Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Kepada orang yang kalah kita sering menyebutnya pecundang. Tetapi, tahukah anda siapa sesungguhnya yang benar-benar pecundang? Sungguh, bukan mereka yang kalah. Melainkan mereka yang tidak bersedia menerima kekalahan itu. Mereka yang menyalahkan orang lain untuk kekalahannya sendiri. Dan mereka yang menanam kebencian atas kekalahan yang dialaminya. Pendek kata, mereka yang tidak memiliki kebesaran hati, untuk menerima kekalahan itu. Anda dapat menyimak dialog ini dalam ‘21’; sebuah film yang berkisah tentang bagaimana sekelompok mahasiswa cerdas di MIT membobol meja perjudian Las Vegas dalam setiap permainan Blackjack yang diikutinya. Film itu memberi penegasan bahwa memiliki kesadaran tentang adanya kalah dan menang dalam setiap permainan, tidaklah cukup. Bersedia untuk menerima kekalahan adalah fondasi atas semuanya itu. Semua orang selalu tahu bagaimana caranya merayakan sebuah kemenangan. Namun, menerima kekalahan? Tak banyak yang bisa. Bukankah demikian?
Beberapa hari yang lalu, saya menyaksikan tayangan Wild Wild Life. Tayangan itu menceritakan tentang perilaku binatang yang kita sebut sebagai Kukang. Nama keren Kukang adalah ‘Slow Loris’. Dan, seperti yang anda ketahui; ‘Slow Loris’ berarti si lelet. Kukang mungkin termasuk mahluk paling lelet dimuka bumi. Namun, hal yang sangat menakjubkan dari Kukang adalah bagaimana mereka memiliki kebesaran hati untuk menerima kekalahan dari pesaingnya. Menurut pendapat anda; persaingan untuk mendapatkan seekor betina didunia binatang itu seperti apa? Biasanya, para pejantan tangguh berkelahi satu sama lain, bukan? Untuk sekedar menunjukkan siapa yang lebih berkuasa diantara mereka. Yang kalah dan berdarah-darah harus menerima kenyataan bahwa gadis pujaan hatinya jatuh kepelukan pejantan tangguh itu. Tapi hey, itu tidak terjadi pada Kukang.
Para pejantan Kukang bersaing dengan cara yang berbeda. Tahukah anda? Mereka berlomba kecepatan untuk berlari sampai ke garis finis. Dan garis finisnya? Dahan dimana sang betina jelita bergelantung menanti kedatangan sang pangeran. Dalam gerakannya yang sangat lamban itu, Kukang berpacu. Tentu, untuk mahluk yang disebut si lelet ukuran yang menentukan bukanlah kecepatan. Melainkan perhitungan. Naluri. Serta kecerdikan untuk menemukan dahan dan ranting yang akan menjadi penghubung dari satu pohon ke pohon lain hingga mereka sampai kehadapan sang puteri. Dan. Ketika satu Kukang jantan berhasil meraih ranting tempat sang puteri bersanding, semua Kukang jantan lain yang ikut bertanding, menghentikan perebutannya. Mereka tahu diri. Mempersilakan sang pemenang untuk menikmati kehidupan penuh privasi. Tanpa darah. Tanpa kekerasan. Tanpa hujatan. Tanpa balas dendam.
Rupanya, kita para manusia perlu belajar dari para Kukang juga. Meskipun sesungguhnya kita tidak pernah kekurangan pelajaran dari para orang tua kita; untuk bersikap ksatria. Sebab, para ksatria bersedia menerima kekalahannya. Oleh karena itu, sakti saja tidaklah memadai untuk menjadikan seseorang sebagai ksatria. Sebab, kesaktian tidak serta merta menggambarkan kebesaran hati. Manusia – manusia sakti yang tidak memiliki kebesaran hati tidak bisa menjadi ksatria. Persis seperti Thai Lung. Sehingga master Oogway tidak membirakan mahluk sakti dari jenis ini untuk memiliki mantra sakti Dragon Hero. Dan itu terbukti ketika Thai Lung kalah dalam perebutan mantra suci itu. Dia tidak menerima kekalahan itu. Alih-alih, dia mengoceh dalam frustrasinya dengan mengatakan; “Kamu hanyalah seekor Panda gendut. Bagaimana mungkin kamu bisa mengalahkan aku?” Dalam keadaan sempoyonganpun dia masih merasa dirinya lebih berhak untuk mendapatkan kemenangan itu. Dan benarlah adanya yang dikatakan master Oogway, bahwa; kerendahan hati adalah salah satu tanda dari seorang ksatria. Sebab, memang kerendahan hati, senantiasa bersanding dengan kebesaran hati itu sendiri.
Orang-orang yang memiliki kebesaran hati, selalu memiliki ruang untuk merendah. Sebab, mereka tahu bahwa dengan kerendahan hati tidak menjadikan harga dirinya rendah. Sebaliknya jika hati terlalu tinggi, sangat sulit bagi harga diri untuk berpijak. Bahkan, jika hati kita terlalu tinggi; sangat sulit bagi kita untuk mengakui bahwa orang lain memang lebih baik dari kita. Sehingga, ketika mereka memenangkan persaingan ini; kita menjadi semakin murka.
Mungkin kita mengira bahwa jaman sudah serba berubah. Kehidupan kita saat ini sama sekali bukan masa untuk bermimpi dengan mengharapkan seekor panda untuk menjadi Dragon Hero. Mungkin kita juga merasa bahwa kehidupan kita tidaklah sama dengan para Kukang. Dan. Mungkin kita bersikeras bahwa 21 hanyalah rekaan sutradara belaka. Tetapi hey, bukankah kehidupan nyata kita menyajikan begitu banyak fakta bahwa kita para manusia masih suka lupa bahwa dalam setiap permainan jarang sekali terjadi remis? Kalau pun angka imbang bertahan sampai pertandingan usai; kita masih harus adu penalty. Sekalipun setiap bidak dalam papan catur sudah tidak mungkin lagi saling mengalahkan; kita harus mengulang pertandingan. Sampai kapan? Sampai ada sang pemenang.
Kehidupan nyata kita memperlihatkan bahwa kita masih sering lupa bahwa pada akhirnya; selalu ada kalah dan menang dalam setiap perlombaan. Sehingga, ketika kita maju kesebuah kontes; kita sering meninggalkan ‘kebesaran hati’ diruang-ruang perenungan. Sedangkan dilapangan; kita menjadi mahluk yang berbeda. Makanya, tidak aneh jika diarena-arena perebutan kekuasaan sering tercecer dendam. Sebab selalu ada alasan untuk mendiskreditkan sang lawan. Dikantor-kantor juga demikian. Betapa sering kita mendengar orang-orang berkomentar bahwa seseorang dipromosikan hanya karena kedekatan dengan para atasan? Agak aneh, bukan? Kita menyalahkan orang lain atas ketidakmampuan kita untuk membangun hubungan yang produktif dengan para atasan. Jika kita menganggap bahwa hubungan dan kedekatan dengan para pengambil keputusan itu sangat menentukan masa depan; mengapa kita berpura-pura tidak butuh untuk membangun hubungan seperti itu? Dan ketika ada orang terampil yang berhasil melakukannya, maka lidah kita cepat-cepat berkata; dasar penjilat!
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kehidupan kita menyerupai arena penuh persaingan. Hanya para pemenang yang layak untuk mendapatkan hadiahnya. Dalam pertandingan itu, kadang kita menang. Kadang kita kalah. Apa bedanya? Tidak ada bedanya. Kecuali, kalau kita lebih suka menodai kesucian arena pertandingan kita itu dengan kepicikan, dan kesempitan hati. Sehingga, kita tidak pernah bisa menerima kekalahan. Namun, semua itu tidak akan terjadi jika sebelum pergi bertanding kita sudah terlebih dahulu memiliki kebesaran hati itu. Sebab, dengan kebesaran hati itu; kita menjadi tetap rendah hati dikala menang; dan secara ksatria mengakui kemenangan orang lain ketika kita mengalami kekalahan.
Jadi, dalam setiap persaingan; kita perlu mempersiapkan 2 hal. Pertama, kemampuan teknis yang memungkinkan kita untuk menjadi manusia unggul. Agar kita mempunyai kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Merebut hadiah. Atau mendapatkan kursi jabatan. Atau meraih kesempatan untuk dipromosikan. Dan kedua. Kebesaran hati. Agar kita tetap memiliki kehormatan, saat mengalami kekalahan. Oleh karena itu. Persiapan yang kita lakukan tidaklah cukup pada faktor fisik. Teknik. Pengetahuan. Ataupun keahlian. Kita juga perlu melakukan latihan dan persiapan; untuk membesarkan ukuran hati.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Orang-orang yang berbesar hati itu unik. Jika menang, mereka merunduk hormat kepada lawan-lawan yang telah dikalahkan. Jika kalah, mereka bertepuk tangan untuk kemenangan sang lawan.
Minggu, 22 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Inspirasi yang Luar Biasa Prima! Kang Dadang.
Memang Hati harus dijaga dan disirami dengan pupuk-pupuk baik ya, biar bisa bertumbuh semakin besar dan terus membesar secara positif.
Salam dari Surabaya.
Nice post kang Dadang.
Minta izin copy paste di blog saya
@ Thank you Pak Nano
@ Pak Dadan, silakan dengan senang hati
Posting Komentar