Minggu, 26 Oktober 2008

Benarkah Anda Bisa Melakukan Apapun Juga?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Salah satu impian terbesar umat manusia adalah; bisa melakukan apapun yang diinginkannya. Untungnya, orang-orang hebat sering mengatakan;”Anda bisa melakukan apa saja!”. Sangat mudah untuk menyerap nasihat itu karena kedengarannya bisa mengantar kita kepada mimpi terbesar itu. Tidak heran jika kemudian didalam hati kita ada sebuah ukiran indah berbunyi: ”Aku bisa melakukan apa saja!”. Uuuh, kedengarannya ini bisa menjadi bukti pencapaian tertinggi umat manusia. Karena, jika kita bisa melakukan apa saja; maka tercapai sudah segala impian itu. Tapi, benarkah anda bisa melakukan apapun juga?

Anda yang pernah menonton film The Land Before Time, tentu ingat tujuh sekawan hewan purba kecil yang bersahabat. Littlefoot si anak Apatosaurus berleher panjang menjadi pusat persahabatan itu. Cera si anak Triceratops, badak purba bercula tiga yang juga disebut sebagai Trihorn. Ducky si anak Saurolophus sang nenek moyang bangsa bebek. Petrie, si anak Pteranodon yang merawisi masa depan para burung. Spike si Stegosaurus sang leluhur buaya. Ruby si Oviraptor cilik. Dan Chomper anak Tyrranosaurus yang memilih untuk bersahabat dari pada harus memakan teman-temannya.

Ayah Cera yang raja Trihorn menasihatkan sebuah pelajaran penting. ”Cera,” katanya. ”Trihorn itu adalah mahluk terhormat dan paling hebat. Karena,” lanjutnya. ”Kita keluarga Trihorn bisa melakukan apa saja!” Suaranya yang besar dan menggelegar menggema ke seluruh penjuru rimba purba. Sedangkan didalam dada Cera, nasihat itu menjelma menjadi semangat yang membara. Yang menjadikan dirinya begitu percaya bahwa; Seekor Trihorn seperti dia, bisa melakukan apa saja.

Pada suatu ketika, ketujuh sekawan mengadakan perlombaan yang unik. Yaitu, berdiri diatas sebatang kayu yang terapung diair. Siapa yang paling lama berdiri diatasnya, dialah pemenangnya. Littlefoot, tidak ikut bertanding. Dia memilih untuk menjadi pendukung para kontestan yang sedang berlomba. Karena dia tahu, binatang besar berkaki empat seperti dia tidak dirancang untuk melakukan hal semacam itu. Sedangkan Cera yang juga besar dan berkaki empat? Dia tahu bahwa seekor Trihorn bisa melakukan apa saja. Persis seperti yang selalu dikatakan oleh ayahnya.

Sebelum pergi, Cera berpamitan kepada Ibunya. ”Ibu, aku mau bermain sama teman-teman.” katanya. ”Akan aku menangkan pertandingan itu, karena seekor Trihorn bisa melakukan apa saja!” Semangat itu tentu membuat kedua orang tuanya bangga. Terutama sang ayah yang telah berhasil menjadikan anaknya seorang pemikir positif, penuh percaya diri, dan selalu optimis. Tapi, ibunya penasaran dan bertanya;”Kalian mengadakan perlombaan apa kali ini, Cera?”.

Pertanyaan itu menghasilkan sebuah jawaban yang sangat mengejutkan. Sampai-sampai, Ayah yang sedang mengasah tanduknya berhenti dan berteriak; ”Perlombaan macam apa itu, Cera?” suaranya menggetarkan dada. ”Kamu tidak boleh ikut perlombaan itu!” seraya berlari menghampirinya.

”Mengapa aku tidak boleh ikut berlomba, Ayah?” tanya Cera. ”Aku ingin memenangkan pertandingan itu...” lanjutnya.
”Itu permainan yang sangat berbahaya!” jawab Ayah dalam suara tinggi berbalut cemas.
”Ayah, bukankah Ayah bilang seekor Trihorn bisa melakukan apa saja?” Cera membalas diantara kebingungan dan kekecewaan.
”I, Iyya, tapi...” Ayah terlihat ragu-ragu. ”Tapi, berdiri diatas sebatang kayu yang terapung diair sungai yang deras bukanlah salah satunya....”
”Maksud Ayah...” kata Cera. ”Seekor Trihorn tidak bisa melakukannya?” Jelas sekali dia kecewa. Namun, sekuat apapun Ayah menghalanginya, dia tidak bisa dihentikan. Ayah, tidak bisa semudah itu menghapuskan pelajaran yang sudah ditanamkannya didalam diri Cera. Sebab, pelajaran itu, benar-benar diserap, diyakini dan dijiwai olehnya. Hingga dia mengira bahwa memang seekor Trihorn bisa melakukan apa saja.

Kita, para manusia juga demikian. Begitu bertubi-tubinya pelajaran yang meyakinkan kita bahwa kita ini bisa melakukan apa saja. Jika kita mau. Pelajaran itu sungguh-sungguh kita dengarkan. Kita resapi didalam hati. Dan kita jadikan tenaga yang menggelora untuk menyemangati hidup. Namun seperti pengalaman Cera, ada banyak situasi dimana kita harus dihadapakan pada kenyataan bahwa tidak segala hal bisa kita lakukan. Itu membuat kita kebingungan; bukankah para guru motivasi saya mengatakan bahwa saya bisa melakukan apapun juga? Sekarang saya ingin melakukan ini, namun sekuat apapun saya berusaha, ternyata saya tidak bisa jua.

Ketika Cera pada akhirnya tenggelam dan hanyut terbawa arus sungai yang deras. Ayahnya menyadari bahwa kepada para pembelajar, tidak seharusnya dia meyakinkan bahwa mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Bukan. Bukan itu. Sebab, seekor Trihorn tidak didisain Tuhan untuk menjadi perenang hebat. Atau penerbang ulung. Seekor Trihorn, dirancang untuk menjadi dirinya sendiri. Mengenali potensi diri sejati yang dimilikinya. Lalu, menggunakan kemampuan itu untuk menjalani hidupnya. Dan. Itu tidak berarti melakukan apa saja yang diinginkannya. Melainkan, untuk. Menjalani fitrahnya. Mengikuti kodratnya. Memaknai keberadaan dirinya. Melalui aktualisasi atas kapasitas diri itu.

Cera, bukanlah satu-satunya pembelajar penuh semangat yang haus akan pencerahan itu. Ada jutaan Cera lain yang merindukan pengarahan yang benar tentang apa yang patut dilakukan dalam hidupnya. Mereka membutuhkan seseorang yang bersedia mengatakan bahwa; kita bukanlah mahluk yang bisa melakukan apa saja. Tapi, kita bisa meraih kesuksesan hidup dengan melakukan apa saja yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri kita seutuhnya. Yaitu, ketika kita menjadi manusia yang bersedia mengakui betapa kita ini bukan mahluk yang sempurna. Namun, dibalik kesadaran akan ketidaksempurnaan itu, tumbuh keyakinan bahwa; Tuhan sudah menghadiahi kita dengan kemampuan untuk menjalani sebaik-baiknya hidup.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Ada dua alasan mengapa kita tidak perlu bisa melakukan segala hal. Pertama, diri kita tidak didisain untuk menjadi mahluk yang serba bisa. Dan kedua, kesuksesan bukanlah milik mereka yang bisa melakukan segala hal; melainkan kabar baik bagi orang-orang yang bersedia memberdayakan diri.

Minggu, 19 Oktober 2008

Apakah Anda Dibayar Terlalu Murah?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Salah satu keluhan manusia paling umum adalah tentang betapa murahnya kita dibayar. Keluhan ini muncul terutama ketika surat kenaikan gaji rutin kita terima. Betapa kenaikan take-home-pay itu tidak bisa mengimbangi kenaikan kebutuhan hidup kita. Meskipun komplain itu tidak selamanya jelek. Namun, untuk soal gaji kita perlu bertanya lagi; benarkah kita ini dibayar terlalu murah?

Ada sahabat yang getol mengomel tentang gaji. Suatu kali, kami berkesempatan makan siang setelah sekian lama tidak berjumpa. Komplain itu masih menjadi bagian dari dirinya. Lalu saya bertanya; ”Memangnya elo digaji berapa?” Sebuah pertanyaan untung-untungan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa.

”Yaaa, sekitar segini lah.” Saya terbelalak karena dia begitu terbuka dengan gajinya, dan juga karena menurut hemat saya gajinya sudah tergolong besar untuk ukuran pekerjaan dan jabatan yang dia sandang.

“Pren, elu tahu rata-rata pendapatan orang Indonesia itu hanya sekitar $1,600 setahun. Artinya, cuma sekitar satu setengah juta setiap bulan. Lha, elo sudah lebih dari sepuluh kali lipat dari itu.”

“Heh, elo jangan anggap gue pekerja kelas bawah gitu ye. Ya nggak berlaku lah rata-rata pendapatan semua penduduk termasuk kelas pekerja kasar dikampung-kampung dan pelosok desa tuch!” dia menukas dengan nada sengit.

“Oke, oke,” saya mengangkat tangan. ”Tapi, rata-rata pendapatan orang yang kerja di Jakarta pun cuma sekitar $5,167, Man. Empat setengah jutaan doang.” Mata saya tertuju kearah piring. Tapi saya tahu teman saya ini melotot. ”Gaji elu masih berkali-kali lipat dari itu.”

”Heh, boy, udah gua bilang jangan pake rata-rata dong. Kemampuan gue juga kan diatas rata-rata!” katanya.
”Dan elo juga sudah dibayar jaoooh diatas rata-rata,” tangkis saya.
“Ah, susah kali ngomong sama kau tuch!” Saya tidak kaget ketika dia menggebrak meja. Sifat aslinya keluar kalau sedang terdesak. ”Orang harus dibayar sesuai dengan kemampuan dan kontribusinya masing-maaaasing!” Gayanya mirip Giant dalam film Dora Emon.

”Wah, kalau yang satu itu gue setuju abis, Man. Masalahnya, elu udah dibayar tinggi, masih komplen juga.” Saya bilang. “Atas dasar apa elu merasa pantas mendapatkan bayaran lebih tinggi?”

“Pertama, teman gue.” katanya ”Diperusahaan lain dibayar lebih tinggi, padahal kemampuan gue nggak kalah dari dia.” lanjutnya. “Kedua, gue udah kerja disini lebih dari lima tahun. Maasak, cuma segini-segini doang!”

“Menurut gue,“ saya meneguk teh botol. ”ada satu cara yang lebih objektif untuk menentukan apakah elo dibayar terlalu murah atau tidak.”
”Gimana?”
”Caranya,” saya berhenti sejenak. ”Elu harus menentukan satu hal. Yaitu; kalau elu tidak bekerja diperusahaan manapun, elu bisa mendapatkan penghasilan berapa?” Sesendok sayur bayam masuk kemulut saya. ”Nah, kalau elu dibayar dibawah angka itu, maka elu dibayar terlalu murah. Jika tidak, artinya elu sudah mendapatkan bayaran yang layak.”

Saya tahu bahwa gagasan ini agak kurang lazim. Tetapi anehnya, meskipun kita tidak puas dengan bayaran yang kita terima, kita masih juga bercokol disitu. Pertanda bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk menuntut bayaran lebih dari itu. Sebab, jika kita benar-benar memiliki alternatif lain yang jauh lebih baik, tidaklah mungkin kita berdiam diri.

Mungkin, hengkang ketempat lain bisa jadi pilihan. Tidak aneh. Kalau perusahaan pesaing merekrut kita, pastilah mereka bersedia membayar ekstra dimuka. Karena, itu bagian dari strategy persaingan bisnis mereka. Kadang, perusahaan lama melakukan ’buy back’ juga. Tapi hal ini tidak selalu bisa menggambarkan kemampuan dan kelayakbayaran kita sebagai individu secara utuh. Sebab, ada ’benchmark’ disetiap industry. Artinya, selalu ada saat dimana gaji kita tidak bisa naik lagi kecuali kita layak untuk dipromosi kepada jabatan dan tugas yang lebih tinggi. Makanya, tidak aneh jika ada karyawan yang direkrut dengan bayaran awal yang tinggi, tapi kenaikan gaji berkalanya tak terlalu bermakna.

Sebaliknya, jika kita bisa menentukan; ’berapa pendapatan yang bisa kita hasilkan jika tidak bekerja untuk perusahaan manapun’. Maka kita akan bisa menentukan ’nilai’ kita yang sesungguhnya. Misalnya, jika kita bisa menghasilkan 30 juta sebulan, maka kita bisa bernegosiasi dengan manajemen untuk mendapatkan bayaran yang sekurang-kurangnya setara dengan itu. Mengapa kita harus bertahan disana, jika bayarannya jauh lebih rendah dari yang bisa kita hasilkan sendiri? Namun, jika perusahaan sudah membayar kita lebih tinggi dari itu; kita tahu apa artinya itu, bukan?.

Sahabat saya menggugat: ”Kalau gua bisa kerja sendiri ngapain gua disini? Dari dulu gua pasti sudah berhenti! Gua disini, karena gua nggak bisa kerja sendiri!” Betul. Disitulah point utamanya. Kita menyandarkan diri kepada perusahaan itu, tanpa ada alternatif lain yang lebih baik. Jika demikian situasinya, bukankah akan lebih baik jika kita berfokus kepada kontribusi yang bisa kita berikan ditempat kerja? Tanpa harus terlebih dahulu berhitung-hitung soal gaji. Sebab, jika kita hanya bisa menjadi karyawan dengan prestasi rata-rata, mengapa perusahaan harus mengistimewakan kita? Sebaliknya, jika memang kita berprestasi sangat tinggi; tidaklah mungkin perusahaan menyia-nyiakan kita. Bahkan, kenaikan gaji ’tidak lazim’ mungkin bisa kita terima tanpa terduga. Dan, jikapun perusahaan tempat kerja kita benar-benar menutup mata; masih banyak perusahaan baik yang bersedia mempekerjakan kita, dengan bayaran yang sepantasnya. Asal kita bisa menunjukkan ’siapa sesungguhnya’ kita ini.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Komplain itu menghabiskan energi. Lakukan, hanya jika memang itu cukup berharga.

Sabtu, 11 Oktober 2008

Serum Penangkal Rasa Sakit Hati

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Kemarin, saya benar-benar dikenalkan kepada dunia baru. Yaitu dunia dimana kita bisa berbicara melalui gelombang suara yang dipancarkan dari studio radio. Mbak Nuning Purnama yang sudah sangat ahli itu memandu saya supaya tidak terlalu norak sewaktu siaran. Saya senang alang kepalang. Seperti seorang anak yang mendapatkan mainan baru. Dan lebih senang lagi karena dari acara itu saya mendapatkan sebuah pelajaran baru ketika salah seorang pendengar mengirim SMS dengan mengatakan ”Wah, bagus tuch kalau sekalian diiringi lagu ’ular berbisa’.” Memang konteksnya kala itu adalah tentang belajar dari alam bagaimana caranya supaya kita bisa sukses dalam menjalani hidup ini. Oh, ternyata salah satu tujuan Tuhan menciptakan ular berbisa itu adalah supaya manusia bisa mempelajari sebuah filosofi tentang hidup. Sudahkah anda tahu filosofi itu?

Ular berbisa mempunyai reputasi yang sangat buruk. Karena dia dianggap hewan yang berbahaya dan sangat mematikan. Padahal, konon ular cenderung bersikap menghindari konfrontasi dengan manusia. Dengan kata lain, ular lebih memilih menyingkir daripada berantem dengan kita. ”Berurusan dengan manusia? Caaaape ddeh!!” mungkin begitu dia bilang. Alhasil, bisa yang dimilikinya dapat difungsikan untuk mempertahankan diri atau berburu mangsa.

Lebih dari itu, kita sekarang tahu bahwa bisa ular, tidak semata-mata dapat digunakan untuk membunuh. Namun justru sebaliknya bisa memberi kehidupan kepada manusia. Karena, dengan kemajuan teknologi saat ini kita bisa membuktikan bahwa bisa merupakan sumber potensial bagi berbagai macam obat-obatan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan hidup manusia. Dan, rupanya disinilah letak pelajaran yang hendak disampaikan Tuhan melalui sang ular itu.

Ular berbisa, dapat diibaratkan sebagai tantangan atau kesulitan hidup. Kenyataannya, hidup kita tidak selalu mudah, bukan? Semakin hari, kehidupan kita terasa semakin berat. Cobaan demi cobaan datang silih berganti. Rintangan demi rintangan seakan tiada hendak berhenti. Persis seperti bisa ular. Kita bisa mengolah bisa ular menjadi serum. Dengan serum itu, tubuh seseorang menjadi kebal. Atau disembuhkan dari berbagai macam penyakit. Demikian pula halnya dengan kesulitan hidup. Didalam setiap kesulitan hidup yang kita alami, tersembunyi ’serum kehidupan’. Dengan serum itu, kita bisa manjadikan jiwa ini lebih tahan banting. Lebih kuat dalam menghadapi cobaan demi cobaan yang datang silih berganti. Dan, dengan serum itu, kita dapat menjadikan diri lebih sehat secara mental dan spiritual.

Ular berbisa juga menggambarkan manusia-manusia yang berperangai buruk. Kita tahu bahwa kita tidak selalu berhasil membangun hubungan dengan orang lain. Ada saja orang-orang yang membuat kita tidak nyaman saat berhubungan dengan mereka. Dan, setelah kita berbuat baik kepada merekapun, tetap saja mereka menunjukkan sikap yang buruk kepada kita. Ada yang merendahkan kita. Ada yang menghina kita. Dan ada yang mencari-cari kelemahan dan kekurangan diri kita. Seakan-akan, kita sama sekali tidak memiliki sisi baik sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan.

Begitu banyak perempuan yang dinikahi oleh para lelaki. Namun, madu kehidupan pernikahan itu perlahan-lahan mengering, dan kemudian para perempuan itu disia-siakan. Disakiti hatinya. Dan dicampakkan. Sebaliknya, banyak pula lelaki baik yang dikhianati perempuan-perempuan yang mereka nikahi. Menyisakan luka hati yang begitu dalam. Dan kekecewaan yang teramat sangat. Ular mengajarkan kepada kita, bahwa hubungan kita dengan sesama manusia kadang-kadang tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Dan ular bertanya kepada kita; ”Sudahkah kita memiliki serum untuk melindungi diri dari semua perlakuan buruk orang lain itu?”

Dengan serum itu, kita bisa menolong diri sendiri. Supaya hidup kita tidak hancur hanya gara-gara perlakukan kurang menyenangkan dari orang lain. Karena sungguh, kita memegang kendali atas diri kita sendiri. Orang lain bisa menyakiti hati kita. Orang lain bisa merendahkan kita. Tapi, jika kita mengatakan kepada diri sendiri; ”Sorry ye, gak ngaruh!” maka, hidup kita akan baik-baik saja.

Selain itu, serum yang benar-benar tangguh bisa membebaskan diri kita dari sifat dendam. Ngapain kita mesti dendam kepada orang itu jika apapun yang dia lakukan kepada kita; tidak bisa merusak hidup kita? Justru sebaliknya, kita mesti berterimakasih kepada mereka karena bersedia menjadikan diri kita semakin kuat. Misalnya, baru-baru ini saya mendapatkan teguran yang sangat sinis dari seseorang. Dia mengatakan bahwa saya ini manusia bodoh rendah yang murahan. Namanya juga manusia, tidak semuanya sepaham dengan pendapat kita, bukan?

Saat mendapatkan kecaman itu, ego saya mengatakan;”Gue kuliah di sekolah T-O-P B-G-T, yang belum tentu manusia satu itu mampu untuk sekedar menginjakkan kakinya dikampus itu. Tapi, dia berani mengucapkan perkataan buruk itu sama gue!”. Mungkin, saya bisa membalas cacian orang itu dengan makian yang sama beracunnya. Tapi, serum itu benar-benar menolong saya untuk melihat sisi positifnya. Dan ternyata, kebodohan saya memang terbukti. Sebab, untuk sekedar membedakan gado-gado, pecel, dan lotek saja ternyata saya masih suka keliru. Oh, benar. Ternyata, saya ini tidak sempurna. Belakangan, saya berterima kasih kepada orang itu karena telah menunjukkan kelemahan diri yang bisa saya perbaiki.

Selain berguna untuk diri sendiri, serum itu juga bisa kita gunakan untuk menolong orang lain. Jika kita pernah berhasil melewati masa-masa sulit ketika dikecewakan oleh seseorang, misalnya. Maka kita bisa menolong orang lain yang sedang dilanda kekecewaan yang sama. Kita bisa memahami perasaannya. Menyelami batinnya. Dan berempati kepadanya. Lalu, menyuntikkan serum itu kedalam dirinya. Sehingga, orang itu berhasil melewati saat-saat sulit yang dialaminya. Dan kemudian mampu, membuat serumnya sendiri.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Cobaan hidup itu bagaikan racun ular berbisa. Dia dapat membuat kita mati terbunuh, atau menjadi kebal karenanya

Minggu, 05 Oktober 2008

Ternyata, Ikhlas Itu Memiliki Saudara Kembar

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Kita sering mendengar kata ‘ikhlas’ diucapkan orang. Misalnya, sang dermawan berkata; “Saya menyerahkan sumbangan ini dengan ihklas”. Anehnya, dia mengharapkan sang penerima derma untuk mencoblos tanda gambar dalam pemilihan ketua RT minggu depan. Dia merasa kesal ketika ternyata hasil perhitungan suara lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang menerima derma darinya. Kita memang gemar membawa-bawa kata ikhlas ketika melakukan sesuatu untuk orang lain. Tapi, hati kecil kita begitu mudahnya menggugat hanya karena orang yang kita tolong itu sama sekali tidak mengucapkan terimakasih. Dan diam-diam kita mencap orang itu sebagai ‘orang yang tidak tahu terimakasih’. Sebongkah kedongkolan ditambah dengan perasaan tidak dihormati cukup menjadikan kita kapok untuk menolongnya lagi dikemudian hari.

Beberapa waktu yang lalu, ada kejadian aneh didaerah kami. Jalan menuju ke pemukiman kami sudah pada berlubang. Ketika saya melintas pagi itu, lubang-lubang itu masih bercokol disitu. Tetapi, disore hari saat saya pulang; jalan itu sudah berubah menjadi mulus. Dimalam harinya, salah satu tokoh masyarakat kami mengaku menangis menyaksikan kejadian itu. Dia menangis karena ada orang yang tanpa ketahuan identitasnya telah memperbaiki jalan umum itu. Padahal, para pengurus RT/RW yang saling bertetangga sudah sejak lama berembuk mengenai perbaikan jalan, tanpa keputusan yang berarti. Kerumitan masalahnya ada pada ketidaksepakatan mengenai berapa uang yang harus disumbangkan oleh setiap rumah. Apakah para pensiunan harus membayar sejumlah yang sama? Apakah tidak sebaiknya orang yang mempunyai mobil lebih dari satu membayar iuran berlipat ganda? Dan seribu satu ‘apakah’ lainnya. Tapi, hari itu; jalan itu mulus hanya dalam beberapa jam saja. Semetara itu, tak seorangpun tahu siapa ‘dermawannya’.

Pak tokoh masyarakat itu menangis karena disadarkan tentang betapa dirinya belum memiliki keikhlasan seperti orang itu. Dan pada malam itu, kami yang tengah berkumpul diforum itu diingatkan juga bahwa; betapa keikhlasan itu merupakan rahasia antara seseorang dengan Tuhannya. Karena, tidak ada yang mengetahui apakah kita sungguh-sungguh ikhlas atau sekedar berpura-pura ikhlas; kecuali diri kita sendiri dan Sang Maha Mengetahui isi hati manusia. Seperti halnya kita tidak bisa membohongi hati sendiri, kita tidak bisa menyembunyikan sesuatu pun dihadapan Dia. Mulut kita bisa mengatakan ‘saya ikhlas’. Tapi, jika sesungguhnya kita tidak benar-benar ikhlas, maka hati kita dan Dia; tahu segalanya.

Ketika kita sungguh-sungguh ikhlas, maka mulut tidak lagi tertarik untuk mengatakannya. Mendingan mesam-mesem saja. Jika ikhlas, kita tidak lagi pusing apakah seseorang berterimakasih atau tidak. Jika ikhlas, tidak penting lagi apakah nama kita diumumkan atau tidak. Jika ikhlas, yang kita harapkan adalah penerimaan Tuhan atas apa yang kita lakukan, bukan penilaian manusia. Dan jika demikian, mengapa orang lain harus tahu apakah kita ini ikhlas atau tidak?

Namun, kadang-kadang kita menganggap bahwa ikhlas itu berarti tidak mengharapkan imbalan apapun. Meskipun pada kenyataannya kita ikhlas bekerja sehari-hari hanya jika digaji. Kalau kita tidak digaji, mana bisa ikhlas bekerja seperti ini? Persis seperti jawaban yang disampaikan oleh seorang murid ketika Sang Guru bertanya;”Menurut pendapatmu, ikhlas itu apa?” Kata si Murid; “Ikhlas berarti kita melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan atas apa yang kita lakukan.”

“Seperti apa misalnya?” lanjut Sang Guru.
“Maaf, guru.” jawab si Murid.”Seperti ketika Guru buang hajat,” lanjutnya. “Setelah semua urusan Guru di toilet selesai, Guru tidak pernah ingin lagi melihat kedalamnya. Guru langsung membilasnya. Dan guru tidak ingin mengingat-ingatnya.”

“Oh, begitu ya?” kata Sang Guru sambil manggut-manggut. Si Murid yang merasa dirinya telah memberikan jawaban sempurna berbangga hati. “Kalau begitu,” lanjut Sang Guru. “Didunia ini tidak akan ada satupun manusia yang benar-benar ikhlas.” Sekarang sang Murid terperanjat.

Seperti mengerti kegundahan dihati muridnya, Sang Guru melanjutkan. “Menurut pendapatku, ikhlas itu berarti menerima hukum Tuhan apa adanya. Dengan kata lain, bersedia menerima apapun yang digariskan Tuhan untuk mengatur alam semesta ini.” Agak geli mendengar nasihat Sang Guru, si Murid berkata; “Guru, itu adalah arti kata taát. Bukan ikhlas.”

“Benar sekali,” kata Sang Guru. “Karena, keikhlasan itu saudara kembar dari ketaatan.” Seperti Wiro Sableng murid Sinto Gendheng, sang Murid garuk-garuk kepala ketika Sang Guru berujar; “Orang-orang yang taát, secara tulus ikhlas menerima hukum Tuhan apapun adanya itu.” Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa tidak termasuk taát orang-orang yang menolak keputusan Tuhan. Misalnya, Tuhan sudah memutuskan bahwa ‘setiap’ perbuatan ada imbalannya. Perbuatan buruk imbalannya keburukan juga. Itu yang kemudian kita sebut sebagai dosa. Sedangkan perbuatan baik imbalannya kebaikan juga. Yang biasa kita sebut sebagai pahala. Tidak ada perbuatan manusia yang luput dari pengamatan Sang Maha Melihat. Dia mencatat dengan seksama, dan menghisabkan perhitungan sesuai dengan baik atau buruk perbuatannya. Itu adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan. Dan, seorang hamba yang ikhlas pasti mentaáti hukum itu. Sehingga, dia sungguh takut berbuat keburukan karena imbalannya yang berupa keburukan pula itu. Sebaliknya dia begitu bersemangat dalam berbuat kebajikan, karena dia sungguh merindukan kebaikan dari sisi Tuhannya.

“Guru,” kata si Murid. “Bukankah lebih baik jika kita tidak mengharapkan imbalan dari Tuhan?” Sang Guru menjawab:”Itu betul,” katanya. “Jika, kamu benar-benar tidak mengharapkan imbalan dari Tuhanmu.” lanjutnya. “Tapi, jika tidak, maka Tuhan tetap tahu apa yang terucap dihatimu.” Setelah itu, Sang Guru mengatakan bahwa Tuhan itu sangat senang jika hamba-hambanya yang baik menggantungkan beribu harapan kepadaNya. Itulah mengapa Dia menyebut dirinya sendiri sebagai Sang Tempat Menggantungkan Harapan. Seorang hamba yang yakin dan takut saat berbuat keburukan, namun penuh harap dengan banyak-banyak berbuat kebajikan disebut sebagai hamba yang tawazun. Artinya, seimbang. Dia tidak berat sebelah. Dia tidak hanya yakin bahwa Tuhan akan membalas keburukan dengan keburukan. Melainkan juga yakin bahwa kebaikan akan berbalas kebaikan disisiNya. Dan sungguh, katanya; Tuhan sangat menyukai orang-orang yang seperti itu. Maukah kita membuat Tuhan suka?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Kita, tidak pernah bisa terbebas dari hukum alam barang sedetikpun. Jadi, menyerah saja kepadanya.