Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Konon, berinvetasi sudah menjadi salah satu ciri gaya hidup manusia modern. Orang-orang yang sudah sadar akan pentingnya berinvestasi menanamkan uangnya untuk membeli saham, membeli surat utang negara, atau bemain valas dan berbagai jenis investasi lainnya. Meskipun tujuan berinvestasi adalah untuk mencari keuntungan, namun ada kalanya justru uang yang kita investasikan menjadi berkurang. Memang, para manager investasi bisa membantu kita memaksimalkan laba dan mengurangi resiko rugi. Namun, pasti akan lebih elok lagi kalau investasi kita dijamin selalu menguntungkan. Tidak pernah rugi. Tidak bisa diakuisisi oleh orang lain. Berlaku sepanjang masa. Bahkan setelah kita mati pun keuntungannya tetap mengalir. Tapi, mana ada investasi macam itu?
Pertengahan bulan September lalu, kejutan besar menghantui pasar investasi dunia. Hari itu, kita seolah disadarkan tentang betapa rapuhnya dunia bisnis ini. Sehingga, negara sekuat Amerika pun kelimpungan. Dan, yang lebih mengejutkan lagi, pada tanggal 16 September 2008 Bank Investasi Lehman Brother yang sudah beroperasi selama 158 tahun dinyatakan bangkrut. Pada kesempatan lain, teman saya menceritakan bahwa dia pernah mendapatkan keuntungan sekitar US$2,700.- hanya dalam satu malam. Terpukau oleh ’keberuntungan pemula’ itu; semua uang yang semula akan digunakan untuk membeli rumah dia investasikan demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi. Dan. Amblas!
Sedangkan pada suatu sore, seorang Kakek tengah berhadapan dengan lelaki muda berdasi disebuah padepokan. ”Maukah engkau kutunjukkan kepada investasi yang sahamnya tidak pernah turun?” tanya sang Kakek. Lelaki itu menatap matanya. Dia tidak pernah percaya kepada rayuan gombal para pengelola keuangan semacam itu. Apalagi ketika si Kakek mengatakan bahwa keuntungannya bersifat abadi. Tidak perlu dimonitor setiap hari. Tidak usah pergi kepasar modal. Tidak perlu membayar fee kepada fund manager.
”Saya tidak percaya,” kata lelaki itu. ”Tapi, sebaiknya kakek katakan saja.” lanjutnya. ”Mungkin itu bisa menjadi hiburan atas kerugian yang baru saja saya alami.” nada suaranya terdengar sinis.
”Kakek tahu penyebab hilangnya kepercayaanmu,” jawabnya. Lelaki itu mengangkat kepalanya. Tatap matanya mengisyaratkan keraguan. ”Karena kamu bertransaski dengan manusia,” lanjut si Kakek.
”Maksud kakek apa?”
”Setiap transaksi dengan manusia tidak dijamin akan menghasilkan keuntungan,” jawabnya. ”Karena, manusia cenderung mengambil kentungan untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Setelah dia sendiri untung, baru dia memikirkan orang lain.” lanjutnya. ”Kalau perlu, manusia membiarkan temannya jatuh kedalam kerugian karena mereka percaya bahwa hukum ekonomi itu berarti keluar sedikit dapatnya banyak....”
”Iya, tapi kalau tidak dengan manusia saya harus bertransaksi dengan siapa? Monyet?” Lelaki itu kesal bukan hanya karena merasa disindir, tetapi juga karena dia tahu bahwa monyet tidak bisa melipatgandakan uangnya.
”Kita mesti bertransaksi dengan Tuhan.” jawab si Kakek. Matanya tertuju lurus menabrak kedua bola mata lelaki itu. Tembus hingga menghunjam ulu hatinya. ’Deg’, lelaki itu merasakan tumbukan dijantungnya. Tuhan? Bahkan dia sudah lama tidak mengingat nama itu. Dia terlalu sibuk dengan urusan kantornya. Bisnis akhir-akhir ini menjadi semakin manja. Tidak bisa berkembang kalau tidak di-ninabobo-kan oleh dirinya secara langsung. Dan pasar modal semakin kurang bersahabat. Sehingga uang yang ditanamnya terancam lenyap. Tapi, dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan si kakek. Uang yang lenyap dari tangannya berarti keuntungan bagi pihak lain. Oh. Uang itu sungguh tidak menghilang. Dia ada. Tapi, dia berpindah tangan. Dari tangan orang-orang yang bangkrut seperti dirinya. Berpindah ke rekening orang-orang yang untung. Sama seperti ketika dia yang untung. Ada seseorang dibelaham bumi lain yang mengalami kerugian. Duh, inilah rupanya yang dihasilkan oleh ’untung dan rugi’.
”Tuhan mengajarkan konsep untung dan untung.” lanjut si Kakek seolah mengerti apa yang dipikirkannya. ”Jika kamu menginvestasikan uangmu dijalan Tuhan. Atau sekedar berbuat kebajikan untuk sesama. Maka kebajikan itu akan ditransformasikan menjadi lembaran-lembaran saham yang semakin hari-semakin bertambah labanya. Tanpa ada kemungkinan orang lain merebut saham itu dari tanganmu.” Lanjutnya.
Si Kakek kemudian mengatakan bahwa orang-orang yang menerima kebajikan itu diuntungkan. Hidup mereka menjadi termudahkan. Pandangan mereka menjadi tercerahkan. Lalu mereka mencerahkan orang lain lagi. Dan orang yang mereka cerahkan mencerahkan orang-orang disekitarnya. Teruuuuus begitu. Sehingga saham yang kita tanamkan melalui kebajikan itu semakin hari semakin berkembang. Hebatnya lagi, kita tidak harus memiliki uang untuk membeli saham itu. Cukup dengan memasuki lingkaran kebajikan itu saja, kita sudah bisa memiliki saham yang nilainya tidak pernah turun itu. Semakin banyak kebaikan itu kita sebarkan, semakin banyak lembaran saham yang kita kumpulkan. Dan suatu hari nanti; saham-saham itu bisa kita gunakan untuk penebusan atas dosa-dosa kita dimasa lalu. Dan, ketika jumlah saham itu sudah mencukupi untuk menghapuskan semua dosa-dosa kita, maka neraca rugi laba kita menunjukan ’break even point’. Kita kembali menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan. Dan. Kita kembali kepada ’Fitri’. Tepat dihari yang fitri.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Mohon maaf lahir dan batin.
Sabtu, 27 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Pak Dadang,
saya heran suatu hari dapat email berbetunk newsletter dari bapak, siapa yang subcribe ya?
tapi gpp deh karena isinya lumayan bikin segar..
Silahkan mampir juga ke website saya ya pak, saya saat ini sedang mempersiapkan diri menuju dunia enterpreneur, mudah-mudahan dalam waktu dekat saya bisa jadi pebisnis tangguh.
salam usaha,
EdyK
Met Lebaran Kang Dadang !!!!!!!!!!
# Pak Edy K. Nah, loh. Kalau yang satu ini saya tidak punya jawabannya Pak.
Semoga cita-citanya segera terwujud.
# Dindon79. terimakasih. Mohon maaf lahir dan batin ya.
salam,
dadang
Posting Komentar