Minggu, 17 Agustus 2008

Sebagai Individu, Apakah Kita Juga Sudah Merdeka?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang sebuah masyarakat tradisional yang beramai-ramai melakukan eksodus. Semua orang dikampung itu meninggalkan tanah kelahirannya begitu saja. Tahukah anda apa yang menyebabkan mereka melakukannya? Teka-teki itu mengarahkan dugaan para ahli arkeologi kepada kemungkinan adanya hewan buas yang mengancam keselamatan. Namun, ternyata bukan. Ada wabah penyakit yang mematikan? Bukan. Tahayul yang sangat menakutkan? Juga bukan. Lantas apa? Rupanya, mereka pergi karena sudah selama bertahun-tahun tidak turun hujan. Padahal, hujanlah satu-satunya sumber kehidupan yang menumbuhkan tetumbuhan, dan menghidupkan binatang-binatang buruan. Dengan ketiadaan hujan, tak ada lagi yang bisa menghidupi mereka. Maka, hengkanglah mereka dari tempat itu.

Sudah sejak beratus-ratus tahun lamanya sang kepala suku memimpin ritual upacara meminta hujan. Dengan diiringi nyanyian dan puji-pujian serta tari-tarian; dia memanjatkan doa. Meminta supaya sang penguasa langit bersedia menurunkan hujan. Dan penguasa bumi mau mengubah sosok hujan itu menjadi sumber kehidupan. Maka, selama ratusan tahun itu pula mereka selalu mendapatkan hujan yang diharapkan. Namun, beberapa tahun terakhir ini, ritual itu sudah tidak seampuh dulu lagi. Hujan tidak lagi kunjung tiba, meski ritual dan doa-doa itu terus dikumandangkan. Ketika sirna segala harapan, maka pilihan terakhir yang mereka bisa lakukan adalah; pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan tempat penuh kenangan. Meninggalkan segala peradaban yang pernah mereka bangun selama beratus-ratus tahun.

Bertahun-tahun kemudian, seseorang datang ke desa yang tidak lagi bertuan itu. Kemudian, dia menurunkan tongkat kayu yang digunakan untuk menyangga bungkusan bekal dipundaknya. Lalu, dia menggunakan tongkat kayu itu untuk menggali. Setelah sekian lama menggali dalam susah dan payah, akhirnya dia menemukan tanah yang basah. Wajahnya berubah menjadi cerah. Ada seberkas harap tersamar disana. Dia terus menggali. Sekarang, dia menemukan tetesan-tetasan air. Dia terus menggali. Sekarang ada sebuah lubang kecil dimana air itu memancar. Dia terus menggali. Sekarang lubang yang digalinya sudah berkembang menjadi kubangan. Dia menggali lagi. Waaah, sekarang, kubangannya telah berubah menjadi sebuah sumur!

Mungkin kita mengira bahwa orang-orang primitif itu kurang cerdas. Mereka tidak cukup pintar untuk berpikir tentang menggali sumur. Sehingga, mereka percaya bahwa ritual doa yang sudah digunakannya selama beratus-ratus tahun itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan air kehidupan. “Yah, namanya juga orang primitif,” barangkali kita menganggap demikian. Tapi, tidakkah kita ingat bahwa kita yang mengklaim diri sebagai manusia modern ini sering sekali bertindak dan bersikap layaknya manusia-manusia primitif?

“Maksud eloh?”
Maksud saya; kita sering ingat untuk berdoa, namun sering lupa untuk menggali. Kita meminta sesuatu, tapi lupa bahwa untuk mendapatkannya kita harus bersedia membayar harganya. Kita mengira bahwa semua hal yang kita inginkan dimuka bumi ini bisa didapatkan hanya dengan sekedar meminta. Padahal. Tidak. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika begitu banyak hal yang kita dambakan, tetapi tidak kunjung kita dapatkan. Kita sering merasa patah arang karenanya. Tapi, kita jarang sadar, bahwa kita harus mengimbangi permintaan kita itu dengan usaha yang pantas. Yang bisa menjadi dasar kuat agar keinginan kita itu terkabulkan.

Kepada Tuhan kita berdoa; “Tuhan, berikanlah kepadaku ini dan itu.” Tetapi, tindakan kita tidak menunjukkan bahwa kita pantas mendapatkannya. Padahal, jika kita tahu Tuhan itu maha adil, itu berarti bahwa Tuhan akan memperlakukan manusia sesuai dengan kontribusi masing-masing bagi hidupnya. Tidak mungkin yang maha adil memberi lebih banyak dan lebih berkah kepada orang-orang yang berusaha lebih sedikit.

Kepada perusahaan, kita mengajukan tuntutan:”Naikkan gajiku sepuluh persen.” Tetapi, kualitas kerja kita tahun ini tidak ada bedanya dengan yang tahun lalu. Kita tidak menaikkan kinerja kita tahun ini sebesar 10% dari tahun lalu. Padahal, jika kita tahu perusahaan itu bukan badan amal, itu berarti perusahaan hanya akan sanggup menaikkan gaji karyawan jika pendapatannya juga ada peningkatan. Tidak mungkin perusahaan yang untungnya tidak bertambah, harus menanggung beban pembayaran semakin besar.

Kepada negara, kita meminta;”Penguasa. Penguasa. Beeerilah hambaamu uuuang. Beri hamba uang…. Beri hambaaa uuuuaaaaang.” Tetapi, kesempatan yang kita miliki sehari-hari tidak digunakan untuk melakukan tindakan produktif. Kita tidak datang dengan inisiatif. Padahal, jika kita tahu mereka itu penguasa, itu berarti bahwa mereka bukan abdi rakyat. Tidak mungkin yang bukan abdi rakyat mengabdi untuk rakyat.

Kita ini mirip manusia-manusia primitif. Ingat berdoa kelangit diatas, lupa menggali ketanah dibawah. Kita sering mengawang-awang dengan angan-angan dan keinginan yang menjulang. Namun, jarang ingat bahwa kaki kita menginjak tanah dimana usaha dan kerja keras diperlukan. Mungkin, itulah sebabnya guru mengaji saya dimasa kecil berkata;”Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri benar-benar melakukan perubahan-perubahan yang diinginkannya.”

Apakah itu bararti bahwa Tuhan berlepas tangan? Tuhan telah membuat hukum yang berlaku universal. Dan, alam sudah menandatangani naskah hukum itu. Jadilah dia hukum milik alam. Kita menyebutnya hukum alam. Dengan hukum itu, alam berjanji kepada Tuhan; jika suatu benda dijatuhkah dia akan meluncur ke tanah. Jika hutan digunduli, air tidak meresap kedalam tanah. Jika lingkungan dirusak, bencana alam merangsek. Alam juga berjanji bahwa; orang yang bekerja lebih baik, mendapatkan hasil yang lebih baik. Mereka yang menggunakan systemnya secara lebih efisien, menghasilkan kinerja yang lebih memuaskan. Manusia yang menggunakan waktunya untuk hal-hal positif, memperoleh hasil positif. Menurut pendapat anda; Kepada mahluk yang menyia-nyiakan hidupnya, alam akan memberikan apa?

Dengan hukum itu, Tuhan memberi manusia begitu banyak pilihan. Kamu mau jadi orang baik, silakan. Kamu mau jadi orang buruk juga boleh. Anda memilih untuk sukses, itu bagus. Anda lebih suka menjadi manusia gagal, tak ada halang rintang. Anda ingin menjadi pemenang? Selamat berjuang. Anda memilih menjadi pecundang? Siapa yang bisa melarang? Ya, Tuhan. Ternyata, Dia memberi manusia kesempatan untuk melakukan apa saja. Belok kiri. Atau belok kanan. Putar balik. Atau terus lurus kedepan. Bukankah itu yang kita sebut sebagai kemerdekaan?

Kemerdekaan yang tidak melulu soal bule-bule yang ngacir karena tidak tahan dengan ketajaman si bambu runcing. Kemerdekaan yang tidak semata-mata peringatan setahun sekali saat tujuh belasan, seperti hari ini. Dan upacara rutin di tahun-tahun sebelumnya. Ini tentang kemerdekaan individu yang sengaja diberikan Tuhan. Kepada setiap insan. Kemerdekaan untuk menjadi diri sendiri. Kemerdekaan untuk mengeksplorasi potensi diri. Kemerdekaan untuk berlomba menjadi manusia terbaik. Kemerdekaan untuk berkontribusi. Kemerdekaan. Untuk mengubah. Nasib. Diri sendiri.

Kemerdekaan untuk memilih hitam atau putih. Putih. Atau merah. Merah atau putih? Atau merah dan putih. Merah dicampur putih. Menjadi merah dan putih. Merah itu darah yang mengalirkan energi kehidupan. Putih itu hati yang bersih. Memilih merah dan putih, berarti memilih untuk menjadi manusia yang dipenuhi oleh energi untuk kehidupan, dengan disertai hati yang bersih. Sehingga dengan merah dan putih itu, kita berani memproklamirkan diri sendiri sebagai manusia yang mampu memberi makna positif bagi kehidupan. Karena, setiap tindak tanduk dalam hidup, selalu dibarengi dengan hati yang putih bersih. Merah saja tanpa putih, hanya menjadikan kita manusia yang berdaya saing tinggi, tapi tidak punya nurani. Putih saja tanpa merah, hanya menjadikan kita manusia pasrah yang tidak menghasilkan pencapaian bermakna. Merah dan putih memang harus disatukan. Menjadi satu warna utuh; merah putih. Lalu kita memeluknya erat. Hingga dia melebur dengan jiwa dan raga kita. Agar didalam dada kitalah. Sang merah putih itu. Berkibar.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Kita terlampau sering berbicara tentang kemerdekaan dalam konteks negara. Sehingga, kita sering lupa bahwa sebagai individu, kita juga sudah merdeka.

Tidak ada komentar: