Minggu, 27 Juli 2008

Dua Elemen Pemberdayaan Diri

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Jika anda tersesat disuatu tempat. Dimana disana tidak ada manusia lain selain anda. Siapa yang bisa anda andalkan untuk menolong diri anda? Mungkin, karena saya termasuk orang iseng saja, sehingga mengemukakan pertanyaan janggal macam itu. Seorang sahabat yang saleh berkata; “Saya masih memiliki Tuhan untuk menolong.” Sungguh sebuah jawaban yang hebat. Lalu pertanyaan saya berikutnya; “Seandainya Tuhan bersabda; ‘wahai jiwa yang tengah tersesat, tidak bisakah kamu mencari pertolonganmu sendiri’ apa yang akan anda katakan kepada Tuhan?” Lalu, teman saya mengatakan bahwa Tuhan itu telah berjanji akan mengabulkan setiap permintaan. Jadi, tidaklah mungkin ketika kita memohon pertolongan, Dia malah menyuruh kita untuk mencari ke tempat lain. Saya mulai tersadar, bahwa mungkin memang Tuhan itu tidak iseng seperti saya. Apakah Anda juga berpikiran demikian?

Sesaat setelah saya memposting artikel itu, saya meminta istri saya untuk membacanya. Saya bilang padanya; ”Aku menyebut-nyebut istriku diartikel kali ini. Jadi, kamu harus membacanya…” Seperti yang anda kira, dia sangat termotivasi sekali untuk membacanya dari awal sampai akhir. Maklum, dia perlu tahu apa yang dituliskan suaminya ini tentang dirinya diartikel itu. Ketika membaca tentang ‘motivator sejati itu adalah orang yang paling dekat dengan diri anda’ dia berhenti, dan segera melompat kearah saya. Lalu berkata; “Tuch kan Yah, ada motivator yang seperti itu,” katanya.

“Siapa?” saya balik menantangnya.
“Ya tentu saja orang yang menikahinya…” balasnya dengan tanpa basi-basi.
“Baiklah,” saya bilang. “Sekarang, teruskan dulu membacanya.” Dia kembali kelayar monitor. Dan ketika dia menemukan bahwa ‘istri’ atau ‘suami’ bukanlah sumber motivasi utama yang saya sarankan, dia kembali membelalakan matanya. “Memangnya aku tidak bisa menjadi motivator buat kamu?” katanya. Anda tahu kan raut wajah seorang perempuan cantik kalau sedang kesal pada suaminya.

“Bisa iya.” Saya santai saja. ”Bisa juga tidak.”
“Maksud eloooh?” Matanya sudah belo bahkan sebelum dipelototkan.
“Jika suamimu sedang bisa menyenangkan hatimu,” kata saya, “maka dia akan menaikkan semangat hidupmu. Tapi,” saya melanjutkan, “ketika kamu sedang kesal sama suamimu yang keren ini…….” Saya tidak usah melanjutkannya. Dia sudah mengerti bagaimana rasanya ketika dia sedang sebel banget sama saya. “Anak-anak juga demikian.” Itu saja yang saya tambahkan.

Saya mencoba mengajaknya untuk memahami bahwa sungguh sangat penting untuk bisa menjadi seorang self-reliant. Sebab, meskipun anda tidak akan pernah tersesat seperti orang malang yang saya ilustrasikan tadi; namun ada banyak situasi dimana kita sungguh-sungguh tidak bisa mengandalkan siapapun kecuali diri kita sendiri. Para atasan kapan pun bisa memecat kita. Meskipun pada saat itu sesungguhnya anda sedang sangat membutuhkan pembelaan darinya. Bawahan kita bisa kapan saja meninggalkan anda. Meskipun ketika itu anda sedang sangat membutuhkan tenaganya. Dan seorang suami, bisa pergi meninggalkan sang istri tanpa sebab yang bisa dimengerti hati. Seperti halnya seorang istri bisa menyebabkan hati seorang suami hancur berkeping-keping. Anak-anak juga begitu. Sehingga, guru saya sewaktu kecil dulu mengatakan bahwa; “anak dan istri/suami itu adalah salah satu bentuk batu ujian bagimu”.

Sahabat saya bekata; ”Kamu terlalu percaya diri.”
Saya bilang; “Jika saya terlalu percaya diri, saya tidak akan pernah mau berteman denganmu. Karena saya tahu bahwa tanpa kamupun saya bisa mengerjakan semuanya. Tapi, coba kamu lihat,” saya melanjutkan, “saya menjadikanmu sebagai partner seperti halnya kamu menjadikan saya pasangan kerja, bukan?”

Self-reliance sama sekali bukanlah kata ganti dari egocentric. Self-reliance adalah gambaran tentang sejauh mana diri anda bisa diandalkan tidak peduli apakah anda sedang sendirian ataupun berada ditengah-tengah sekumpulan manusia yang saling bekerja sama. Self-reliance, adalah. Bahan dasar dari terbentuknya kemampuan kita yang bisa diandalkan. Baik sebagai individu. Maupun. Bagian dari sebuah team. Mungkin anda mengira bahwa saat kita berada dalam sebuah kelompok, tidak memiliki sifat self-reliance pun tidak apa-apa. Jika demikian, anda sudah mesti segera mengubah paradigma itu. Sebab, sebuah team yang efektif hanya bisa terbangun jika SEMUA anggota team itu adalah orang-orang yang self-reliant. If not? Orang itu hanya akan menjadi benalu. Maaf, tapi anda boleh menggunakan sebutan lain jika ada yang bisa menggantikan kata benalu.

Seseorang datang kepada saya dan mengeluhkan tentang teman satu teamnya. Dia mengatakan bahwa semua aturan main dan tugas masing-masing anggota team sudah dijelaskan. Ada juklaknya. Ada rule-nya. Ada reward-nya. Ada punishment-nya. Tapi, temannya yang satu itu tetap saja tidak bisa mengikuti juklak itu kecuali harus dituntun. Saya bilang; “Apa salahnya menuntun orang yang sedang melintasi proses pembelajaran?”

“Aduuh, cape Dang!” sanggahnya. “Semakin hari, dia malah semakin menggelayuti orang-orang diteamku. Sekarang tak seorangpun mau menolongnya lagi” katanya.

“Nape, emang?” saya menggodanya.
“Gila, apa? Emangnya orang-orang nggak ada kerjaan lagi, eh!?”

Kedengarannya, ini merupakan cerita lama yang terjadi nyaris disemua organisasi ya? Tentu saja. Karena, kita kadang-kadang tidak mempercayai bahwa self-reliance itu harus dimiliki oleh setiap orang. Memang kita butuh pertolongan orang lain; tapi, pada saat kapan? Saat ini? Atau saat itu? Atau saat ini dan saat itu? Jika anda mengira bahwa orang-orang disekitar anda akan SELALU ada untuk anda; hati-hatilah. Bisa jadi anda akan sampai kepada suatu situasi dimana orang lain itu tidak ada untuk anda. “Tapi, orang itu bilang akan selalu ada untuk saya!” mungkin anda berkilah begitu. Hey, anda terdengar seperti seorang gadis remaja yang terkena rayuan gombal monyet jantan usia belasan.

Baiklah. Tapi, mungkin anda perlu menyepakati perkataan saya ini: Tidak ada ruginya jika kita bisa mengandalkan diri sendiri. Setidaknya, itulah yang saat ini tengah saya upayakan untuk diri saya sendiri. Sebab, saya masih teringat pelajaran berharga yang disampaikan oleh Master Oogway kepada Shifu. Ketika beliau hendak meleburkan diri dengan udara untuk selamanya menyatu dengan alam semesta, Shifu berusaha mencegahnya. Dan berkata; "Master, Bagaimana aku melakukannya jika engkau pergi?"

Kemudian Master Oogway berkata; "Kamu tidak membutuhkan aku, Shifu. Karena kamu memiliki segala kemampuan itu....." katanya. "Ditahap ini, kamu hanya butuh memberi dirimu sendiri kepercayaan yang lebih besar." Lalu tubuh Master Oogway larut dalam partikel-partikel udara. Kemudian beterbangan menuju langit tinggi. Untuk menapaki singasana keabadian.

Anda tentu masih ingat bahwa dihari sebelumnya Master Oogway menjelaskan bahwa ‘kerendahan hati adalah salah satu tanda dari seorang ksatria’. Sehingga, dengan nasihatnya dihari ini kepada Shifu, beliau menasihatkan dua hal yaitu; (1) Kerendahan hati, dan (2) Kepercayaan kepada diri sendiri. Mengapa Master Oogway menasihatkan kedua hal itu? Karena, keduanya berfungsi seperti kedua kaki bagi Pemberdayaan diri. Kerendahan hati itu seperti kaki kiri. Sedangkan kepercayaan bagaikan kaki sebelah kanan. Dengan kepercayaan, anda memberi diri anda sendiri kesempatan untuk menunjukkan siapa diri anda yang sesungguhnya. Mengijinkannya untuk menggapai derajat tertinggi dari setiap pencapaian yang mungkin diraihnya. Sedangkan, dengan kerendahan hati; anda menjaga kesucian pencapaian-pencapaian yang diraihnya. Agar anda. Tidak seperti balon gas. Yang terlepas dari genggaman. Melayang-layang tidak karuan. Dan terhanyutkan oleh perasaan lupa diri yang menyesatkan.

Kita tidak dapat berdiri tegak. Berjalan. Kemudian berlari kencang jika kaki kita hanya sebelah. Apalagi jika kita tidak memiliki keduanya. Kita tidak bisa menjadi manusia yang terberdayakan jika tidak memiliki kerendahan hati. Sekalipun mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, tapi kita hanya akan menjadi manusia hebat yang lupa diri. Kita tidak bisa menjadi manusia yang terberdayakan jika tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. Sekalipun mempunyai kerendahan hati, tapi kita hanya akan menjadi manusia gemulai tanpa pencapaian yang berarti. Apalah lagi jika kita tidak memiliki keduanya?

Dengan berbekal kedua nasihat itu Shifu mulai menegakkan badannya untuk tetap berdiri tegak. Dan menguatkan hatinya untuk terus teguh bertekad. Yang meskipun susah payah. Akhirnya. Dia Berhasil. Melakukannya.
Bisakah kita?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Alasan terbesar mengapa kita sering tidak mendengar nasihat-nasihat dari dalam diri kita sendiri adalah karena; kita tidak memberi cukup kepercayaan kepadanya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam kenal.

Saya wartax. Saya sudah beberapa kali baca tulisan Anda. Asyik juga. Boleh minta email? Siapa tahu berguna di masa depan.

blog saya: http://halamanganjil.blogspot.com

email: wartax@yahoo.com