Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Kita sering mendengar kata ‘ikhlas’ diucapkan orang. Misalnya, sang dermawan berkata; “Saya menyerahkan sumbangan ini dengan ihklas”. Anehnya, dia mengharapkan sang penerima derma untuk mencoblos tanda gambar dalam pemilihan ketua RT minggu depan. Dia merasa kesal ketika ternyata hasil perhitungan suara lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang menerima derma darinya. Kita memang gemar membawa-bawa kata ikhlas ketika melakukan sesuatu untuk orang lain. Tapi, hati kecil kita begitu mudahnya menggugat hanya karena orang yang kita tolong itu sama sekali tidak mengucapkan terimakasih. Dan diam-diam kita mencap orang itu sebagai ‘orang yang tidak tahu terimakasih’. Sebongkah kedongkolan ditambah dengan perasaan tidak dihormati cukup menjadikan kita kapok untuk menolongnya lagi dikemudian hari.
Beberapa waktu yang lalu, ada kejadian aneh didaerah kami. Jalan menuju ke pemukiman kami sudah pada berlubang. Ketika saya melintas pagi itu, lubang-lubang itu masih bercokol disitu. Tetapi, disore hari saat saya pulang; jalan itu sudah berubah menjadi mulus. Dimalam harinya, salah satu tokoh masyarakat kami mengaku menangis menyaksikan kejadian itu. Dia menangis karena ada orang yang tanpa ketahuan identitasnya telah memperbaiki jalan umum itu. Padahal, para pengurus RT/RW yang saling bertetangga sudah sejak lama berembuk mengenai perbaikan jalan, tanpa keputusan yang berarti. Kerumitan masalahnya ada pada ketidaksepakatan mengenai berapa uang yang harus disumbangkan oleh setiap rumah. Apakah para pensiunan harus membayar sejumlah yang sama? Apakah tidak sebaiknya orang yang mempunyai mobil lebih dari satu membayar iuran berlipat ganda? Dan seribu satu ‘apakah’ lainnya. Tapi, hari itu; jalan itu mulus hanya dalam beberapa jam saja. Semetara itu, tak seorangpun tahu siapa ‘dermawannya’.
Pak tokoh masyarakat itu menangis karena disadarkan tentang betapa dirinya belum memiliki keikhlasan seperti orang itu. Dan pada malam itu, kami yang tengah berkumpul diforum itu diingatkan juga bahwa; betapa keikhlasan itu merupakan rahasia antara seseorang dengan Tuhannya. Karena, tidak ada yang mengetahui apakah kita sungguh-sungguh ikhlas atau sekedar berpura-pura ikhlas; kecuali diri kita sendiri dan Sang Maha Mengetahui isi hati manusia. Seperti halnya kita tidak bisa membohongi hati sendiri, kita tidak bisa menyembunyikan sesuatu pun dihadapan Dia. Mulut kita bisa mengatakan ‘saya ikhlas’. Tapi, jika sesungguhnya kita tidak benar-benar ikhlas, maka hati kita dan Dia; tahu segalanya.
Ketika kita sungguh-sungguh ikhlas, maka mulut tidak lagi tertarik untuk mengatakannya. Mendingan mesam-mesem saja. Jika ikhlas, kita tidak lagi pusing apakah seseorang berterimakasih atau tidak. Jika ikhlas, tidak penting lagi apakah nama kita diumumkan atau tidak. Jika ikhlas, yang kita harapkan adalah penerimaan Tuhan atas apa yang kita lakukan, bukan penilaian manusia. Dan jika demikian, mengapa orang lain harus tahu apakah kita ini ikhlas atau tidak?
Namun, kadang-kadang kita menganggap bahwa ikhlas itu berarti tidak mengharapkan imbalan apapun. Meskipun pada kenyataannya kita ikhlas bekerja sehari-hari hanya jika digaji. Kalau kita tidak digaji, mana bisa ikhlas bekerja seperti ini? Persis seperti jawaban yang disampaikan oleh seorang murid ketika Sang Guru bertanya;”Menurut pendapatmu, ikhlas itu apa?” Kata si Murid; “Ikhlas berarti kita melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan atas apa yang kita lakukan.”
“Seperti apa misalnya?” lanjut Sang Guru.
“Maaf, guru.” jawab si Murid.”Seperti ketika Guru buang hajat,” lanjutnya. “Setelah semua urusan Guru di toilet selesai, Guru tidak pernah ingin lagi melihat kedalamnya. Guru langsung membilasnya. Dan guru tidak ingin mengingat-ingatnya.”
“Oh, begitu ya?” kata Sang Guru sambil manggut-manggut. Si Murid yang merasa dirinya telah memberikan jawaban sempurna berbangga hati. “Kalau begitu,” lanjut Sang Guru. “Didunia ini tidak akan ada satupun manusia yang benar-benar ikhlas.” Sekarang sang Murid terperanjat.
Seperti mengerti kegundahan dihati muridnya, Sang Guru melanjutkan. “Menurut pendapatku, ikhlas itu berarti menerima hukum Tuhan apa adanya. Dengan kata lain, bersedia menerima apapun yang digariskan Tuhan untuk mengatur alam semesta ini.” Agak geli mendengar nasihat Sang Guru, si Murid berkata; “Guru, itu adalah arti kata taát. Bukan ikhlas.”
“Benar sekali,” kata Sang Guru. “Karena, keikhlasan itu saudara kembar dari ketaatan.” Seperti Wiro Sableng murid Sinto Gendheng, sang Murid garuk-garuk kepala ketika Sang Guru berujar; “Orang-orang yang taát, secara tulus ikhlas menerima hukum Tuhan apapun adanya itu.” Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa tidak termasuk taát orang-orang yang menolak keputusan Tuhan. Misalnya, Tuhan sudah memutuskan bahwa ‘setiap’ perbuatan ada imbalannya. Perbuatan buruk imbalannya keburukan juga. Itu yang kemudian kita sebut sebagai dosa. Sedangkan perbuatan baik imbalannya kebaikan juga. Yang biasa kita sebut sebagai pahala. Tidak ada perbuatan manusia yang luput dari pengamatan Sang Maha Melihat. Dia mencatat dengan seksama, dan menghisabkan perhitungan sesuai dengan baik atau buruk perbuatannya. Itu adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan. Dan, seorang hamba yang ikhlas pasti mentaáti hukum itu. Sehingga, dia sungguh takut berbuat keburukan karena imbalannya yang berupa keburukan pula itu. Sebaliknya dia begitu bersemangat dalam berbuat kebajikan, karena dia sungguh merindukan kebaikan dari sisi Tuhannya.
“Guru,” kata si Murid. “Bukankah lebih baik jika kita tidak mengharapkan imbalan dari Tuhan?” Sang Guru menjawab:”Itu betul,” katanya. “Jika, kamu benar-benar tidak mengharapkan imbalan dari Tuhanmu.” lanjutnya. “Tapi, jika tidak, maka Tuhan tetap tahu apa yang terucap dihatimu.” Setelah itu, Sang Guru mengatakan bahwa Tuhan itu sangat senang jika hamba-hambanya yang baik menggantungkan beribu harapan kepadaNya. Itulah mengapa Dia menyebut dirinya sendiri sebagai Sang Tempat Menggantungkan Harapan. Seorang hamba yang yakin dan takut saat berbuat keburukan, namun penuh harap dengan banyak-banyak berbuat kebajikan disebut sebagai hamba yang tawazun. Artinya, seimbang. Dia tidak berat sebelah. Dia tidak hanya yakin bahwa Tuhan akan membalas keburukan dengan keburukan. Melainkan juga yakin bahwa kebaikan akan berbalas kebaikan disisiNya. Dan sungguh, katanya; Tuhan sangat menyukai orang-orang yang seperti itu. Maukah kita membuat Tuhan suka?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kita, tidak pernah bisa terbebas dari hukum alam barang sedetikpun. Jadi, menyerah saja kepadanya.
Minggu, 05 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar