan yang mengajarkan kesia-siaan semacam itu. Kesaktian. Kehebatan. Dan kekuatanlah yang seharusnya diajarkan. Karena, hanya dengan cara itu kemuliaan seseorang ditentukan. Orang-orang saktilah yang kedudukannya tinggi. Orang-orang hebatlah, yang pantas dihargai. Orang-orang kuatlah yang layak ditakuti dan dihormati. “Antarkan aku kepada guru kalian,” pintanya.

Orang-orang diperguruan itu saling pandang. Lalu berkata; “Tuan sudah berada dihadapan guru kami,”.

Sang pendekar kebingungan; “Apa maksud kalian?” katanya.

“Disini,” jawab para murid. “Kami menjadi guru untuk orang lain.” Mereka diam sejenak. “Sekaligus menjadi murid bagi mereka.” Lanjutnya serempak.

Sekarang sang pendekar mulai mengerti bahwa diperguruan itu, setiap orang diperlakukan sebagai guru. Karena setiap orang ditempat itu mengajari orang lain tentang apa saja yang diketahuinya. Para ahli pedang mengajarkan pedang. Para ahli panah, mengajari cara memanah. Para ahli tombak, membuka rahasia tentang permaian tombak.

Sang pendekar nomor wahid itu juga mengerti. Bahwa diperguruan itu setiap orang menempatkan dirinya sendiri sebagai murid. Sehingga tidak peduli kesaktian dirinya setinggi apa; mereka bersedia untuk belajar dari orang lain tentang sesuatu yang tidak diketahuinya. Para ahli pedang belajar bagaimana melempar tombak. Para jago toya belajar tentang cara memegang busur panah. Jadi, siapakah gerangan yang pantas menyandang gelar sebagai ‘orang yang paling sakti’ itu?

Sang pendekar nomor wahid tertegun. Dia menatap satu persatu wajah demi wajah yang ada dihadapannya. Menanyakan nama-nama mereka. Dan mengingat-ingat apa yang dikenang orang tentang nama-nama itu. Betapa terkejutnya dia, ketika menyadari bahwa mereka adalah nama-nama yang sangat harum mewangi didunia kependekaran. Merekalah legenda-legenda kesaktian. Namun, betapa terharu kalbunya ketika mengetahui bahwa; “bahkan orang-orang sekualitas merekapun tidak saling belomba untuk memperebutkan gelar terhormat itu.” Oh, inikah rupanya yang diajarkan oleh keredahan hati. Mereka merunduk. Ketika isi dan kualitas dirinya semakin meninggi. Mereka tambah merendah. Disaat pencapaian mereka menanjak dan mengangkasa. Seperti sang padi. Semakin merunduk. Ketika butir bulirnya semakin berisi.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Tidaklah penting siapa guru, dan siapa murid. Karena kenyataanya; tidak ada manusia yang sempurna.

Minggu, 07 September 2008

Mengusir Gelisah Hati

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Dijaman ini, begitu banyak hal yang bisa menjadikan hati kita gelisah. Kenaikan gaji yang nyaris habis dikikis inflasi. Harga sayur-mayur yang menguras uang dapur. Uang sekolah anak-anak yang kadang menyesakkan. Juga sang gadis pujaan hati yang tidak kunjung menerima cinta kita. Kerena kegelisahan itu, kita menjadi sulit tidur. Dari sulit tidur, lalu kita dihinggapi depresi. Kemudian berkembang menjadi stress berkepanjangan. Untuk mengobatinya; kita meminum obat tidur ditambah anti-depresan dan anti-ansietas. Memang, banyak orang yang tertolong dengan obat-obatan semacam itu. Tetapi, dalam jangka panjang mereka harus menaikkan dosis untuk menghasilkan efek yang sama. Sehingga, akhirnya malah menjadi ketagihan. Adakah alternatif lain selain obat-obatan semacam itu?

Dijaman dahulu kala, obat-obatan seperti itu belum ada. Begitu pula dengan lembaga pelatihan yang menyajikan topik ‘Stress Management’. Sehingga, orang-orang pada masa itu harus mencari jalan keluar lain, seperti yang dikisahkan dalam sebuah dongeng. Dongeng tentang seorang lelaki yang sedang dihinggapi oleh kegelisahan hati. Dia mendatangi seorang bijak ditengah gurun pasir yang bernama bukit Shofa. Lalu bertanya;”Tuan, apa rahasianya sehingga Tuan begitu tentram dalam menghadapi hidup yang serba sulit ini?”

Orang bijak itu berkata;”Aku tahu sebuah rahasia,” katanya, “tapi aku tidak bisa mengatakannya kepadamu,” lanjutnya.

Lelaki itu menahan kecewa sambil berkata:”jika Tuan tidak mengatakannya, bagaimana saya mengetahuinya?”

“Engkau bisa membacanya,” kata sang bijak, seraya mengarahkan telunjuknya kesebuah gundukan pasir dibukit Marwa. “Disana,” lanjut beliau. “Ada selembar kulit kambing yang menyimpan rahasia itu. Raihlah kulit kambing itu, dan bacalah apa yang tertulis padanya.” Katanya. “Jika engkau bisa mengamalkannya, maka hatimu akan terbebas dari rasa gundah dan gelisah.” Lalu, orang bijak itu beranjak pergi.

Seketika itu juga, sang lelaki berlari ke bukit Marwa. Setelah mencari-cari diseluruh penjuru bukit itu, akhirnya dia berhasil menemukan kulit kambing yang diceritakan oleh sang bijak tadi. Dia bergegas membuka lembaran kulit kambing itu. Dan disana, didapatinya sebaris kalimat aneh yang berbunyi;”Alaa bidzikrillaahi tathma-innul quluub....” Sejenak dia berpikir, apa arti kalimat itu. Oh, dia teringat masa kecil dulu, ketika gurunya bercerita tentang rahasia itu. Perlahan-lahan dia teringat pula bahwa kalimat itu berarti, bahwa:’hanya ada satu cara untuk menjadikan hati kita tenang, yaitu; dengan mengingat Tuhan’.

Orang-orang yang senantiasa mengingat bahwa mereka mempunyai Tuhan tempat bersandar; dijamin akan merasa tenang dihatinya. Betapa tidak? Didunia ini ada begitu banyak hal yang diluar jangkauan kemampuan manusia. Sehingga, mengandalkan kemampuan diri sendiri saja seringkali tidak cukup. Lagipula, masalah kita bisa datang silih berganti. Saat kita terbebas dari suatu masalah, masalah lain serta merta menggantikan.

Ketika teringat kepada Tuhan, kita kembali disadarkan bahwa tidak ada kekuatan yang melebihi kekuatan Tuhan. Sehingga, saat kita meminta kepadaNya untuk diberi kekuatan, maka kita mendapatkan kekuatan dari sang pemilik kekuatan itu sendiri. Itu membuat kita memiliki kekuatan untuk terus menjalani hidup. Tidak peduli sesulit apapun dia mendera kita.

Selain itu, kita juga kembali disadarkan bahwa Tuhan itu maha adil. Dia tidak mungkin menghukum orang-orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, tidak mungkin Dia membiarkan orang-orang yang berbuat jahat, menindas sesama manusia, merampas hak orang lain, dan bertindak sewenang-wenang. Sebab, tidak ada satu mahlukpun yang bisa terbebas dari pengawasanNya. Jadi, disaat kita harus melakukan tindakan-tindakan yang baik, kita yakin bahwa Tuhan mendukung kita dibelakang. Namun, ketika terbersit dihati kita untuk melakukan sesuatu yang kurang baik. Atau merugikan orang lain. Atau mengambil hak orang lain, kita teringat bahwa Tuhan menyaksikan. Mudah-mudahan kita ditunjukkan kepada jalan yang lurus lagi.

Mengingat Tuhan, berarti menjadikan Tuhan sebagai backing kita. Jika kita membayar orang-orang berpengaruh untuk menjadi backing kita, rasanya hati kok tenang sekali ya? Apalagi jika yang menjadi backing adalah sang maha pemilik kekuatan dan kekuasaan mutlak. Oleh karena itu selain mendapatkan ketenangan hati, orang-orang yang selalu mengingat Tuhan juga bisa menasihati dirinya sendiri dengan mengatakan; “Cukuplah Tuhan sebagai pelindungku”.

Jadi, untuk terbebas dari kegelisahan hati, kita bukan harus bergantung kepada obat-obatan. Melainkan semakin banyak mengingat Tuhan. Karena ”Alaa bidzikrillaahi tathma-innul quluub....”. Hanya dengan mengingat Tuhan, hati kita menjadi tenang. Bayangkan. Jika setiap hari kita bisa mengingat Tuhan. Maka setiap hari. Hati kita. Menjadi tenang.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Kesulitan mungkin sengaja ditimpakan Tuhan kepada kita, supaya kita lebih mudah untuk mengingatNya.