Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Pernahkah anda mendengar seseorang mengatakan:”Boleh jadi, bawahan anda akan menjadi atasan anda pada suatu saat kelak....”. Tidak banyak atasan yang menyadari kenyataan ini, sekaligus bersedia menerima konsekuensi yang ditimbulkannya. Dan, lebih sedikit lagi atasan yang bahkan dengan ’sengaja’ melakukan ’sesuatu’ untuk membantu bawahannya menapak lebih tinggi dari dirinya sendiri. Meskipun pada kenyataannya, ada banyak bukti bahwa para bawahan cemerlang melejit karirnya hingga menjadi atasan bagi para mantan atasannya. Apakah anda menemukan fenomena serupa ini dilingkungan kerja anda?
”Gue resign aja deh....” begitu kata seorang teman. Dia lebih suka pindah ke perusahaan lain daripada harus menjadi bawahan bagi orang yang pernah menjadi bawahannya. Secara mental, dia tidak siap menghadapi situasi terbalik seperti itu. Sulit menerimanya karena ada ganjalan psikologis didalam dirinya. Dia dikuasai rasa gengsi. Merasa diri lebih senior. Lebih superior. Dan rupanya, tidak sedikit orang yang bersikap seperti itu.
Banyak orang yang mengatakan bahwa; promosi tidak dilakukan secara transparan. Sarat dengan kolusi. Dilatarbelakangi diskrimanasi. Dan penuh dengan perbenturan berbagai kepentingan. Akibatnya, orang mendapatkan posisi lebih tinggi tanpa didukung oleh kemampuan yang memadai. Sehingga;”berseliweranlah para ‘anak kemarin sore’ dijajaran manajer senior perusahaan”. Mungkin betul begitu. Mungkin juga sekedar alasan belaka. Tapi, konteks diskusi kita saat ini tidak sedang membahas aspek itu. Jadi, mari kita fokuskan pembahasan kita kepada kenyataan bahwa :”Boleh jadi, bawahan kita akan menjadi atasan kita pada suatu saat kelak....” Let’s accept the fact, and let’s deal with it.
Bagi kita, hal ini memiliki dua implikasi. Pertama; seandainya kita adalah sang atasan itu. Bagaimana kita menghadapi kemungkinan seperti itu? Kemungkinan ketika bawahan kita menjadi atasan bagi kita. Mustahil? Tidak.
Maka, penting bagi kita untuk memiliki paradigma positif. Jika ada bawahan yang memiliki kualitas dan kinerja yang lebih baik dari kita; bukankah itu baik bagi kita maupun organisasi itu sendiri? Memang, idealnya kita naik posisi terus menerus, sehingga setinggi apapun bawahan kita naik; kita masih berada diatasnya. Namun, bukankah didunia nyata tidak selalu terjadi hal sedemikian?
Mari cermati kalimat ini;”Guru yang baik bukanlah mereka yang mau mengajarkan semua hal yang diketahuinya. Melainkan, mereka yang bersedia membantu muridnya membuka tabir-tabir pengetahuan yang belum pernah terpecahkan.” Apa yang kita ketahui sangatlah terbatas. Sehingga, mengajarkan semua yang kita tahu tidak akan bisa menjadikan generasi masa depan lebih baik dari kita. Jika hal ini berlaku dalam hubungan antara guru dan murid, dapatkah juga terjadi dalam hubungan antara atasan dan bawahan?
Seorang guru sejati akan bahagia ketika mendapati muridnya lebih hebat dari dirinya sendiri. Demikian pula seorang atasan yang hebat. Dia bahkan membuka jalan, supaya bawahannya bisa menapak lebih tinggi. Tanpa ada rasa iri. Tiada pula kecemburuan. Yang ada, hanyalah kebanggaan didalam dirinya. Meskipun – biasanya - seseorang yang telah menapak tinggi lupa bahwa; ada peran atasannya dalam pencapaian yang diraihnya. Jadi, tidak mengherankan jika mereka kerap berkata;”I did it myself.” Tapi, seorang atasan sejati; tidak terlampau merisaukannya.
Implikasi kedua; seandainya kita sang bawahan itu. Bukti bahwa seorang bawahan bisa menapak jenjang karir yang lebih tinggi dari atasan, cukup untuk meyakinkan diri kita bahwa masa depan kita bisa jauh lebih baik dari yang dapat kita bayangkan.
Sering kita dengar orang yang mengeluh bahwa karirnya tidak berkembang karena atasannya tidak cukup memberi bimbingan. Bisa iya. Bisa juga tidak. Lagipula, kita tahu bahwa tuntutan perusahaan semakin banyak, sementara jumlah karyawan bahkan semakin berkurang. Sehingga para pemegang posisi kunci semakin terbatas waktunya untuk menyuapi kita. Atau mengajarkan kepada kita tentang ini dan itu. Mengharapkan mereka selalu ada disamping kita membuktikan bahwa memang kita bukan orang yang bisa diandalkan. Lagipula, mengapa atasan kita harus memberi penilaian istimewa kepada orang-orang yang bisanya hanya bergelantung diketiak mereka?
Disisi lain, kita juga sering terjebak pada anggapan bahwa; ’kemampuan teknis adalah segala-galanya’. Padahal, kemampuan teknis hanyalah satu dari sekian banyak faktor penting. Jadi, orang-orang yang hanya hebat secara teknis, hanya layak untuk menjadi pelaksana. Bukan pemimpin. Itulah sebabnya, mengapa orang-orang yang hebat secara teknis; sering tersingkir. Repotnya, mereka merespon situasi ini dengan menyimpulkan bahwa manajemen telah pilih kasih. Mereka merasa; proses assesment tidak fair.
Kita, harus keluar dari pola pikir semacam itu. Sebab, jika terjebak didalamnya; kita tidak akan pernah mengetahui apa yang harus diperbaiki. Kita mengira bahwa semua kualifikasi itu sudah kita miliki. Padahal, ada orang lain yang lebih baik dari kita. Seperti halnya anda yang tidak ingin dipimpin oleh orang yang sekedar jago dalam hal-hal teknis; maka tentu orang lainpun tidak ingin anda yang hanya menguasai aspek teknis itu tampil menjadi pemimpin. Sebaliknya, ketika kemampuan teknis anda dipadukan dengan sikap positif, kemampuan membangun hubungan yang produktif baik dengan atasan, bawahan maupun rekan sekerja, serta loyalitas yang tinggi; maka mungkin, memang anda layak mendapatkan kesempatan untuk dipersaingkan dengan orang-orang hebat lainnya.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Akan tiba saat dimana para atasan harus digantikan. Siapkah kita, ketika kesempatan itu tiba?
Minggu, 16 November 2008
Sabtu, 08 November 2008
Tolong, Kami Kekurangan Karyawan Handal...
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Perlu saya tegaskan bahwa ini bukan iklan lowongan kerja. Tapi, memang benar bahwa saat ini, begitu banyak perusahaan yang lapar dan dahaga atas keberadaan tenaga kerja terampil. Sehingga, pencarian talenta-talenta hebat tidak pernah ada hentinya. Kita seringkali mendengar bahwa jumlah lapangan kerja sangat terbatas. Namun, jumlah tenaga kerja terampil lebih terbatas lagi. Sehingga meskipun disatu sisi ada surplus tenaga kerja, namun disisi lain ada begitu banyak jenis posisi yang teramat sulit untuk dicarikan orang yang tepat untuk mendudukinya.
”Punya teman yang bagus nggak?” teman saya bertanya.
”Untuk apa?” saya balik bertanya padanya. Lalu dia menjelaskan beberapa posisi penting yang katanya;”sudah hampir setahun ini kosong karena belum ditemukan kandidat yang tepat.”
Ada banyak perusahaan papan atas yang seperti itu. Mereka membiarkan posisi penting kosong sampai mendapatkan orang yang benar-benar tepat. Karena, mereka percaya bahwa orang-orang yang tepat itulah yang akan berhasil membawa perusahaan kepada pencapaian tinggi. Oleh karena itu, meskipun teramat banyak orang berseliweran dipasar tenaga kerja kita, namun ada banyak posisi yang tetap dibiarkan tak terisi.
Secara teoritis, perusahaan memang harus melakukan pengembangan calon-calon tenaga kerja handal itu. Mereka harus mempersiapkan bakat-bakat muda untuk menjadi pemimpin masa depan. Orang-orang muda yang bagus ini menjadi generasi penerus atau pemain utama bagi posisi-posisi baru yang muncul sesuai dengan dinamika organisasi. Namun, bahkan perusahaan yang sudah sedemikian cermatnya seperti inipun kadang-kadang masih kekurangan karyawan-karyawan handal itu. Terutama, ketika genderang perang bertajuk ’Talent War’ ini ditabuh diseantero dunia. Dimana setiap perusahaan bisa dengan leluasa membajak karyawan-karyawan hebat dari para pesaing utamanya.
Fakta ini menyiratkan dua hal. Pertama, perusahaan harus sadar betapa pentingnya membangun kemampuan organisasi untuk mengembangkan karyawan-karyawan andalan masa depan. Cara terbaiknya adalah dengan membentuk institusi atau fungsi khusus semisal Program Management Trainee atau Future Leader Development Center. Tapi, ini tentu tidaklah mudah. Misalnya, seingat saya; dibutuhkan waktu tidak kurang dari dua setengah tahun sejak usulan program management trainee saya diterima menejemen puncak sampai ’iklan’ pencarian trainee muncul untuk pertama kali dimedia masa.
Bagi organisasi yang tidak memungkinkan untuk membuat program sistematis seperti itu, praktis tantangannya terletak dipundak para manager. Manager level mana? Itu tidak penting. Sebab, inisiatif seperti ini bisa muncul dari level Direktur terus turun kebawah. Atau, sebaliknya justru datang dari para menejer lini yang terjun langsung dilapangan karena mereka mengetahui betul kebutuhan operasionalnya seperti apa. Contoh sederhana yang bisa dilakukan adalah; jika hendak merekrut orang untuk posisi-posisi tertentu misalnya. Kita mempunyai 2 pilihan; membajak orang yang sudah jadi dari luar, atau mengijinkan bakat-bakat muda didalam organisasi untuk mencobanya. Tidak harus langsung diberi gelar manajer karena gelar bisa didapatkan kemudian; jika mereka benar-benar bisa mengembangkan diri, dan kemudian menunjukkan hasilnya.
Adalah benar bahwa membajak orang yang sudah jadi merupakan cara yang paling praktis. Dengan sejumlah uang dan sejumput kompensasi sebagai daya tarik, orang itu bisa berpindah kursi hanya dalam waktu satu atau dua bulan saja. Sekedar menulis 30 days notification; orang itu sudah bisa terbang ke kantor lain. Tidak jarang masih digedung perkantoran yang sama. Sedangkan, memberi orang-orang muda kesempatan untuk belajar, sangat lama dan melelahkan. Namun, menurut pendapat anda; cara manakah yang merupakan langkah strategis jangka panjang?
Hal kedua yang juga sangat penting adalah; sikap kita sebagai karyawan itu sendiri. Kita, sebagai seorang karyawan; sudahkah bisa menjadi seseorang yang berharga bagi perusahaan? Dengan kata lain; apakah kita sudah menjadi satu dari bakat-bakat yang akan dengan berbagai cara dipertahankan oleh perusahaan? Jika kita belum menjadi orang yang seperti itu, maka itu menandakan bahwa kita belum benar-benar menunjukkan kemampuan sesungguhnya yang kita miliki. Kecuali jika anda orang yang memang tidak berguna; anda pasti memiliki sesuatu yang sangat langka. Yang unik. Yang berbeda secara positif. Sesuatu. Yang perusahaan anda tidak dapat menemukannya dari orang lain. Sesuatu itulah yang harus anda tunjukkan. Sehingga, untuk ’hal yang satu’ itu, perusahaan tidak memiliki pilihan lain selain mengandalkan anda. Temukan itu. Dalam diri anda masing-masing.
Dan untuk memastikan bahwa ’sesuatu’ itu bernilai bagi perusahaan; kita perlu membungkusnya dengan sikap positif. Kita semua sudah menyaksikan betapa banyaknya orang-orang pintar yang tidak maju, hanya gara-gara sikapnya. Dan diantara sikap yang merusak kualitas diri kita itu adalah; tidak kooperatif baik dengan atasan, bawahan atau teman sekerja. Juga menggunakan waktu kerja untuk hal-hal yang tidak produktif. Berapa banyak orang bahkan dilevel manajer dan direktur yang bermain game komputer pada saat seharusnya mereka bekerja atau mempelajari suatu keterampilan baru, misalnya? Lemahnya loyalitas, juga sering menjadi hambatan. Ini memang agak subjektif. Tetapi, atasan yang jeli biasanya dapat ’merasakan’ hal itu. Tidak sedikit orang berbakat yang dimasukan kedalam daftar orang-orang yang ’loyalitasnya perlu dipantau’. Jika kita masuk kedalam daftar itu, bagaimana? Ya, sekurang-kurangnya, kita tidak akan menjadi pilihan pertama jika sebuah kesempatan muncul suatu ketika.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah diri kita dari karyawan biasa. Menjadi seorang bintang ditempat kerja. Dan jika kita sudah bisa menjadi karyawan seperti itu, maka menejemen puncak akan menempatkan kita didalam sebuah daftar ’khusus’. Daftar itu disimpan didalam deposit box dan dikunci serta dijaga ketat. Bahkan ketika membicarakannya pun mereka menggunakan kode rahasia yang disepakati diseluruh dunia. Sekarang saya akan membisikkan kode rahasia itu kepada anda. Kode itu disebut ”236”. Maukah anda masuk kedalam daftar karyawan dengan kode itu?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Ada banyak alasan untuk menjadi pekerja gagal. Dan ada lebih banyak lagi alasan untuk menjadi karyawan handal.
Hari Baru!
Teman-teman.
Perlu saya tegaskan bahwa ini bukan iklan lowongan kerja. Tapi, memang benar bahwa saat ini, begitu banyak perusahaan yang lapar dan dahaga atas keberadaan tenaga kerja terampil. Sehingga, pencarian talenta-talenta hebat tidak pernah ada hentinya. Kita seringkali mendengar bahwa jumlah lapangan kerja sangat terbatas. Namun, jumlah tenaga kerja terampil lebih terbatas lagi. Sehingga meskipun disatu sisi ada surplus tenaga kerja, namun disisi lain ada begitu banyak jenis posisi yang teramat sulit untuk dicarikan orang yang tepat untuk mendudukinya.
”Punya teman yang bagus nggak?” teman saya bertanya.
”Untuk apa?” saya balik bertanya padanya. Lalu dia menjelaskan beberapa posisi penting yang katanya;”sudah hampir setahun ini kosong karena belum ditemukan kandidat yang tepat.”
Ada banyak perusahaan papan atas yang seperti itu. Mereka membiarkan posisi penting kosong sampai mendapatkan orang yang benar-benar tepat. Karena, mereka percaya bahwa orang-orang yang tepat itulah yang akan berhasil membawa perusahaan kepada pencapaian tinggi. Oleh karena itu, meskipun teramat banyak orang berseliweran dipasar tenaga kerja kita, namun ada banyak posisi yang tetap dibiarkan tak terisi.
Secara teoritis, perusahaan memang harus melakukan pengembangan calon-calon tenaga kerja handal itu. Mereka harus mempersiapkan bakat-bakat muda untuk menjadi pemimpin masa depan. Orang-orang muda yang bagus ini menjadi generasi penerus atau pemain utama bagi posisi-posisi baru yang muncul sesuai dengan dinamika organisasi. Namun, bahkan perusahaan yang sudah sedemikian cermatnya seperti inipun kadang-kadang masih kekurangan karyawan-karyawan handal itu. Terutama, ketika genderang perang bertajuk ’Talent War’ ini ditabuh diseantero dunia. Dimana setiap perusahaan bisa dengan leluasa membajak karyawan-karyawan hebat dari para pesaing utamanya.
Fakta ini menyiratkan dua hal. Pertama, perusahaan harus sadar betapa pentingnya membangun kemampuan organisasi untuk mengembangkan karyawan-karyawan andalan masa depan. Cara terbaiknya adalah dengan membentuk institusi atau fungsi khusus semisal Program Management Trainee atau Future Leader Development Center. Tapi, ini tentu tidaklah mudah. Misalnya, seingat saya; dibutuhkan waktu tidak kurang dari dua setengah tahun sejak usulan program management trainee saya diterima menejemen puncak sampai ’iklan’ pencarian trainee muncul untuk pertama kali dimedia masa.
Bagi organisasi yang tidak memungkinkan untuk membuat program sistematis seperti itu, praktis tantangannya terletak dipundak para manager. Manager level mana? Itu tidak penting. Sebab, inisiatif seperti ini bisa muncul dari level Direktur terus turun kebawah. Atau, sebaliknya justru datang dari para menejer lini yang terjun langsung dilapangan karena mereka mengetahui betul kebutuhan operasionalnya seperti apa. Contoh sederhana yang bisa dilakukan adalah; jika hendak merekrut orang untuk posisi-posisi tertentu misalnya. Kita mempunyai 2 pilihan; membajak orang yang sudah jadi dari luar, atau mengijinkan bakat-bakat muda didalam organisasi untuk mencobanya. Tidak harus langsung diberi gelar manajer karena gelar bisa didapatkan kemudian; jika mereka benar-benar bisa mengembangkan diri, dan kemudian menunjukkan hasilnya.
Adalah benar bahwa membajak orang yang sudah jadi merupakan cara yang paling praktis. Dengan sejumlah uang dan sejumput kompensasi sebagai daya tarik, orang itu bisa berpindah kursi hanya dalam waktu satu atau dua bulan saja. Sekedar menulis 30 days notification; orang itu sudah bisa terbang ke kantor lain. Tidak jarang masih digedung perkantoran yang sama. Sedangkan, memberi orang-orang muda kesempatan untuk belajar, sangat lama dan melelahkan. Namun, menurut pendapat anda; cara manakah yang merupakan langkah strategis jangka panjang?
Hal kedua yang juga sangat penting adalah; sikap kita sebagai karyawan itu sendiri. Kita, sebagai seorang karyawan; sudahkah bisa menjadi seseorang yang berharga bagi perusahaan? Dengan kata lain; apakah kita sudah menjadi satu dari bakat-bakat yang akan dengan berbagai cara dipertahankan oleh perusahaan? Jika kita belum menjadi orang yang seperti itu, maka itu menandakan bahwa kita belum benar-benar menunjukkan kemampuan sesungguhnya yang kita miliki. Kecuali jika anda orang yang memang tidak berguna; anda pasti memiliki sesuatu yang sangat langka. Yang unik. Yang berbeda secara positif. Sesuatu. Yang perusahaan anda tidak dapat menemukannya dari orang lain. Sesuatu itulah yang harus anda tunjukkan. Sehingga, untuk ’hal yang satu’ itu, perusahaan tidak memiliki pilihan lain selain mengandalkan anda. Temukan itu. Dalam diri anda masing-masing.
Dan untuk memastikan bahwa ’sesuatu’ itu bernilai bagi perusahaan; kita perlu membungkusnya dengan sikap positif. Kita semua sudah menyaksikan betapa banyaknya orang-orang pintar yang tidak maju, hanya gara-gara sikapnya. Dan diantara sikap yang merusak kualitas diri kita itu adalah; tidak kooperatif baik dengan atasan, bawahan atau teman sekerja. Juga menggunakan waktu kerja untuk hal-hal yang tidak produktif. Berapa banyak orang bahkan dilevel manajer dan direktur yang bermain game komputer pada saat seharusnya mereka bekerja atau mempelajari suatu keterampilan baru, misalnya? Lemahnya loyalitas, juga sering menjadi hambatan. Ini memang agak subjektif. Tetapi, atasan yang jeli biasanya dapat ’merasakan’ hal itu. Tidak sedikit orang berbakat yang dimasukan kedalam daftar orang-orang yang ’loyalitasnya perlu dipantau’. Jika kita masuk kedalam daftar itu, bagaimana? Ya, sekurang-kurangnya, kita tidak akan menjadi pilihan pertama jika sebuah kesempatan muncul suatu ketika.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah diri kita dari karyawan biasa. Menjadi seorang bintang ditempat kerja. Dan jika kita sudah bisa menjadi karyawan seperti itu, maka menejemen puncak akan menempatkan kita didalam sebuah daftar ’khusus’. Daftar itu disimpan didalam deposit box dan dikunci serta dijaga ketat. Bahkan ketika membicarakannya pun mereka menggunakan kode rahasia yang disepakati diseluruh dunia. Sekarang saya akan membisikkan kode rahasia itu kepada anda. Kode itu disebut ”236”. Maukah anda masuk kedalam daftar karyawan dengan kode itu?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Ada banyak alasan untuk menjadi pekerja gagal. Dan ada lebih banyak lagi alasan untuk menjadi karyawan handal.
Minggu, 26 Oktober 2008
Benarkah Anda Bisa Melakukan Apapun Juga?
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Salah satu impian terbesar umat manusia adalah; bisa melakukan apapun yang diinginkannya. Untungnya, orang-orang hebat sering mengatakan;”Anda bisa melakukan apa saja!”. Sangat mudah untuk menyerap nasihat itu karena kedengarannya bisa mengantar kita kepada mimpi terbesar itu. Tidak heran jika kemudian didalam hati kita ada sebuah ukiran indah berbunyi: ”Aku bisa melakukan apa saja!”. Uuuh, kedengarannya ini bisa menjadi bukti pencapaian tertinggi umat manusia. Karena, jika kita bisa melakukan apa saja; maka tercapai sudah segala impian itu. Tapi, benarkah anda bisa melakukan apapun juga?
Anda yang pernah menonton film The Land Before Time, tentu ingat tujuh sekawan hewan purba kecil yang bersahabat. Littlefoot si anak Apatosaurus berleher panjang menjadi pusat persahabatan itu. Cera si anak Triceratops, badak purba bercula tiga yang juga disebut sebagai Trihorn. Ducky si anak Saurolophus sang nenek moyang bangsa bebek. Petrie, si anak Pteranodon yang merawisi masa depan para burung. Spike si Stegosaurus sang leluhur buaya. Ruby si Oviraptor cilik. Dan Chomper anak Tyrranosaurus yang memilih untuk bersahabat dari pada harus memakan teman-temannya.
Ayah Cera yang raja Trihorn menasihatkan sebuah pelajaran penting. ”Cera,” katanya. ”Trihorn itu adalah mahluk terhormat dan paling hebat. Karena,” lanjutnya. ”Kita keluarga Trihorn bisa melakukan apa saja!” Suaranya yang besar dan menggelegar menggema ke seluruh penjuru rimba purba. Sedangkan didalam dada Cera, nasihat itu menjelma menjadi semangat yang membara. Yang menjadikan dirinya begitu percaya bahwa; Seekor Trihorn seperti dia, bisa melakukan apa saja.
Pada suatu ketika, ketujuh sekawan mengadakan perlombaan yang unik. Yaitu, berdiri diatas sebatang kayu yang terapung diair. Siapa yang paling lama berdiri diatasnya, dialah pemenangnya. Littlefoot, tidak ikut bertanding. Dia memilih untuk menjadi pendukung para kontestan yang sedang berlomba. Karena dia tahu, binatang besar berkaki empat seperti dia tidak dirancang untuk melakukan hal semacam itu. Sedangkan Cera yang juga besar dan berkaki empat? Dia tahu bahwa seekor Trihorn bisa melakukan apa saja. Persis seperti yang selalu dikatakan oleh ayahnya.
Sebelum pergi, Cera berpamitan kepada Ibunya. ”Ibu, aku mau bermain sama teman-teman.” katanya. ”Akan aku menangkan pertandingan itu, karena seekor Trihorn bisa melakukan apa saja!” Semangat itu tentu membuat kedua orang tuanya bangga. Terutama sang ayah yang telah berhasil menjadikan anaknya seorang pemikir positif, penuh percaya diri, dan selalu optimis. Tapi, ibunya penasaran dan bertanya;”Kalian mengadakan perlombaan apa kali ini, Cera?”.
Pertanyaan itu menghasilkan sebuah jawaban yang sangat mengejutkan. Sampai-sampai, Ayah yang sedang mengasah tanduknya berhenti dan berteriak; ”Perlombaan macam apa itu, Cera?” suaranya menggetarkan dada. ”Kamu tidak boleh ikut perlombaan itu!” seraya berlari menghampirinya.
”Mengapa aku tidak boleh ikut berlomba, Ayah?” tanya Cera. ”Aku ingin memenangkan pertandingan itu...” lanjutnya.
”Itu permainan yang sangat berbahaya!” jawab Ayah dalam suara tinggi berbalut cemas.
”Ayah, bukankah Ayah bilang seekor Trihorn bisa melakukan apa saja?” Cera membalas diantara kebingungan dan kekecewaan.
”I, Iyya, tapi...” Ayah terlihat ragu-ragu. ”Tapi, berdiri diatas sebatang kayu yang terapung diair sungai yang deras bukanlah salah satunya....”
”Maksud Ayah...” kata Cera. ”Seekor Trihorn tidak bisa melakukannya?” Jelas sekali dia kecewa. Namun, sekuat apapun Ayah menghalanginya, dia tidak bisa dihentikan. Ayah, tidak bisa semudah itu menghapuskan pelajaran yang sudah ditanamkannya didalam diri Cera. Sebab, pelajaran itu, benar-benar diserap, diyakini dan dijiwai olehnya. Hingga dia mengira bahwa memang seekor Trihorn bisa melakukan apa saja.
Kita, para manusia juga demikian. Begitu bertubi-tubinya pelajaran yang meyakinkan kita bahwa kita ini bisa melakukan apa saja. Jika kita mau. Pelajaran itu sungguh-sungguh kita dengarkan. Kita resapi didalam hati. Dan kita jadikan tenaga yang menggelora untuk menyemangati hidup. Namun seperti pengalaman Cera, ada banyak situasi dimana kita harus dihadapakan pada kenyataan bahwa tidak segala hal bisa kita lakukan. Itu membuat kita kebingungan; bukankah para guru motivasi saya mengatakan bahwa saya bisa melakukan apapun juga? Sekarang saya ingin melakukan ini, namun sekuat apapun saya berusaha, ternyata saya tidak bisa jua.
Ketika Cera pada akhirnya tenggelam dan hanyut terbawa arus sungai yang deras. Ayahnya menyadari bahwa kepada para pembelajar, tidak seharusnya dia meyakinkan bahwa mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Bukan. Bukan itu. Sebab, seekor Trihorn tidak didisain Tuhan untuk menjadi perenang hebat. Atau penerbang ulung. Seekor Trihorn, dirancang untuk menjadi dirinya sendiri. Mengenali potensi diri sejati yang dimilikinya. Lalu, menggunakan kemampuan itu untuk menjalani hidupnya. Dan. Itu tidak berarti melakukan apa saja yang diinginkannya. Melainkan, untuk. Menjalani fitrahnya. Mengikuti kodratnya. Memaknai keberadaan dirinya. Melalui aktualisasi atas kapasitas diri itu.
Cera, bukanlah satu-satunya pembelajar penuh semangat yang haus akan pencerahan itu. Ada jutaan Cera lain yang merindukan pengarahan yang benar tentang apa yang patut dilakukan dalam hidupnya. Mereka membutuhkan seseorang yang bersedia mengatakan bahwa; kita bukanlah mahluk yang bisa melakukan apa saja. Tapi, kita bisa meraih kesuksesan hidup dengan melakukan apa saja yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri kita seutuhnya. Yaitu, ketika kita menjadi manusia yang bersedia mengakui betapa kita ini bukan mahluk yang sempurna. Namun, dibalik kesadaran akan ketidaksempurnaan itu, tumbuh keyakinan bahwa; Tuhan sudah menghadiahi kita dengan kemampuan untuk menjalani sebaik-baiknya hidup.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Ada dua alasan mengapa kita tidak perlu bisa melakukan segala hal. Pertama, diri kita tidak didisain untuk menjadi mahluk yang serba bisa. Dan kedua, kesuksesan bukanlah milik mereka yang bisa melakukan segala hal; melainkan kabar baik bagi orang-orang yang bersedia memberdayakan diri.
Hari Baru!
Teman-teman.
Salah satu impian terbesar umat manusia adalah; bisa melakukan apapun yang diinginkannya. Untungnya, orang-orang hebat sering mengatakan;”Anda bisa melakukan apa saja!”. Sangat mudah untuk menyerap nasihat itu karena kedengarannya bisa mengantar kita kepada mimpi terbesar itu. Tidak heran jika kemudian didalam hati kita ada sebuah ukiran indah berbunyi: ”Aku bisa melakukan apa saja!”. Uuuh, kedengarannya ini bisa menjadi bukti pencapaian tertinggi umat manusia. Karena, jika kita bisa melakukan apa saja; maka tercapai sudah segala impian itu. Tapi, benarkah anda bisa melakukan apapun juga?
Anda yang pernah menonton film The Land Before Time, tentu ingat tujuh sekawan hewan purba kecil yang bersahabat. Littlefoot si anak Apatosaurus berleher panjang menjadi pusat persahabatan itu. Cera si anak Triceratops, badak purba bercula tiga yang juga disebut sebagai Trihorn. Ducky si anak Saurolophus sang nenek moyang bangsa bebek. Petrie, si anak Pteranodon yang merawisi masa depan para burung. Spike si Stegosaurus sang leluhur buaya. Ruby si Oviraptor cilik. Dan Chomper anak Tyrranosaurus yang memilih untuk bersahabat dari pada harus memakan teman-temannya.
Ayah Cera yang raja Trihorn menasihatkan sebuah pelajaran penting. ”Cera,” katanya. ”Trihorn itu adalah mahluk terhormat dan paling hebat. Karena,” lanjutnya. ”Kita keluarga Trihorn bisa melakukan apa saja!” Suaranya yang besar dan menggelegar menggema ke seluruh penjuru rimba purba. Sedangkan didalam dada Cera, nasihat itu menjelma menjadi semangat yang membara. Yang menjadikan dirinya begitu percaya bahwa; Seekor Trihorn seperti dia, bisa melakukan apa saja.
Pada suatu ketika, ketujuh sekawan mengadakan perlombaan yang unik. Yaitu, berdiri diatas sebatang kayu yang terapung diair. Siapa yang paling lama berdiri diatasnya, dialah pemenangnya. Littlefoot, tidak ikut bertanding. Dia memilih untuk menjadi pendukung para kontestan yang sedang berlomba. Karena dia tahu, binatang besar berkaki empat seperti dia tidak dirancang untuk melakukan hal semacam itu. Sedangkan Cera yang juga besar dan berkaki empat? Dia tahu bahwa seekor Trihorn bisa melakukan apa saja. Persis seperti yang selalu dikatakan oleh ayahnya.
Sebelum pergi, Cera berpamitan kepada Ibunya. ”Ibu, aku mau bermain sama teman-teman.” katanya. ”Akan aku menangkan pertandingan itu, karena seekor Trihorn bisa melakukan apa saja!” Semangat itu tentu membuat kedua orang tuanya bangga. Terutama sang ayah yang telah berhasil menjadikan anaknya seorang pemikir positif, penuh percaya diri, dan selalu optimis. Tapi, ibunya penasaran dan bertanya;”Kalian mengadakan perlombaan apa kali ini, Cera?”.
Pertanyaan itu menghasilkan sebuah jawaban yang sangat mengejutkan. Sampai-sampai, Ayah yang sedang mengasah tanduknya berhenti dan berteriak; ”Perlombaan macam apa itu, Cera?” suaranya menggetarkan dada. ”Kamu tidak boleh ikut perlombaan itu!” seraya berlari menghampirinya.
”Mengapa aku tidak boleh ikut berlomba, Ayah?” tanya Cera. ”Aku ingin memenangkan pertandingan itu...” lanjutnya.
”Itu permainan yang sangat berbahaya!” jawab Ayah dalam suara tinggi berbalut cemas.
”Ayah, bukankah Ayah bilang seekor Trihorn bisa melakukan apa saja?” Cera membalas diantara kebingungan dan kekecewaan.
”I, Iyya, tapi...” Ayah terlihat ragu-ragu. ”Tapi, berdiri diatas sebatang kayu yang terapung diair sungai yang deras bukanlah salah satunya....”
”Maksud Ayah...” kata Cera. ”Seekor Trihorn tidak bisa melakukannya?” Jelas sekali dia kecewa. Namun, sekuat apapun Ayah menghalanginya, dia tidak bisa dihentikan. Ayah, tidak bisa semudah itu menghapuskan pelajaran yang sudah ditanamkannya didalam diri Cera. Sebab, pelajaran itu, benar-benar diserap, diyakini dan dijiwai olehnya. Hingga dia mengira bahwa memang seekor Trihorn bisa melakukan apa saja.
Kita, para manusia juga demikian. Begitu bertubi-tubinya pelajaran yang meyakinkan kita bahwa kita ini bisa melakukan apa saja. Jika kita mau. Pelajaran itu sungguh-sungguh kita dengarkan. Kita resapi didalam hati. Dan kita jadikan tenaga yang menggelora untuk menyemangati hidup. Namun seperti pengalaman Cera, ada banyak situasi dimana kita harus dihadapakan pada kenyataan bahwa tidak segala hal bisa kita lakukan. Itu membuat kita kebingungan; bukankah para guru motivasi saya mengatakan bahwa saya bisa melakukan apapun juga? Sekarang saya ingin melakukan ini, namun sekuat apapun saya berusaha, ternyata saya tidak bisa jua.
Ketika Cera pada akhirnya tenggelam dan hanyut terbawa arus sungai yang deras. Ayahnya menyadari bahwa kepada para pembelajar, tidak seharusnya dia meyakinkan bahwa mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Bukan. Bukan itu. Sebab, seekor Trihorn tidak didisain Tuhan untuk menjadi perenang hebat. Atau penerbang ulung. Seekor Trihorn, dirancang untuk menjadi dirinya sendiri. Mengenali potensi diri sejati yang dimilikinya. Lalu, menggunakan kemampuan itu untuk menjalani hidupnya. Dan. Itu tidak berarti melakukan apa saja yang diinginkannya. Melainkan, untuk. Menjalani fitrahnya. Mengikuti kodratnya. Memaknai keberadaan dirinya. Melalui aktualisasi atas kapasitas diri itu.
Cera, bukanlah satu-satunya pembelajar penuh semangat yang haus akan pencerahan itu. Ada jutaan Cera lain yang merindukan pengarahan yang benar tentang apa yang patut dilakukan dalam hidupnya. Mereka membutuhkan seseorang yang bersedia mengatakan bahwa; kita bukanlah mahluk yang bisa melakukan apa saja. Tapi, kita bisa meraih kesuksesan hidup dengan melakukan apa saja yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri kita seutuhnya. Yaitu, ketika kita menjadi manusia yang bersedia mengakui betapa kita ini bukan mahluk yang sempurna. Namun, dibalik kesadaran akan ketidaksempurnaan itu, tumbuh keyakinan bahwa; Tuhan sudah menghadiahi kita dengan kemampuan untuk menjalani sebaik-baiknya hidup.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Ada dua alasan mengapa kita tidak perlu bisa melakukan segala hal. Pertama, diri kita tidak didisain untuk menjadi mahluk yang serba bisa. Dan kedua, kesuksesan bukanlah milik mereka yang bisa melakukan segala hal; melainkan kabar baik bagi orang-orang yang bersedia memberdayakan diri.
Minggu, 19 Oktober 2008
Apakah Anda Dibayar Terlalu Murah?
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Salah satu keluhan manusia paling umum adalah tentang betapa murahnya kita dibayar. Keluhan ini muncul terutama ketika surat kenaikan gaji rutin kita terima. Betapa kenaikan take-home-pay itu tidak bisa mengimbangi kenaikan kebutuhan hidup kita. Meskipun komplain itu tidak selamanya jelek. Namun, untuk soal gaji kita perlu bertanya lagi; benarkah kita ini dibayar terlalu murah?
Ada sahabat yang getol mengomel tentang gaji. Suatu kali, kami berkesempatan makan siang setelah sekian lama tidak berjumpa. Komplain itu masih menjadi bagian dari dirinya. Lalu saya bertanya; ”Memangnya elo digaji berapa?” Sebuah pertanyaan untung-untungan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa.
”Yaaa, sekitar segini lah.” Saya terbelalak karena dia begitu terbuka dengan gajinya, dan juga karena menurut hemat saya gajinya sudah tergolong besar untuk ukuran pekerjaan dan jabatan yang dia sandang.
“Pren, elu tahu rata-rata pendapatan orang Indonesia itu hanya sekitar $1,600 setahun. Artinya, cuma sekitar satu setengah juta setiap bulan. Lha, elo sudah lebih dari sepuluh kali lipat dari itu.”
“Heh, elo jangan anggap gue pekerja kelas bawah gitu ye. Ya nggak berlaku lah rata-rata pendapatan semua penduduk termasuk kelas pekerja kasar dikampung-kampung dan pelosok desa tuch!” dia menukas dengan nada sengit.
“Oke, oke,” saya mengangkat tangan. ”Tapi, rata-rata pendapatan orang yang kerja di Jakarta pun cuma sekitar $5,167, Man. Empat setengah jutaan doang.” Mata saya tertuju kearah piring. Tapi saya tahu teman saya ini melotot. ”Gaji elu masih berkali-kali lipat dari itu.”
”Heh, boy, udah gua bilang jangan pake rata-rata dong. Kemampuan gue juga kan diatas rata-rata!” katanya.
”Dan elo juga sudah dibayar jaoooh diatas rata-rata,” tangkis saya.
“Ah, susah kali ngomong sama kau tuch!” Saya tidak kaget ketika dia menggebrak meja. Sifat aslinya keluar kalau sedang terdesak. ”Orang harus dibayar sesuai dengan kemampuan dan kontribusinya masing-maaaasing!” Gayanya mirip Giant dalam film Dora Emon.
”Wah, kalau yang satu itu gue setuju abis, Man. Masalahnya, elu udah dibayar tinggi, masih komplen juga.” Saya bilang. “Atas dasar apa elu merasa pantas mendapatkan bayaran lebih tinggi?”
“Pertama, teman gue.” katanya ”Diperusahaan lain dibayar lebih tinggi, padahal kemampuan gue nggak kalah dari dia.” lanjutnya. “Kedua, gue udah kerja disini lebih dari lima tahun. Maasak, cuma segini-segini doang!”
“Menurut gue,“ saya meneguk teh botol. ”ada satu cara yang lebih objektif untuk menentukan apakah elo dibayar terlalu murah atau tidak.”
”Gimana?”
”Caranya,” saya berhenti sejenak. ”Elu harus menentukan satu hal. Yaitu; kalau elu tidak bekerja diperusahaan manapun, elu bisa mendapatkan penghasilan berapa?” Sesendok sayur bayam masuk kemulut saya. ”Nah, kalau elu dibayar dibawah angka itu, maka elu dibayar terlalu murah. Jika tidak, artinya elu sudah mendapatkan bayaran yang layak.”
Saya tahu bahwa gagasan ini agak kurang lazim. Tetapi anehnya, meskipun kita tidak puas dengan bayaran yang kita terima, kita masih juga bercokol disitu. Pertanda bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk menuntut bayaran lebih dari itu. Sebab, jika kita benar-benar memiliki alternatif lain yang jauh lebih baik, tidaklah mungkin kita berdiam diri.
Mungkin, hengkang ketempat lain bisa jadi pilihan. Tidak aneh. Kalau perusahaan pesaing merekrut kita, pastilah mereka bersedia membayar ekstra dimuka. Karena, itu bagian dari strategy persaingan bisnis mereka. Kadang, perusahaan lama melakukan ’buy back’ juga. Tapi hal ini tidak selalu bisa menggambarkan kemampuan dan kelayakbayaran kita sebagai individu secara utuh. Sebab, ada ’benchmark’ disetiap industry. Artinya, selalu ada saat dimana gaji kita tidak bisa naik lagi kecuali kita layak untuk dipromosi kepada jabatan dan tugas yang lebih tinggi. Makanya, tidak aneh jika ada karyawan yang direkrut dengan bayaran awal yang tinggi, tapi kenaikan gaji berkalanya tak terlalu bermakna.
Sebaliknya, jika kita bisa menentukan; ’berapa pendapatan yang bisa kita hasilkan jika tidak bekerja untuk perusahaan manapun’. Maka kita akan bisa menentukan ’nilai’ kita yang sesungguhnya. Misalnya, jika kita bisa menghasilkan 30 juta sebulan, maka kita bisa bernegosiasi dengan manajemen untuk mendapatkan bayaran yang sekurang-kurangnya setara dengan itu. Mengapa kita harus bertahan disana, jika bayarannya jauh lebih rendah dari yang bisa kita hasilkan sendiri? Namun, jika perusahaan sudah membayar kita lebih tinggi dari itu; kita tahu apa artinya itu, bukan?.
Sahabat saya menggugat: ”Kalau gua bisa kerja sendiri ngapain gua disini? Dari dulu gua pasti sudah berhenti! Gua disini, karena gua nggak bisa kerja sendiri!” Betul. Disitulah point utamanya. Kita menyandarkan diri kepada perusahaan itu, tanpa ada alternatif lain yang lebih baik. Jika demikian situasinya, bukankah akan lebih baik jika kita berfokus kepada kontribusi yang bisa kita berikan ditempat kerja? Tanpa harus terlebih dahulu berhitung-hitung soal gaji. Sebab, jika kita hanya bisa menjadi karyawan dengan prestasi rata-rata, mengapa perusahaan harus mengistimewakan kita? Sebaliknya, jika memang kita berprestasi sangat tinggi; tidaklah mungkin perusahaan menyia-nyiakan kita. Bahkan, kenaikan gaji ’tidak lazim’ mungkin bisa kita terima tanpa terduga. Dan, jikapun perusahaan tempat kerja kita benar-benar menutup mata; masih banyak perusahaan baik yang bersedia mempekerjakan kita, dengan bayaran yang sepantasnya. Asal kita bisa menunjukkan ’siapa sesungguhnya’ kita ini.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Komplain itu menghabiskan energi. Lakukan, hanya jika memang itu cukup berharga.
Hari Baru!
Teman-teman.
Salah satu keluhan manusia paling umum adalah tentang betapa murahnya kita dibayar. Keluhan ini muncul terutama ketika surat kenaikan gaji rutin kita terima. Betapa kenaikan take-home-pay itu tidak bisa mengimbangi kenaikan kebutuhan hidup kita. Meskipun komplain itu tidak selamanya jelek. Namun, untuk soal gaji kita perlu bertanya lagi; benarkah kita ini dibayar terlalu murah?
Ada sahabat yang getol mengomel tentang gaji. Suatu kali, kami berkesempatan makan siang setelah sekian lama tidak berjumpa. Komplain itu masih menjadi bagian dari dirinya. Lalu saya bertanya; ”Memangnya elo digaji berapa?” Sebuah pertanyaan untung-untungan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa.
”Yaaa, sekitar segini lah.” Saya terbelalak karena dia begitu terbuka dengan gajinya, dan juga karena menurut hemat saya gajinya sudah tergolong besar untuk ukuran pekerjaan dan jabatan yang dia sandang.
“Pren, elu tahu rata-rata pendapatan orang Indonesia itu hanya sekitar $1,600 setahun. Artinya, cuma sekitar satu setengah juta setiap bulan. Lha, elo sudah lebih dari sepuluh kali lipat dari itu.”
“Heh, elo jangan anggap gue pekerja kelas bawah gitu ye. Ya nggak berlaku lah rata-rata pendapatan semua penduduk termasuk kelas pekerja kasar dikampung-kampung dan pelosok desa tuch!” dia menukas dengan nada sengit.
“Oke, oke,” saya mengangkat tangan. ”Tapi, rata-rata pendapatan orang yang kerja di Jakarta pun cuma sekitar $5,167, Man. Empat setengah jutaan doang.” Mata saya tertuju kearah piring. Tapi saya tahu teman saya ini melotot. ”Gaji elu masih berkali-kali lipat dari itu.”
”Heh, boy, udah gua bilang jangan pake rata-rata dong. Kemampuan gue juga kan diatas rata-rata!” katanya.
”Dan elo juga sudah dibayar jaoooh diatas rata-rata,” tangkis saya.
“Ah, susah kali ngomong sama kau tuch!” Saya tidak kaget ketika dia menggebrak meja. Sifat aslinya keluar kalau sedang terdesak. ”Orang harus dibayar sesuai dengan kemampuan dan kontribusinya masing-maaaasing!” Gayanya mirip Giant dalam film Dora Emon.
”Wah, kalau yang satu itu gue setuju abis, Man. Masalahnya, elu udah dibayar tinggi, masih komplen juga.” Saya bilang. “Atas dasar apa elu merasa pantas mendapatkan bayaran lebih tinggi?”
“Pertama, teman gue.” katanya ”Diperusahaan lain dibayar lebih tinggi, padahal kemampuan gue nggak kalah dari dia.” lanjutnya. “Kedua, gue udah kerja disini lebih dari lima tahun. Maasak, cuma segini-segini doang!”
“Menurut gue,“ saya meneguk teh botol. ”ada satu cara yang lebih objektif untuk menentukan apakah elo dibayar terlalu murah atau tidak.”
”Gimana?”
”Caranya,” saya berhenti sejenak. ”Elu harus menentukan satu hal. Yaitu; kalau elu tidak bekerja diperusahaan manapun, elu bisa mendapatkan penghasilan berapa?” Sesendok sayur bayam masuk kemulut saya. ”Nah, kalau elu dibayar dibawah angka itu, maka elu dibayar terlalu murah. Jika tidak, artinya elu sudah mendapatkan bayaran yang layak.”
Saya tahu bahwa gagasan ini agak kurang lazim. Tetapi anehnya, meskipun kita tidak puas dengan bayaran yang kita terima, kita masih juga bercokol disitu. Pertanda bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk menuntut bayaran lebih dari itu. Sebab, jika kita benar-benar memiliki alternatif lain yang jauh lebih baik, tidaklah mungkin kita berdiam diri.
Mungkin, hengkang ketempat lain bisa jadi pilihan. Tidak aneh. Kalau perusahaan pesaing merekrut kita, pastilah mereka bersedia membayar ekstra dimuka. Karena, itu bagian dari strategy persaingan bisnis mereka. Kadang, perusahaan lama melakukan ’buy back’ juga. Tapi hal ini tidak selalu bisa menggambarkan kemampuan dan kelayakbayaran kita sebagai individu secara utuh. Sebab, ada ’benchmark’ disetiap industry. Artinya, selalu ada saat dimana gaji kita tidak bisa naik lagi kecuali kita layak untuk dipromosi kepada jabatan dan tugas yang lebih tinggi. Makanya, tidak aneh jika ada karyawan yang direkrut dengan bayaran awal yang tinggi, tapi kenaikan gaji berkalanya tak terlalu bermakna.
Sebaliknya, jika kita bisa menentukan; ’berapa pendapatan yang bisa kita hasilkan jika tidak bekerja untuk perusahaan manapun’. Maka kita akan bisa menentukan ’nilai’ kita yang sesungguhnya. Misalnya, jika kita bisa menghasilkan 30 juta sebulan, maka kita bisa bernegosiasi dengan manajemen untuk mendapatkan bayaran yang sekurang-kurangnya setara dengan itu. Mengapa kita harus bertahan disana, jika bayarannya jauh lebih rendah dari yang bisa kita hasilkan sendiri? Namun, jika perusahaan sudah membayar kita lebih tinggi dari itu; kita tahu apa artinya itu, bukan?.
Sahabat saya menggugat: ”Kalau gua bisa kerja sendiri ngapain gua disini? Dari dulu gua pasti sudah berhenti! Gua disini, karena gua nggak bisa kerja sendiri!” Betul. Disitulah point utamanya. Kita menyandarkan diri kepada perusahaan itu, tanpa ada alternatif lain yang lebih baik. Jika demikian situasinya, bukankah akan lebih baik jika kita berfokus kepada kontribusi yang bisa kita berikan ditempat kerja? Tanpa harus terlebih dahulu berhitung-hitung soal gaji. Sebab, jika kita hanya bisa menjadi karyawan dengan prestasi rata-rata, mengapa perusahaan harus mengistimewakan kita? Sebaliknya, jika memang kita berprestasi sangat tinggi; tidaklah mungkin perusahaan menyia-nyiakan kita. Bahkan, kenaikan gaji ’tidak lazim’ mungkin bisa kita terima tanpa terduga. Dan, jikapun perusahaan tempat kerja kita benar-benar menutup mata; masih banyak perusahaan baik yang bersedia mempekerjakan kita, dengan bayaran yang sepantasnya. Asal kita bisa menunjukkan ’siapa sesungguhnya’ kita ini.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Komplain itu menghabiskan energi. Lakukan, hanya jika memang itu cukup berharga.
Sabtu, 11 Oktober 2008
Serum Penangkal Rasa Sakit Hati
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Kemarin, saya benar-benar dikenalkan kepada dunia baru. Yaitu dunia dimana kita bisa berbicara melalui gelombang suara yang dipancarkan dari studio radio. Mbak Nuning Purnama yang sudah sangat ahli itu memandu saya supaya tidak terlalu norak sewaktu siaran. Saya senang alang kepalang. Seperti seorang anak yang mendapatkan mainan baru. Dan lebih senang lagi karena dari acara itu saya mendapatkan sebuah pelajaran baru ketika salah seorang pendengar mengirim SMS dengan mengatakan ”Wah, bagus tuch kalau sekalian diiringi lagu ’ular berbisa’.” Memang konteksnya kala itu adalah tentang belajar dari alam bagaimana caranya supaya kita bisa sukses dalam menjalani hidup ini. Oh, ternyata salah satu tujuan Tuhan menciptakan ular berbisa itu adalah supaya manusia bisa mempelajari sebuah filosofi tentang hidup. Sudahkah anda tahu filosofi itu?
Ular berbisa mempunyai reputasi yang sangat buruk. Karena dia dianggap hewan yang berbahaya dan sangat mematikan. Padahal, konon ular cenderung bersikap menghindari konfrontasi dengan manusia. Dengan kata lain, ular lebih memilih menyingkir daripada berantem dengan kita. ”Berurusan dengan manusia? Caaaape ddeh!!” mungkin begitu dia bilang. Alhasil, bisa yang dimilikinya dapat difungsikan untuk mempertahankan diri atau berburu mangsa.
Lebih dari itu, kita sekarang tahu bahwa bisa ular, tidak semata-mata dapat digunakan untuk membunuh. Namun justru sebaliknya bisa memberi kehidupan kepada manusia. Karena, dengan kemajuan teknologi saat ini kita bisa membuktikan bahwa bisa merupakan sumber potensial bagi berbagai macam obat-obatan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan hidup manusia. Dan, rupanya disinilah letak pelajaran yang hendak disampaikan Tuhan melalui sang ular itu.
Ular berbisa, dapat diibaratkan sebagai tantangan atau kesulitan hidup. Kenyataannya, hidup kita tidak selalu mudah, bukan? Semakin hari, kehidupan kita terasa semakin berat. Cobaan demi cobaan datang silih berganti. Rintangan demi rintangan seakan tiada hendak berhenti. Persis seperti bisa ular. Kita bisa mengolah bisa ular menjadi serum. Dengan serum itu, tubuh seseorang menjadi kebal. Atau disembuhkan dari berbagai macam penyakit. Demikian pula halnya dengan kesulitan hidup. Didalam setiap kesulitan hidup yang kita alami, tersembunyi ’serum kehidupan’. Dengan serum itu, kita bisa manjadikan jiwa ini lebih tahan banting. Lebih kuat dalam menghadapi cobaan demi cobaan yang datang silih berganti. Dan, dengan serum itu, kita dapat menjadikan diri lebih sehat secara mental dan spiritual.
Ular berbisa juga menggambarkan manusia-manusia yang berperangai buruk. Kita tahu bahwa kita tidak selalu berhasil membangun hubungan dengan orang lain. Ada saja orang-orang yang membuat kita tidak nyaman saat berhubungan dengan mereka. Dan, setelah kita berbuat baik kepada merekapun, tetap saja mereka menunjukkan sikap yang buruk kepada kita. Ada yang merendahkan kita. Ada yang menghina kita. Dan ada yang mencari-cari kelemahan dan kekurangan diri kita. Seakan-akan, kita sama sekali tidak memiliki sisi baik sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan.
Begitu banyak perempuan yang dinikahi oleh para lelaki. Namun, madu kehidupan pernikahan itu perlahan-lahan mengering, dan kemudian para perempuan itu disia-siakan. Disakiti hatinya. Dan dicampakkan. Sebaliknya, banyak pula lelaki baik yang dikhianati perempuan-perempuan yang mereka nikahi. Menyisakan luka hati yang begitu dalam. Dan kekecewaan yang teramat sangat. Ular mengajarkan kepada kita, bahwa hubungan kita dengan sesama manusia kadang-kadang tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Dan ular bertanya kepada kita; ”Sudahkah kita memiliki serum untuk melindungi diri dari semua perlakuan buruk orang lain itu?”
Dengan serum itu, kita bisa menolong diri sendiri. Supaya hidup kita tidak hancur hanya gara-gara perlakukan kurang menyenangkan dari orang lain. Karena sungguh, kita memegang kendali atas diri kita sendiri. Orang lain bisa menyakiti hati kita. Orang lain bisa merendahkan kita. Tapi, jika kita mengatakan kepada diri sendiri; ”Sorry ye, gak ngaruh!” maka, hidup kita akan baik-baik saja.
Selain itu, serum yang benar-benar tangguh bisa membebaskan diri kita dari sifat dendam. Ngapain kita mesti dendam kepada orang itu jika apapun yang dia lakukan kepada kita; tidak bisa merusak hidup kita? Justru sebaliknya, kita mesti berterimakasih kepada mereka karena bersedia menjadikan diri kita semakin kuat. Misalnya, baru-baru ini saya mendapatkan teguran yang sangat sinis dari seseorang. Dia mengatakan bahwa saya ini manusia bodoh rendah yang murahan. Namanya juga manusia, tidak semuanya sepaham dengan pendapat kita, bukan?
Saat mendapatkan kecaman itu, ego saya mengatakan;”Gue kuliah di sekolah T-O-P B-G-T, yang belum tentu manusia satu itu mampu untuk sekedar menginjakkan kakinya dikampus itu. Tapi, dia berani mengucapkan perkataan buruk itu sama gue!”. Mungkin, saya bisa membalas cacian orang itu dengan makian yang sama beracunnya. Tapi, serum itu benar-benar menolong saya untuk melihat sisi positifnya. Dan ternyata, kebodohan saya memang terbukti. Sebab, untuk sekedar membedakan gado-gado, pecel, dan lotek saja ternyata saya masih suka keliru. Oh, benar. Ternyata, saya ini tidak sempurna. Belakangan, saya berterima kasih kepada orang itu karena telah menunjukkan kelemahan diri yang bisa saya perbaiki.
Selain berguna untuk diri sendiri, serum itu juga bisa kita gunakan untuk menolong orang lain. Jika kita pernah berhasil melewati masa-masa sulit ketika dikecewakan oleh seseorang, misalnya. Maka kita bisa menolong orang lain yang sedang dilanda kekecewaan yang sama. Kita bisa memahami perasaannya. Menyelami batinnya. Dan berempati kepadanya. Lalu, menyuntikkan serum itu kedalam dirinya. Sehingga, orang itu berhasil melewati saat-saat sulit yang dialaminya. Dan kemudian mampu, membuat serumnya sendiri.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Cobaan hidup itu bagaikan racun ular berbisa. Dia dapat membuat kita mati terbunuh, atau menjadi kebal karenanya
Hari Baru!
Teman-teman.
Kemarin, saya benar-benar dikenalkan kepada dunia baru. Yaitu dunia dimana kita bisa berbicara melalui gelombang suara yang dipancarkan dari studio radio. Mbak Nuning Purnama yang sudah sangat ahli itu memandu saya supaya tidak terlalu norak sewaktu siaran. Saya senang alang kepalang. Seperti seorang anak yang mendapatkan mainan baru. Dan lebih senang lagi karena dari acara itu saya mendapatkan sebuah pelajaran baru ketika salah seorang pendengar mengirim SMS dengan mengatakan ”Wah, bagus tuch kalau sekalian diiringi lagu ’ular berbisa’.” Memang konteksnya kala itu adalah tentang belajar dari alam bagaimana caranya supaya kita bisa sukses dalam menjalani hidup ini. Oh, ternyata salah satu tujuan Tuhan menciptakan ular berbisa itu adalah supaya manusia bisa mempelajari sebuah filosofi tentang hidup. Sudahkah anda tahu filosofi itu?
Ular berbisa mempunyai reputasi yang sangat buruk. Karena dia dianggap hewan yang berbahaya dan sangat mematikan. Padahal, konon ular cenderung bersikap menghindari konfrontasi dengan manusia. Dengan kata lain, ular lebih memilih menyingkir daripada berantem dengan kita. ”Berurusan dengan manusia? Caaaape ddeh!!” mungkin begitu dia bilang. Alhasil, bisa yang dimilikinya dapat difungsikan untuk mempertahankan diri atau berburu mangsa.
Lebih dari itu, kita sekarang tahu bahwa bisa ular, tidak semata-mata dapat digunakan untuk membunuh. Namun justru sebaliknya bisa memberi kehidupan kepada manusia. Karena, dengan kemajuan teknologi saat ini kita bisa membuktikan bahwa bisa merupakan sumber potensial bagi berbagai macam obat-obatan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan hidup manusia. Dan, rupanya disinilah letak pelajaran yang hendak disampaikan Tuhan melalui sang ular itu.
Ular berbisa, dapat diibaratkan sebagai tantangan atau kesulitan hidup. Kenyataannya, hidup kita tidak selalu mudah, bukan? Semakin hari, kehidupan kita terasa semakin berat. Cobaan demi cobaan datang silih berganti. Rintangan demi rintangan seakan tiada hendak berhenti. Persis seperti bisa ular. Kita bisa mengolah bisa ular menjadi serum. Dengan serum itu, tubuh seseorang menjadi kebal. Atau disembuhkan dari berbagai macam penyakit. Demikian pula halnya dengan kesulitan hidup. Didalam setiap kesulitan hidup yang kita alami, tersembunyi ’serum kehidupan’. Dengan serum itu, kita bisa manjadikan jiwa ini lebih tahan banting. Lebih kuat dalam menghadapi cobaan demi cobaan yang datang silih berganti. Dan, dengan serum itu, kita dapat menjadikan diri lebih sehat secara mental dan spiritual.
Ular berbisa juga menggambarkan manusia-manusia yang berperangai buruk. Kita tahu bahwa kita tidak selalu berhasil membangun hubungan dengan orang lain. Ada saja orang-orang yang membuat kita tidak nyaman saat berhubungan dengan mereka. Dan, setelah kita berbuat baik kepada merekapun, tetap saja mereka menunjukkan sikap yang buruk kepada kita. Ada yang merendahkan kita. Ada yang menghina kita. Dan ada yang mencari-cari kelemahan dan kekurangan diri kita. Seakan-akan, kita sama sekali tidak memiliki sisi baik sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan.
Begitu banyak perempuan yang dinikahi oleh para lelaki. Namun, madu kehidupan pernikahan itu perlahan-lahan mengering, dan kemudian para perempuan itu disia-siakan. Disakiti hatinya. Dan dicampakkan. Sebaliknya, banyak pula lelaki baik yang dikhianati perempuan-perempuan yang mereka nikahi. Menyisakan luka hati yang begitu dalam. Dan kekecewaan yang teramat sangat. Ular mengajarkan kepada kita, bahwa hubungan kita dengan sesama manusia kadang-kadang tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Dan ular bertanya kepada kita; ”Sudahkah kita memiliki serum untuk melindungi diri dari semua perlakuan buruk orang lain itu?”
Dengan serum itu, kita bisa menolong diri sendiri. Supaya hidup kita tidak hancur hanya gara-gara perlakukan kurang menyenangkan dari orang lain. Karena sungguh, kita memegang kendali atas diri kita sendiri. Orang lain bisa menyakiti hati kita. Orang lain bisa merendahkan kita. Tapi, jika kita mengatakan kepada diri sendiri; ”Sorry ye, gak ngaruh!” maka, hidup kita akan baik-baik saja.
Selain itu, serum yang benar-benar tangguh bisa membebaskan diri kita dari sifat dendam. Ngapain kita mesti dendam kepada orang itu jika apapun yang dia lakukan kepada kita; tidak bisa merusak hidup kita? Justru sebaliknya, kita mesti berterimakasih kepada mereka karena bersedia menjadikan diri kita semakin kuat. Misalnya, baru-baru ini saya mendapatkan teguran yang sangat sinis dari seseorang. Dia mengatakan bahwa saya ini manusia bodoh rendah yang murahan. Namanya juga manusia, tidak semuanya sepaham dengan pendapat kita, bukan?
Saat mendapatkan kecaman itu, ego saya mengatakan;”Gue kuliah di sekolah T-O-P B-G-T, yang belum tentu manusia satu itu mampu untuk sekedar menginjakkan kakinya dikampus itu. Tapi, dia berani mengucapkan perkataan buruk itu sama gue!”. Mungkin, saya bisa membalas cacian orang itu dengan makian yang sama beracunnya. Tapi, serum itu benar-benar menolong saya untuk melihat sisi positifnya. Dan ternyata, kebodohan saya memang terbukti. Sebab, untuk sekedar membedakan gado-gado, pecel, dan lotek saja ternyata saya masih suka keliru. Oh, benar. Ternyata, saya ini tidak sempurna. Belakangan, saya berterima kasih kepada orang itu karena telah menunjukkan kelemahan diri yang bisa saya perbaiki.
Selain berguna untuk diri sendiri, serum itu juga bisa kita gunakan untuk menolong orang lain. Jika kita pernah berhasil melewati masa-masa sulit ketika dikecewakan oleh seseorang, misalnya. Maka kita bisa menolong orang lain yang sedang dilanda kekecewaan yang sama. Kita bisa memahami perasaannya. Menyelami batinnya. Dan berempati kepadanya. Lalu, menyuntikkan serum itu kedalam dirinya. Sehingga, orang itu berhasil melewati saat-saat sulit yang dialaminya. Dan kemudian mampu, membuat serumnya sendiri.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Cobaan hidup itu bagaikan racun ular berbisa. Dia dapat membuat kita mati terbunuh, atau menjadi kebal karenanya
Minggu, 05 Oktober 2008
Ternyata, Ikhlas Itu Memiliki Saudara Kembar
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Kita sering mendengar kata ‘ikhlas’ diucapkan orang. Misalnya, sang dermawan berkata; “Saya menyerahkan sumbangan ini dengan ihklas”. Anehnya, dia mengharapkan sang penerima derma untuk mencoblos tanda gambar dalam pemilihan ketua RT minggu depan. Dia merasa kesal ketika ternyata hasil perhitungan suara lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang menerima derma darinya. Kita memang gemar membawa-bawa kata ikhlas ketika melakukan sesuatu untuk orang lain. Tapi, hati kecil kita begitu mudahnya menggugat hanya karena orang yang kita tolong itu sama sekali tidak mengucapkan terimakasih. Dan diam-diam kita mencap orang itu sebagai ‘orang yang tidak tahu terimakasih’. Sebongkah kedongkolan ditambah dengan perasaan tidak dihormati cukup menjadikan kita kapok untuk menolongnya lagi dikemudian hari.
Beberapa waktu yang lalu, ada kejadian aneh didaerah kami. Jalan menuju ke pemukiman kami sudah pada berlubang. Ketika saya melintas pagi itu, lubang-lubang itu masih bercokol disitu. Tetapi, disore hari saat saya pulang; jalan itu sudah berubah menjadi mulus. Dimalam harinya, salah satu tokoh masyarakat kami mengaku menangis menyaksikan kejadian itu. Dia menangis karena ada orang yang tanpa ketahuan identitasnya telah memperbaiki jalan umum itu. Padahal, para pengurus RT/RW yang saling bertetangga sudah sejak lama berembuk mengenai perbaikan jalan, tanpa keputusan yang berarti. Kerumitan masalahnya ada pada ketidaksepakatan mengenai berapa uang yang harus disumbangkan oleh setiap rumah. Apakah para pensiunan harus membayar sejumlah yang sama? Apakah tidak sebaiknya orang yang mempunyai mobil lebih dari satu membayar iuran berlipat ganda? Dan seribu satu ‘apakah’ lainnya. Tapi, hari itu; jalan itu mulus hanya dalam beberapa jam saja. Semetara itu, tak seorangpun tahu siapa ‘dermawannya’.
Pak tokoh masyarakat itu menangis karena disadarkan tentang betapa dirinya belum memiliki keikhlasan seperti orang itu. Dan pada malam itu, kami yang tengah berkumpul diforum itu diingatkan juga bahwa; betapa keikhlasan itu merupakan rahasia antara seseorang dengan Tuhannya. Karena, tidak ada yang mengetahui apakah kita sungguh-sungguh ikhlas atau sekedar berpura-pura ikhlas; kecuali diri kita sendiri dan Sang Maha Mengetahui isi hati manusia. Seperti halnya kita tidak bisa membohongi hati sendiri, kita tidak bisa menyembunyikan sesuatu pun dihadapan Dia. Mulut kita bisa mengatakan ‘saya ikhlas’. Tapi, jika sesungguhnya kita tidak benar-benar ikhlas, maka hati kita dan Dia; tahu segalanya.
Ketika kita sungguh-sungguh ikhlas, maka mulut tidak lagi tertarik untuk mengatakannya. Mendingan mesam-mesem saja. Jika ikhlas, kita tidak lagi pusing apakah seseorang berterimakasih atau tidak. Jika ikhlas, tidak penting lagi apakah nama kita diumumkan atau tidak. Jika ikhlas, yang kita harapkan adalah penerimaan Tuhan atas apa yang kita lakukan, bukan penilaian manusia. Dan jika demikian, mengapa orang lain harus tahu apakah kita ini ikhlas atau tidak?
Namun, kadang-kadang kita menganggap bahwa ikhlas itu berarti tidak mengharapkan imbalan apapun. Meskipun pada kenyataannya kita ikhlas bekerja sehari-hari hanya jika digaji. Kalau kita tidak digaji, mana bisa ikhlas bekerja seperti ini? Persis seperti jawaban yang disampaikan oleh seorang murid ketika Sang Guru bertanya;”Menurut pendapatmu, ikhlas itu apa?” Kata si Murid; “Ikhlas berarti kita melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan atas apa yang kita lakukan.”
“Seperti apa misalnya?” lanjut Sang Guru.
“Maaf, guru.” jawab si Murid.”Seperti ketika Guru buang hajat,” lanjutnya. “Setelah semua urusan Guru di toilet selesai, Guru tidak pernah ingin lagi melihat kedalamnya. Guru langsung membilasnya. Dan guru tidak ingin mengingat-ingatnya.”
“Oh, begitu ya?” kata Sang Guru sambil manggut-manggut. Si Murid yang merasa dirinya telah memberikan jawaban sempurna berbangga hati. “Kalau begitu,” lanjut Sang Guru. “Didunia ini tidak akan ada satupun manusia yang benar-benar ikhlas.” Sekarang sang Murid terperanjat.
Seperti mengerti kegundahan dihati muridnya, Sang Guru melanjutkan. “Menurut pendapatku, ikhlas itu berarti menerima hukum Tuhan apa adanya. Dengan kata lain, bersedia menerima apapun yang digariskan Tuhan untuk mengatur alam semesta ini.” Agak geli mendengar nasihat Sang Guru, si Murid berkata; “Guru, itu adalah arti kata taát. Bukan ikhlas.”
“Benar sekali,” kata Sang Guru. “Karena, keikhlasan itu saudara kembar dari ketaatan.” Seperti Wiro Sableng murid Sinto Gendheng, sang Murid garuk-garuk kepala ketika Sang Guru berujar; “Orang-orang yang taát, secara tulus ikhlas menerima hukum Tuhan apapun adanya itu.” Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa tidak termasuk taát orang-orang yang menolak keputusan Tuhan. Misalnya, Tuhan sudah memutuskan bahwa ‘setiap’ perbuatan ada imbalannya. Perbuatan buruk imbalannya keburukan juga. Itu yang kemudian kita sebut sebagai dosa. Sedangkan perbuatan baik imbalannya kebaikan juga. Yang biasa kita sebut sebagai pahala. Tidak ada perbuatan manusia yang luput dari pengamatan Sang Maha Melihat. Dia mencatat dengan seksama, dan menghisabkan perhitungan sesuai dengan baik atau buruk perbuatannya. Itu adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan. Dan, seorang hamba yang ikhlas pasti mentaáti hukum itu. Sehingga, dia sungguh takut berbuat keburukan karena imbalannya yang berupa keburukan pula itu. Sebaliknya dia begitu bersemangat dalam berbuat kebajikan, karena dia sungguh merindukan kebaikan dari sisi Tuhannya.
“Guru,” kata si Murid. “Bukankah lebih baik jika kita tidak mengharapkan imbalan dari Tuhan?” Sang Guru menjawab:”Itu betul,” katanya. “Jika, kamu benar-benar tidak mengharapkan imbalan dari Tuhanmu.” lanjutnya. “Tapi, jika tidak, maka Tuhan tetap tahu apa yang terucap dihatimu.” Setelah itu, Sang Guru mengatakan bahwa Tuhan itu sangat senang jika hamba-hambanya yang baik menggantungkan beribu harapan kepadaNya. Itulah mengapa Dia menyebut dirinya sendiri sebagai Sang Tempat Menggantungkan Harapan. Seorang hamba yang yakin dan takut saat berbuat keburukan, namun penuh harap dengan banyak-banyak berbuat kebajikan disebut sebagai hamba yang tawazun. Artinya, seimbang. Dia tidak berat sebelah. Dia tidak hanya yakin bahwa Tuhan akan membalas keburukan dengan keburukan. Melainkan juga yakin bahwa kebaikan akan berbalas kebaikan disisiNya. Dan sungguh, katanya; Tuhan sangat menyukai orang-orang yang seperti itu. Maukah kita membuat Tuhan suka?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kita, tidak pernah bisa terbebas dari hukum alam barang sedetikpun. Jadi, menyerah saja kepadanya.
Hari Baru!
Teman-teman.
Kita sering mendengar kata ‘ikhlas’ diucapkan orang. Misalnya, sang dermawan berkata; “Saya menyerahkan sumbangan ini dengan ihklas”. Anehnya, dia mengharapkan sang penerima derma untuk mencoblos tanda gambar dalam pemilihan ketua RT minggu depan. Dia merasa kesal ketika ternyata hasil perhitungan suara lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang menerima derma darinya. Kita memang gemar membawa-bawa kata ikhlas ketika melakukan sesuatu untuk orang lain. Tapi, hati kecil kita begitu mudahnya menggugat hanya karena orang yang kita tolong itu sama sekali tidak mengucapkan terimakasih. Dan diam-diam kita mencap orang itu sebagai ‘orang yang tidak tahu terimakasih’. Sebongkah kedongkolan ditambah dengan perasaan tidak dihormati cukup menjadikan kita kapok untuk menolongnya lagi dikemudian hari.
Beberapa waktu yang lalu, ada kejadian aneh didaerah kami. Jalan menuju ke pemukiman kami sudah pada berlubang. Ketika saya melintas pagi itu, lubang-lubang itu masih bercokol disitu. Tetapi, disore hari saat saya pulang; jalan itu sudah berubah menjadi mulus. Dimalam harinya, salah satu tokoh masyarakat kami mengaku menangis menyaksikan kejadian itu. Dia menangis karena ada orang yang tanpa ketahuan identitasnya telah memperbaiki jalan umum itu. Padahal, para pengurus RT/RW yang saling bertetangga sudah sejak lama berembuk mengenai perbaikan jalan, tanpa keputusan yang berarti. Kerumitan masalahnya ada pada ketidaksepakatan mengenai berapa uang yang harus disumbangkan oleh setiap rumah. Apakah para pensiunan harus membayar sejumlah yang sama? Apakah tidak sebaiknya orang yang mempunyai mobil lebih dari satu membayar iuran berlipat ganda? Dan seribu satu ‘apakah’ lainnya. Tapi, hari itu; jalan itu mulus hanya dalam beberapa jam saja. Semetara itu, tak seorangpun tahu siapa ‘dermawannya’.
Pak tokoh masyarakat itu menangis karena disadarkan tentang betapa dirinya belum memiliki keikhlasan seperti orang itu. Dan pada malam itu, kami yang tengah berkumpul diforum itu diingatkan juga bahwa; betapa keikhlasan itu merupakan rahasia antara seseorang dengan Tuhannya. Karena, tidak ada yang mengetahui apakah kita sungguh-sungguh ikhlas atau sekedar berpura-pura ikhlas; kecuali diri kita sendiri dan Sang Maha Mengetahui isi hati manusia. Seperti halnya kita tidak bisa membohongi hati sendiri, kita tidak bisa menyembunyikan sesuatu pun dihadapan Dia. Mulut kita bisa mengatakan ‘saya ikhlas’. Tapi, jika sesungguhnya kita tidak benar-benar ikhlas, maka hati kita dan Dia; tahu segalanya.
Ketika kita sungguh-sungguh ikhlas, maka mulut tidak lagi tertarik untuk mengatakannya. Mendingan mesam-mesem saja. Jika ikhlas, kita tidak lagi pusing apakah seseorang berterimakasih atau tidak. Jika ikhlas, tidak penting lagi apakah nama kita diumumkan atau tidak. Jika ikhlas, yang kita harapkan adalah penerimaan Tuhan atas apa yang kita lakukan, bukan penilaian manusia. Dan jika demikian, mengapa orang lain harus tahu apakah kita ini ikhlas atau tidak?
Namun, kadang-kadang kita menganggap bahwa ikhlas itu berarti tidak mengharapkan imbalan apapun. Meskipun pada kenyataannya kita ikhlas bekerja sehari-hari hanya jika digaji. Kalau kita tidak digaji, mana bisa ikhlas bekerja seperti ini? Persis seperti jawaban yang disampaikan oleh seorang murid ketika Sang Guru bertanya;”Menurut pendapatmu, ikhlas itu apa?” Kata si Murid; “Ikhlas berarti kita melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan atas apa yang kita lakukan.”
“Seperti apa misalnya?” lanjut Sang Guru.
“Maaf, guru.” jawab si Murid.”Seperti ketika Guru buang hajat,” lanjutnya. “Setelah semua urusan Guru di toilet selesai, Guru tidak pernah ingin lagi melihat kedalamnya. Guru langsung membilasnya. Dan guru tidak ingin mengingat-ingatnya.”
“Oh, begitu ya?” kata Sang Guru sambil manggut-manggut. Si Murid yang merasa dirinya telah memberikan jawaban sempurna berbangga hati. “Kalau begitu,” lanjut Sang Guru. “Didunia ini tidak akan ada satupun manusia yang benar-benar ikhlas.” Sekarang sang Murid terperanjat.
Seperti mengerti kegundahan dihati muridnya, Sang Guru melanjutkan. “Menurut pendapatku, ikhlas itu berarti menerima hukum Tuhan apa adanya. Dengan kata lain, bersedia menerima apapun yang digariskan Tuhan untuk mengatur alam semesta ini.” Agak geli mendengar nasihat Sang Guru, si Murid berkata; “Guru, itu adalah arti kata taát. Bukan ikhlas.”
“Benar sekali,” kata Sang Guru. “Karena, keikhlasan itu saudara kembar dari ketaatan.” Seperti Wiro Sableng murid Sinto Gendheng, sang Murid garuk-garuk kepala ketika Sang Guru berujar; “Orang-orang yang taát, secara tulus ikhlas menerima hukum Tuhan apapun adanya itu.” Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa tidak termasuk taát orang-orang yang menolak keputusan Tuhan. Misalnya, Tuhan sudah memutuskan bahwa ‘setiap’ perbuatan ada imbalannya. Perbuatan buruk imbalannya keburukan juga. Itu yang kemudian kita sebut sebagai dosa. Sedangkan perbuatan baik imbalannya kebaikan juga. Yang biasa kita sebut sebagai pahala. Tidak ada perbuatan manusia yang luput dari pengamatan Sang Maha Melihat. Dia mencatat dengan seksama, dan menghisabkan perhitungan sesuai dengan baik atau buruk perbuatannya. Itu adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan. Dan, seorang hamba yang ikhlas pasti mentaáti hukum itu. Sehingga, dia sungguh takut berbuat keburukan karena imbalannya yang berupa keburukan pula itu. Sebaliknya dia begitu bersemangat dalam berbuat kebajikan, karena dia sungguh merindukan kebaikan dari sisi Tuhannya.
“Guru,” kata si Murid. “Bukankah lebih baik jika kita tidak mengharapkan imbalan dari Tuhan?” Sang Guru menjawab:”Itu betul,” katanya. “Jika, kamu benar-benar tidak mengharapkan imbalan dari Tuhanmu.” lanjutnya. “Tapi, jika tidak, maka Tuhan tetap tahu apa yang terucap dihatimu.” Setelah itu, Sang Guru mengatakan bahwa Tuhan itu sangat senang jika hamba-hambanya yang baik menggantungkan beribu harapan kepadaNya. Itulah mengapa Dia menyebut dirinya sendiri sebagai Sang Tempat Menggantungkan Harapan. Seorang hamba yang yakin dan takut saat berbuat keburukan, namun penuh harap dengan banyak-banyak berbuat kebajikan disebut sebagai hamba yang tawazun. Artinya, seimbang. Dia tidak berat sebelah. Dia tidak hanya yakin bahwa Tuhan akan membalas keburukan dengan keburukan. Melainkan juga yakin bahwa kebaikan akan berbalas kebaikan disisiNya. Dan sungguh, katanya; Tuhan sangat menyukai orang-orang yang seperti itu. Maukah kita membuat Tuhan suka?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kita, tidak pernah bisa terbebas dari hukum alam barang sedetikpun. Jadi, menyerah saja kepadanya.
Sabtu, 27 September 2008
Saham Yang Tidak Pernah Turun Nilainya
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Konon, berinvetasi sudah menjadi salah satu ciri gaya hidup manusia modern. Orang-orang yang sudah sadar akan pentingnya berinvestasi menanamkan uangnya untuk membeli saham, membeli surat utang negara, atau bemain valas dan berbagai jenis investasi lainnya. Meskipun tujuan berinvestasi adalah untuk mencari keuntungan, namun ada kalanya justru uang yang kita investasikan menjadi berkurang. Memang, para manager investasi bisa membantu kita memaksimalkan laba dan mengurangi resiko rugi. Namun, pasti akan lebih elok lagi kalau investasi kita dijamin selalu menguntungkan. Tidak pernah rugi. Tidak bisa diakuisisi oleh orang lain. Berlaku sepanjang masa. Bahkan setelah kita mati pun keuntungannya tetap mengalir. Tapi, mana ada investasi macam itu?
Pertengahan bulan September lalu, kejutan besar menghantui pasar investasi dunia. Hari itu, kita seolah disadarkan tentang betapa rapuhnya dunia bisnis ini. Sehingga, negara sekuat Amerika pun kelimpungan. Dan, yang lebih mengejutkan lagi, pada tanggal 16 September 2008 Bank Investasi Lehman Brother yang sudah beroperasi selama 158 tahun dinyatakan bangkrut. Pada kesempatan lain, teman saya menceritakan bahwa dia pernah mendapatkan keuntungan sekitar US$2,700.- hanya dalam satu malam. Terpukau oleh ’keberuntungan pemula’ itu; semua uang yang semula akan digunakan untuk membeli rumah dia investasikan demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi. Dan. Amblas!
Sedangkan pada suatu sore, seorang Kakek tengah berhadapan dengan lelaki muda berdasi disebuah padepokan. ”Maukah engkau kutunjukkan kepada investasi yang sahamnya tidak pernah turun?” tanya sang Kakek. Lelaki itu menatap matanya. Dia tidak pernah percaya kepada rayuan gombal para pengelola keuangan semacam itu. Apalagi ketika si Kakek mengatakan bahwa keuntungannya bersifat abadi. Tidak perlu dimonitor setiap hari. Tidak usah pergi kepasar modal. Tidak perlu membayar fee kepada fund manager.
”Saya tidak percaya,” kata lelaki itu. ”Tapi, sebaiknya kakek katakan saja.” lanjutnya. ”Mungkin itu bisa menjadi hiburan atas kerugian yang baru saja saya alami.” nada suaranya terdengar sinis.
”Kakek tahu penyebab hilangnya kepercayaanmu,” jawabnya. Lelaki itu mengangkat kepalanya. Tatap matanya mengisyaratkan keraguan. ”Karena kamu bertransaski dengan manusia,” lanjut si Kakek.
”Maksud kakek apa?”
”Setiap transaksi dengan manusia tidak dijamin akan menghasilkan keuntungan,” jawabnya. ”Karena, manusia cenderung mengambil kentungan untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Setelah dia sendiri untung, baru dia memikirkan orang lain.” lanjutnya. ”Kalau perlu, manusia membiarkan temannya jatuh kedalam kerugian karena mereka percaya bahwa hukum ekonomi itu berarti keluar sedikit dapatnya banyak....”
”Iya, tapi kalau tidak dengan manusia saya harus bertransaksi dengan siapa? Monyet?” Lelaki itu kesal bukan hanya karena merasa disindir, tetapi juga karena dia tahu bahwa monyet tidak bisa melipatgandakan uangnya.
”Kita mesti bertransaksi dengan Tuhan.” jawab si Kakek. Matanya tertuju lurus menabrak kedua bola mata lelaki itu. Tembus hingga menghunjam ulu hatinya. ’Deg’, lelaki itu merasakan tumbukan dijantungnya. Tuhan? Bahkan dia sudah lama tidak mengingat nama itu. Dia terlalu sibuk dengan urusan kantornya. Bisnis akhir-akhir ini menjadi semakin manja. Tidak bisa berkembang kalau tidak di-ninabobo-kan oleh dirinya secara langsung. Dan pasar modal semakin kurang bersahabat. Sehingga uang yang ditanamnya terancam lenyap. Tapi, dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan si kakek. Uang yang lenyap dari tangannya berarti keuntungan bagi pihak lain. Oh. Uang itu sungguh tidak menghilang. Dia ada. Tapi, dia berpindah tangan. Dari tangan orang-orang yang bangkrut seperti dirinya. Berpindah ke rekening orang-orang yang untung. Sama seperti ketika dia yang untung. Ada seseorang dibelaham bumi lain yang mengalami kerugian. Duh, inilah rupanya yang dihasilkan oleh ’untung dan rugi’.
”Tuhan mengajarkan konsep untung dan untung.” lanjut si Kakek seolah mengerti apa yang dipikirkannya. ”Jika kamu menginvestasikan uangmu dijalan Tuhan. Atau sekedar berbuat kebajikan untuk sesama. Maka kebajikan itu akan ditransformasikan menjadi lembaran-lembaran saham yang semakin hari-semakin bertambah labanya. Tanpa ada kemungkinan orang lain merebut saham itu dari tanganmu.” Lanjutnya.
Si Kakek kemudian mengatakan bahwa orang-orang yang menerima kebajikan itu diuntungkan. Hidup mereka menjadi termudahkan. Pandangan mereka menjadi tercerahkan. Lalu mereka mencerahkan orang lain lagi. Dan orang yang mereka cerahkan mencerahkan orang-orang disekitarnya. Teruuuuus begitu. Sehingga saham yang kita tanamkan melalui kebajikan itu semakin hari semakin berkembang. Hebatnya lagi, kita tidak harus memiliki uang untuk membeli saham itu. Cukup dengan memasuki lingkaran kebajikan itu saja, kita sudah bisa memiliki saham yang nilainya tidak pernah turun itu. Semakin banyak kebaikan itu kita sebarkan, semakin banyak lembaran saham yang kita kumpulkan. Dan suatu hari nanti; saham-saham itu bisa kita gunakan untuk penebusan atas dosa-dosa kita dimasa lalu. Dan, ketika jumlah saham itu sudah mencukupi untuk menghapuskan semua dosa-dosa kita, maka neraca rugi laba kita menunjukan ’break even point’. Kita kembali menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan. Dan. Kita kembali kepada ’Fitri’. Tepat dihari yang fitri.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Mohon maaf lahir dan batin.
Hari Baru!
Teman-teman.
Konon, berinvetasi sudah menjadi salah satu ciri gaya hidup manusia modern. Orang-orang yang sudah sadar akan pentingnya berinvestasi menanamkan uangnya untuk membeli saham, membeli surat utang negara, atau bemain valas dan berbagai jenis investasi lainnya. Meskipun tujuan berinvestasi adalah untuk mencari keuntungan, namun ada kalanya justru uang yang kita investasikan menjadi berkurang. Memang, para manager investasi bisa membantu kita memaksimalkan laba dan mengurangi resiko rugi. Namun, pasti akan lebih elok lagi kalau investasi kita dijamin selalu menguntungkan. Tidak pernah rugi. Tidak bisa diakuisisi oleh orang lain. Berlaku sepanjang masa. Bahkan setelah kita mati pun keuntungannya tetap mengalir. Tapi, mana ada investasi macam itu?
Pertengahan bulan September lalu, kejutan besar menghantui pasar investasi dunia. Hari itu, kita seolah disadarkan tentang betapa rapuhnya dunia bisnis ini. Sehingga, negara sekuat Amerika pun kelimpungan. Dan, yang lebih mengejutkan lagi, pada tanggal 16 September 2008 Bank Investasi Lehman Brother yang sudah beroperasi selama 158 tahun dinyatakan bangkrut. Pada kesempatan lain, teman saya menceritakan bahwa dia pernah mendapatkan keuntungan sekitar US$2,700.- hanya dalam satu malam. Terpukau oleh ’keberuntungan pemula’ itu; semua uang yang semula akan digunakan untuk membeli rumah dia investasikan demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi. Dan. Amblas!
Sedangkan pada suatu sore, seorang Kakek tengah berhadapan dengan lelaki muda berdasi disebuah padepokan. ”Maukah engkau kutunjukkan kepada investasi yang sahamnya tidak pernah turun?” tanya sang Kakek. Lelaki itu menatap matanya. Dia tidak pernah percaya kepada rayuan gombal para pengelola keuangan semacam itu. Apalagi ketika si Kakek mengatakan bahwa keuntungannya bersifat abadi. Tidak perlu dimonitor setiap hari. Tidak usah pergi kepasar modal. Tidak perlu membayar fee kepada fund manager.
”Saya tidak percaya,” kata lelaki itu. ”Tapi, sebaiknya kakek katakan saja.” lanjutnya. ”Mungkin itu bisa menjadi hiburan atas kerugian yang baru saja saya alami.” nada suaranya terdengar sinis.
”Kakek tahu penyebab hilangnya kepercayaanmu,” jawabnya. Lelaki itu mengangkat kepalanya. Tatap matanya mengisyaratkan keraguan. ”Karena kamu bertransaski dengan manusia,” lanjut si Kakek.
”Maksud kakek apa?”
”Setiap transaksi dengan manusia tidak dijamin akan menghasilkan keuntungan,” jawabnya. ”Karena, manusia cenderung mengambil kentungan untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Setelah dia sendiri untung, baru dia memikirkan orang lain.” lanjutnya. ”Kalau perlu, manusia membiarkan temannya jatuh kedalam kerugian karena mereka percaya bahwa hukum ekonomi itu berarti keluar sedikit dapatnya banyak....”
”Iya, tapi kalau tidak dengan manusia saya harus bertransaksi dengan siapa? Monyet?” Lelaki itu kesal bukan hanya karena merasa disindir, tetapi juga karena dia tahu bahwa monyet tidak bisa melipatgandakan uangnya.
”Kita mesti bertransaksi dengan Tuhan.” jawab si Kakek. Matanya tertuju lurus menabrak kedua bola mata lelaki itu. Tembus hingga menghunjam ulu hatinya. ’Deg’, lelaki itu merasakan tumbukan dijantungnya. Tuhan? Bahkan dia sudah lama tidak mengingat nama itu. Dia terlalu sibuk dengan urusan kantornya. Bisnis akhir-akhir ini menjadi semakin manja. Tidak bisa berkembang kalau tidak di-ninabobo-kan oleh dirinya secara langsung. Dan pasar modal semakin kurang bersahabat. Sehingga uang yang ditanamnya terancam lenyap. Tapi, dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan si kakek. Uang yang lenyap dari tangannya berarti keuntungan bagi pihak lain. Oh. Uang itu sungguh tidak menghilang. Dia ada. Tapi, dia berpindah tangan. Dari tangan orang-orang yang bangkrut seperti dirinya. Berpindah ke rekening orang-orang yang untung. Sama seperti ketika dia yang untung. Ada seseorang dibelaham bumi lain yang mengalami kerugian. Duh, inilah rupanya yang dihasilkan oleh ’untung dan rugi’.
”Tuhan mengajarkan konsep untung dan untung.” lanjut si Kakek seolah mengerti apa yang dipikirkannya. ”Jika kamu menginvestasikan uangmu dijalan Tuhan. Atau sekedar berbuat kebajikan untuk sesama. Maka kebajikan itu akan ditransformasikan menjadi lembaran-lembaran saham yang semakin hari-semakin bertambah labanya. Tanpa ada kemungkinan orang lain merebut saham itu dari tanganmu.” Lanjutnya.
Si Kakek kemudian mengatakan bahwa orang-orang yang menerima kebajikan itu diuntungkan. Hidup mereka menjadi termudahkan. Pandangan mereka menjadi tercerahkan. Lalu mereka mencerahkan orang lain lagi. Dan orang yang mereka cerahkan mencerahkan orang-orang disekitarnya. Teruuuuus begitu. Sehingga saham yang kita tanamkan melalui kebajikan itu semakin hari semakin berkembang. Hebatnya lagi, kita tidak harus memiliki uang untuk membeli saham itu. Cukup dengan memasuki lingkaran kebajikan itu saja, kita sudah bisa memiliki saham yang nilainya tidak pernah turun itu. Semakin banyak kebaikan itu kita sebarkan, semakin banyak lembaran saham yang kita kumpulkan. Dan suatu hari nanti; saham-saham itu bisa kita gunakan untuk penebusan atas dosa-dosa kita dimasa lalu. Dan, ketika jumlah saham itu sudah mencukupi untuk menghapuskan semua dosa-dosa kita, maka neraca rugi laba kita menunjukan ’break even point’. Kita kembali menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan. Dan. Kita kembali kepada ’Fitri’. Tepat dihari yang fitri.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Mohon maaf lahir dan batin.
Minggu, 14 September 2008
Pertarungan Terakhir Sang Pendekar Nomor Wahid
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Kita tentu masih ingat tentang ilmu padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Semakin seseorang bertambah ilmunya, semakinlah dia menyadari betapa dia mesti lebih banyak menundukkan kepalanya. Sehingga matanya tidak tertuju keatas untuk mendongak. Melainkan melihat kebawah kearah hati. Mungkin itu pula sebabnya kita mengenal istilah ‘rendah hati’. Tentu, rendah hati itu tidak sama dengan rendah diri. Sebab, rendah diri membawa kita kepada sikap inferior. Sedangkan sifat rendah hati menjadikan kita orang yang yakin kepada kemampuan diri tanpa harus membusungkan dada. Atau sekedar merasa diri lebih hebat dari orang lain. Kita kemudian berkata; “Apa salahnya orang hebat seperti gue membangga-banggakan diri?” Apalagi jika kehebatan dan kesuksesan kita ini, dihasilkan dari ‘jerih payah sendiri’. Tidak salah. Namun, padi tidaklah bersikap demikian.
Dulu. Ketika keunggulan manusia diukur oleh kemampuannya memainkan pedang. Orang-orang hebat saling berlomba untuk menjadi pendekar nomor wahid. Sehingga, mereka berlatih tanpa henti dengan tujuan utama; mengalahkan pemegang gelar ‘pendekar nomor wahid’ yang ada. Dan merebut gelar itu. Mereka tidak keberatan jika harus bertarung hingga mati.
Pada suatu ketika, kesaktian sang pendekar nomor wahid sudah mencapai tingkatan yang paling tinggi. Sehingga, tidak ada lagi orang yang berani menantangnya. Lama-lama, dia merasa bosan sendiri. Tak ada lagi pertarungan. Tak ada lagi kemenangan. Dan akhirnya, tidak ada lagi nilai dari gelar yang selama ini dibangga-banggakannya. Lalu, hati kecilnya berbisik; “Benarkah aku ini seorang pendekar nomor wahid?” Mengingat tak ada lagi yang berani menantangnya, seharusnya tak seorangpun meragukannya. Tetapi, hati kecilnya kembali berbisik; “Bagaimana seandainya dibelahan dunia lain ada orang yang lebih sakti. Apakah aku layak menyandang gelar ini?”
Kegelisahan itu membawanya kepada pengembaraan yang teramat panjang. Dia melintasi bukit. Menyeberang lautan. Menjelajah padang pasir yang gersang. Semuanya hanya untuk mendatangi orang-orang sakti dan mengalahkannya satu demi satu. Akhirnya, sampailah dia disebuah perguruan terakhir untuk ditaklukan. Jika dia berhasil mengalahkan orang paling sakti diperguruan itu, maka dia berhak menyandang gelar pendekar nomor wahid secara mutlak.
“Siapakah orang paling sakti diperguruan ini?” hardiknya, sesaat setelah dia mendobrak pintu gerbang. Dengan sekali tendang.
”Disini tidak ada orang yang seperti itu, Tuan” jawab orang-orang itu.
“Perguruan macam apa ini?” sergahnya. “Masa, tidak ada orang yang paling sakti disini!” sang pendekar nomor wahid kembali menghardik. “Memangnya apa yang kalian pelajari selama ini dengan pedang, tombak, dan toya itu.?”
“Disini,” jawab para murid. “Kami belajar tentang kerendahan hati,” katanya dengan serempak.
Sang pendekar nomor wahid terlihat gusar dengan omong kosong itu. Tidak ada perguruan yang mengajarkan kesia-siaan semacam itu. Kesaktian. Kehebatan. Dan kekuatanlah yang seharusnya diajarkan. Karena, hanya dengan cara itu kemuliaan seseorang ditentukan. Orang-orang saktilah yang kedudukannya tinggi. Orang-orang hebatlah, yang pantas dihargai. Orang-orang kuatlah yang layak ditakuti dan dihormati. “Antarkan aku kepada guru kalian,” pintanya.
Orang-orang diperguruan itu saling pandang. Lalu berkata; “Tuan sudah berada dihadapan guru kami,”.
Sang pendekar kebingungan; “Apa maksud kalian?” katanya.
“Disini,” jawab para murid. “Kami menjadi guru untuk orang lain.” Mereka diam sejenak. “Sekaligus menjadi murid bagi mereka.” Lanjutnya serempak.
Sekarang sang pendekar mulai mengerti bahwa diperguruan itu, setiap orang diperlakukan sebagai guru. Karena setiap orang ditempat itu mengajari orang lain tentang apa saja yang diketahuinya. Para ahli pedang mengajarkan pedang. Para ahli panah, mengajari cara memanah. Para ahli tombak, membuka rahasia tentang permaian tombak.
Sang pendekar nomor wahid itu juga mengerti. Bahwa diperguruan itu setiap orang menempatkan dirinya sendiri sebagai murid. Sehingga tidak peduli kesaktian dirinya setinggi apa; mereka bersedia untuk belajar dari orang lain tentang sesuatu yang tidak diketahuinya. Para ahli pedang belajar bagaimana melempar tombak. Para jago toya belajar tentang cara memegang busur panah. Jadi, siapakah gerangan yang pantas menyandang gelar sebagai ‘orang yang paling sakti’ itu?
Sang pendekar nomor wahid tertegun. Dia menatap satu persatu wajah demi wajah yang ada dihadapannya. Menanyakan nama-nama mereka. Dan mengingat-ingat apa yang dikenang orang tentang nama-nama itu. Betapa terkejutnya dia, ketika menyadari bahwa mereka adalah nama-nama yang sangat harum mewangi didunia kependekaran. Merekalah legenda-legenda kesaktian. Namun, betapa terharu kalbunya ketika mengetahui bahwa; “bahkan orang-orang sekualitas merekapun tidak saling belomba untuk memperebutkan gelar terhormat itu.” Oh, inikah rupanya yang diajarkan oleh keredahan hati. Mereka merunduk. Ketika isi dan kualitas dirinya semakin meninggi. Mereka tambah merendah. Disaat pencapaian mereka menanjak dan mengangkasa. Seperti sang padi. Semakin merunduk. Ketika butir bulirnya semakin berisi.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Tidaklah penting siapa guru, dan siapa murid. Karena kenyataanya; tidak ada manusia yang sempurna.
Hari Baru!
Teman-teman.
Kita tentu masih ingat tentang ilmu padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Semakin seseorang bertambah ilmunya, semakinlah dia menyadari betapa dia mesti lebih banyak menundukkan kepalanya. Sehingga matanya tidak tertuju keatas untuk mendongak. Melainkan melihat kebawah kearah hati. Mungkin itu pula sebabnya kita mengenal istilah ‘rendah hati’. Tentu, rendah hati itu tidak sama dengan rendah diri. Sebab, rendah diri membawa kita kepada sikap inferior. Sedangkan sifat rendah hati menjadikan kita orang yang yakin kepada kemampuan diri tanpa harus membusungkan dada. Atau sekedar merasa diri lebih hebat dari orang lain. Kita kemudian berkata; “Apa salahnya orang hebat seperti gue membangga-banggakan diri?” Apalagi jika kehebatan dan kesuksesan kita ini, dihasilkan dari ‘jerih payah sendiri’. Tidak salah. Namun, padi tidaklah bersikap demikian.
Dulu. Ketika keunggulan manusia diukur oleh kemampuannya memainkan pedang. Orang-orang hebat saling berlomba untuk menjadi pendekar nomor wahid. Sehingga, mereka berlatih tanpa henti dengan tujuan utama; mengalahkan pemegang gelar ‘pendekar nomor wahid’ yang ada. Dan merebut gelar itu. Mereka tidak keberatan jika harus bertarung hingga mati.
Pada suatu ketika, kesaktian sang pendekar nomor wahid sudah mencapai tingkatan yang paling tinggi. Sehingga, tidak ada lagi orang yang berani menantangnya. Lama-lama, dia merasa bosan sendiri. Tak ada lagi pertarungan. Tak ada lagi kemenangan. Dan akhirnya, tidak ada lagi nilai dari gelar yang selama ini dibangga-banggakannya. Lalu, hati kecilnya berbisik; “Benarkah aku ini seorang pendekar nomor wahid?” Mengingat tak ada lagi yang berani menantangnya, seharusnya tak seorangpun meragukannya. Tetapi, hati kecilnya kembali berbisik; “Bagaimana seandainya dibelahan dunia lain ada orang yang lebih sakti. Apakah aku layak menyandang gelar ini?”
Kegelisahan itu membawanya kepada pengembaraan yang teramat panjang. Dia melintasi bukit. Menyeberang lautan. Menjelajah padang pasir yang gersang. Semuanya hanya untuk mendatangi orang-orang sakti dan mengalahkannya satu demi satu. Akhirnya, sampailah dia disebuah perguruan terakhir untuk ditaklukan. Jika dia berhasil mengalahkan orang paling sakti diperguruan itu, maka dia berhak menyandang gelar pendekar nomor wahid secara mutlak.
“Siapakah orang paling sakti diperguruan ini?” hardiknya, sesaat setelah dia mendobrak pintu gerbang. Dengan sekali tendang.
”Disini tidak ada orang yang seperti itu, Tuan” jawab orang-orang itu.
“Perguruan macam apa ini?” sergahnya. “Masa, tidak ada orang yang paling sakti disini!” sang pendekar nomor wahid kembali menghardik. “Memangnya apa yang kalian pelajari selama ini dengan pedang, tombak, dan toya itu.?”
“Disini,” jawab para murid. “Kami belajar tentang kerendahan hati,” katanya dengan serempak.
Sang pendekar nomor wahid terlihat gusar dengan omong kosong itu. Tidak ada perguruan yang mengajarkan kesia-siaan semacam itu. Kesaktian. Kehebatan. Dan kekuatanlah yang seharusnya diajarkan. Karena, hanya dengan cara itu kemuliaan seseorang ditentukan. Orang-orang saktilah yang kedudukannya tinggi. Orang-orang hebatlah, yang pantas dihargai. Orang-orang kuatlah yang layak ditakuti dan dihormati. “Antarkan aku kepada guru kalian,” pintanya.
Orang-orang diperguruan itu saling pandang. Lalu berkata; “Tuan sudah berada dihadapan guru kami,”.
Sang pendekar kebingungan; “Apa maksud kalian?” katanya.
“Disini,” jawab para murid. “Kami menjadi guru untuk orang lain.” Mereka diam sejenak. “Sekaligus menjadi murid bagi mereka.” Lanjutnya serempak.
Sekarang sang pendekar mulai mengerti bahwa diperguruan itu, setiap orang diperlakukan sebagai guru. Karena setiap orang ditempat itu mengajari orang lain tentang apa saja yang diketahuinya. Para ahli pedang mengajarkan pedang. Para ahli panah, mengajari cara memanah. Para ahli tombak, membuka rahasia tentang permaian tombak.
Sang pendekar nomor wahid itu juga mengerti. Bahwa diperguruan itu setiap orang menempatkan dirinya sendiri sebagai murid. Sehingga tidak peduli kesaktian dirinya setinggi apa; mereka bersedia untuk belajar dari orang lain tentang sesuatu yang tidak diketahuinya. Para ahli pedang belajar bagaimana melempar tombak. Para jago toya belajar tentang cara memegang busur panah. Jadi, siapakah gerangan yang pantas menyandang gelar sebagai ‘orang yang paling sakti’ itu?
Sang pendekar nomor wahid tertegun. Dia menatap satu persatu wajah demi wajah yang ada dihadapannya. Menanyakan nama-nama mereka. Dan mengingat-ingat apa yang dikenang orang tentang nama-nama itu. Betapa terkejutnya dia, ketika menyadari bahwa mereka adalah nama-nama yang sangat harum mewangi didunia kependekaran. Merekalah legenda-legenda kesaktian. Namun, betapa terharu kalbunya ketika mengetahui bahwa; “bahkan orang-orang sekualitas merekapun tidak saling belomba untuk memperebutkan gelar terhormat itu.” Oh, inikah rupanya yang diajarkan oleh keredahan hati. Mereka merunduk. Ketika isi dan kualitas dirinya semakin meninggi. Mereka tambah merendah. Disaat pencapaian mereka menanjak dan mengangkasa. Seperti sang padi. Semakin merunduk. Ketika butir bulirnya semakin berisi.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Tidaklah penting siapa guru, dan siapa murid. Karena kenyataanya; tidak ada manusia yang sempurna.
Minggu, 07 September 2008
Mengusir Gelisah Hati
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Dijaman ini, begitu banyak hal yang bisa menjadikan hati kita gelisah. Kenaikan gaji yang nyaris habis dikikis inflasi. Harga sayur-mayur yang menguras uang dapur. Uang sekolah anak-anak yang kadang menyesakkan. Juga sang gadis pujaan hati yang tidak kunjung menerima cinta kita. Kerena kegelisahan itu, kita menjadi sulit tidur. Dari sulit tidur, lalu kita dihinggapi depresi. Kemudian berkembang menjadi stress berkepanjangan. Untuk mengobatinya; kita meminum obat tidur ditambah anti-depresan dan anti-ansietas. Memang, banyak orang yang tertolong dengan obat-obatan semacam itu. Tetapi, dalam jangka panjang mereka harus menaikkan dosis untuk menghasilkan efek yang sama. Sehingga, akhirnya malah menjadi ketagihan. Adakah alternatif lain selain obat-obatan semacam itu?
Dijaman dahulu kala, obat-obatan seperti itu belum ada. Begitu pula dengan lembaga pelatihan yang menyajikan topik ‘Stress Management’. Sehingga, orang-orang pada masa itu harus mencari jalan keluar lain, seperti yang dikisahkan dalam sebuah dongeng. Dongeng tentang seorang lelaki yang sedang dihinggapi oleh kegelisahan hati. Dia mendatangi seorang bijak ditengah gurun pasir yang bernama bukit Shofa. Lalu bertanya;”Tuan, apa rahasianya sehingga Tuan begitu tentram dalam menghadapi hidup yang serba sulit ini?”
Orang bijak itu berkata;”Aku tahu sebuah rahasia,” katanya, “tapi aku tidak bisa mengatakannya kepadamu,” lanjutnya.
Lelaki itu menahan kecewa sambil berkata:”jika Tuan tidak mengatakannya, bagaimana saya mengetahuinya?”
“Engkau bisa membacanya,” kata sang bijak, seraya mengarahkan telunjuknya kesebuah gundukan pasir dibukit Marwa. “Disana,” lanjut beliau. “Ada selembar kulit kambing yang menyimpan rahasia itu. Raihlah kulit kambing itu, dan bacalah apa yang tertulis padanya.” Katanya. “Jika engkau bisa mengamalkannya, maka hatimu akan terbebas dari rasa gundah dan gelisah.” Lalu, orang bijak itu beranjak pergi.
Seketika itu juga, sang lelaki berlari ke bukit Marwa. Setelah mencari-cari diseluruh penjuru bukit itu, akhirnya dia berhasil menemukan kulit kambing yang diceritakan oleh sang bijak tadi. Dia bergegas membuka lembaran kulit kambing itu. Dan disana, didapatinya sebaris kalimat aneh yang berbunyi;”Alaa bidzikrillaahi tathma-innul quluub....” Sejenak dia berpikir, apa arti kalimat itu. Oh, dia teringat masa kecil dulu, ketika gurunya bercerita tentang rahasia itu. Perlahan-lahan dia teringat pula bahwa kalimat itu berarti, bahwa:’hanya ada satu cara untuk menjadikan hati kita tenang, yaitu; dengan mengingat Tuhan’.
Orang-orang yang senantiasa mengingat bahwa mereka mempunyai Tuhan tempat bersandar; dijamin akan merasa tenang dihatinya. Betapa tidak? Didunia ini ada begitu banyak hal yang diluar jangkauan kemampuan manusia. Sehingga, mengandalkan kemampuan diri sendiri saja seringkali tidak cukup. Lagipula, masalah kita bisa datang silih berganti. Saat kita terbebas dari suatu masalah, masalah lain serta merta menggantikan.
Ketika teringat kepada Tuhan, kita kembali disadarkan bahwa tidak ada kekuatan yang melebihi kekuatan Tuhan. Sehingga, saat kita meminta kepadaNya untuk diberi kekuatan, maka kita mendapatkan kekuatan dari sang pemilik kekuatan itu sendiri. Itu membuat kita memiliki kekuatan untuk terus menjalani hidup. Tidak peduli sesulit apapun dia mendera kita.
Selain itu, kita juga kembali disadarkan bahwa Tuhan itu maha adil. Dia tidak mungkin menghukum orang-orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, tidak mungkin Dia membiarkan orang-orang yang berbuat jahat, menindas sesama manusia, merampas hak orang lain, dan bertindak sewenang-wenang. Sebab, tidak ada satu mahlukpun yang bisa terbebas dari pengawasanNya. Jadi, disaat kita harus melakukan tindakan-tindakan yang baik, kita yakin bahwa Tuhan mendukung kita dibelakang. Namun, ketika terbersit dihati kita untuk melakukan sesuatu yang kurang baik. Atau merugikan orang lain. Atau mengambil hak orang lain, kita teringat bahwa Tuhan menyaksikan. Mudah-mudahan kita ditunjukkan kepada jalan yang lurus lagi.
Mengingat Tuhan, berarti menjadikan Tuhan sebagai backing kita. Jika kita membayar orang-orang berpengaruh untuk menjadi backing kita, rasanya hati kok tenang sekali ya? Apalagi jika yang menjadi backing adalah sang maha pemilik kekuatan dan kekuasaan mutlak. Oleh karena itu selain mendapatkan ketenangan hati, orang-orang yang selalu mengingat Tuhan juga bisa menasihati dirinya sendiri dengan mengatakan; “Cukuplah Tuhan sebagai pelindungku”.
Jadi, untuk terbebas dari kegelisahan hati, kita bukan harus bergantung kepada obat-obatan. Melainkan semakin banyak mengingat Tuhan. Karena ”Alaa bidzikrillaahi tathma-innul quluub....”. Hanya dengan mengingat Tuhan, hati kita menjadi tenang. Bayangkan. Jika setiap hari kita bisa mengingat Tuhan. Maka setiap hari. Hati kita. Menjadi tenang.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kesulitan mungkin sengaja ditimpakan Tuhan kepada kita, supaya kita lebih mudah untuk mengingatNya.
Hari Baru!
Teman-teman.
Dijaman ini, begitu banyak hal yang bisa menjadikan hati kita gelisah. Kenaikan gaji yang nyaris habis dikikis inflasi. Harga sayur-mayur yang menguras uang dapur. Uang sekolah anak-anak yang kadang menyesakkan. Juga sang gadis pujaan hati yang tidak kunjung menerima cinta kita. Kerena kegelisahan itu, kita menjadi sulit tidur. Dari sulit tidur, lalu kita dihinggapi depresi. Kemudian berkembang menjadi stress berkepanjangan. Untuk mengobatinya; kita meminum obat tidur ditambah anti-depresan dan anti-ansietas. Memang, banyak orang yang tertolong dengan obat-obatan semacam itu. Tetapi, dalam jangka panjang mereka harus menaikkan dosis untuk menghasilkan efek yang sama. Sehingga, akhirnya malah menjadi ketagihan. Adakah alternatif lain selain obat-obatan semacam itu?
Dijaman dahulu kala, obat-obatan seperti itu belum ada. Begitu pula dengan lembaga pelatihan yang menyajikan topik ‘Stress Management’. Sehingga, orang-orang pada masa itu harus mencari jalan keluar lain, seperti yang dikisahkan dalam sebuah dongeng. Dongeng tentang seorang lelaki yang sedang dihinggapi oleh kegelisahan hati. Dia mendatangi seorang bijak ditengah gurun pasir yang bernama bukit Shofa. Lalu bertanya;”Tuan, apa rahasianya sehingga Tuan begitu tentram dalam menghadapi hidup yang serba sulit ini?”
Orang bijak itu berkata;”Aku tahu sebuah rahasia,” katanya, “tapi aku tidak bisa mengatakannya kepadamu,” lanjutnya.
Lelaki itu menahan kecewa sambil berkata:”jika Tuan tidak mengatakannya, bagaimana saya mengetahuinya?”
“Engkau bisa membacanya,” kata sang bijak, seraya mengarahkan telunjuknya kesebuah gundukan pasir dibukit Marwa. “Disana,” lanjut beliau. “Ada selembar kulit kambing yang menyimpan rahasia itu. Raihlah kulit kambing itu, dan bacalah apa yang tertulis padanya.” Katanya. “Jika engkau bisa mengamalkannya, maka hatimu akan terbebas dari rasa gundah dan gelisah.” Lalu, orang bijak itu beranjak pergi.
Seketika itu juga, sang lelaki berlari ke bukit Marwa. Setelah mencari-cari diseluruh penjuru bukit itu, akhirnya dia berhasil menemukan kulit kambing yang diceritakan oleh sang bijak tadi. Dia bergegas membuka lembaran kulit kambing itu. Dan disana, didapatinya sebaris kalimat aneh yang berbunyi;”Alaa bidzikrillaahi tathma-innul quluub....” Sejenak dia berpikir, apa arti kalimat itu. Oh, dia teringat masa kecil dulu, ketika gurunya bercerita tentang rahasia itu. Perlahan-lahan dia teringat pula bahwa kalimat itu berarti, bahwa:’hanya ada satu cara untuk menjadikan hati kita tenang, yaitu; dengan mengingat Tuhan’.
Orang-orang yang senantiasa mengingat bahwa mereka mempunyai Tuhan tempat bersandar; dijamin akan merasa tenang dihatinya. Betapa tidak? Didunia ini ada begitu banyak hal yang diluar jangkauan kemampuan manusia. Sehingga, mengandalkan kemampuan diri sendiri saja seringkali tidak cukup. Lagipula, masalah kita bisa datang silih berganti. Saat kita terbebas dari suatu masalah, masalah lain serta merta menggantikan.
Ketika teringat kepada Tuhan, kita kembali disadarkan bahwa tidak ada kekuatan yang melebihi kekuatan Tuhan. Sehingga, saat kita meminta kepadaNya untuk diberi kekuatan, maka kita mendapatkan kekuatan dari sang pemilik kekuatan itu sendiri. Itu membuat kita memiliki kekuatan untuk terus menjalani hidup. Tidak peduli sesulit apapun dia mendera kita.
Selain itu, kita juga kembali disadarkan bahwa Tuhan itu maha adil. Dia tidak mungkin menghukum orang-orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, tidak mungkin Dia membiarkan orang-orang yang berbuat jahat, menindas sesama manusia, merampas hak orang lain, dan bertindak sewenang-wenang. Sebab, tidak ada satu mahlukpun yang bisa terbebas dari pengawasanNya. Jadi, disaat kita harus melakukan tindakan-tindakan yang baik, kita yakin bahwa Tuhan mendukung kita dibelakang. Namun, ketika terbersit dihati kita untuk melakukan sesuatu yang kurang baik. Atau merugikan orang lain. Atau mengambil hak orang lain, kita teringat bahwa Tuhan menyaksikan. Mudah-mudahan kita ditunjukkan kepada jalan yang lurus lagi.
Mengingat Tuhan, berarti menjadikan Tuhan sebagai backing kita. Jika kita membayar orang-orang berpengaruh untuk menjadi backing kita, rasanya hati kok tenang sekali ya? Apalagi jika yang menjadi backing adalah sang maha pemilik kekuatan dan kekuasaan mutlak. Oleh karena itu selain mendapatkan ketenangan hati, orang-orang yang selalu mengingat Tuhan juga bisa menasihati dirinya sendiri dengan mengatakan; “Cukuplah Tuhan sebagai pelindungku”.
Jadi, untuk terbebas dari kegelisahan hati, kita bukan harus bergantung kepada obat-obatan. Melainkan semakin banyak mengingat Tuhan. Karena ”Alaa bidzikrillaahi tathma-innul quluub....”. Hanya dengan mengingat Tuhan, hati kita menjadi tenang. Bayangkan. Jika setiap hari kita bisa mengingat Tuhan. Maka setiap hari. Hati kita. Menjadi tenang.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kesulitan mungkin sengaja ditimpakan Tuhan kepada kita, supaya kita lebih mudah untuk mengingatNya.
Sabtu, 30 Agustus 2008
Menjadi Manusia Yang Lebih Baik Dari Hari Kemarin.
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Ada sebuah pertanyaan yang agak bodoh. Jika orang ditanya; “Mau pilih untung atau rugi?” Pastilah dia memilih untung. Memangnya siapa diantara kita yang mau rugi? Apalagi kalau ditanya; “Kamu mau bangkrut atau tidak?” Hah! Rugi saja tidak mau, apalagi kalau sampai bangkrut. Ya jelas tidaklah. Tapi, tunggu dulu. Kira-kira, mengapa ada orang yang begitu dungunya hingga bersusah payah menyampaikan pertanyaan pilon itu? Ternyata pertanyaan itu memang layak diajukan kepada kita. Karena, meskipun secara konsepsi kita tidak ingin rugi, namun perilaku kita sehari-hari menunjukkan bahwa kita sedang menuju kepada kerugian. Anda yang merasa tidak pernah rugi dalam berbisnis mungkin menyangkalnya. Namun, benarkah demikian?
Jaman dahulu kala, ada seorang lelaki yang dijuluki sebagai ‘Al-Amien’. Artinya, orang yang terpercaya. Dikemudian hari, Al-Amien ini disebut-sebut sebagai Sang Utusan. Pada suatu hari, beliau melintasi sebuah kota. Kepada orang-orang dikota beliau bertanya; “apakah kalian tahu apa artinya untung, rugi, dan bangkrut?” Sungguh, itu pertanyaan gampang. Sehingga setiap orang bisa menjawabnya dengan mudah. Namun, tak satupun dari jawaban itu yang memuaskan sang utusan. Lalu dia berkata “Orang-orang yang beruntung adalah mereka yang dihari ini, lebih baik dari hari kemarin. Mereka yang tidak lebih baik dari hari kemarin, adalah orang-orang yang merugi. Sedangkan jika dihari ini dirinya lebih buruk dari hari kemarin, maka mereka adalah orang-orang yang bangkrut.”
Jadi untuk menilai apakah kita untung, rugi atau bangkrut caranya sederhana, yaitu; membandingkan hari ini dengan hari kemarin sebagai acuan. Jika kita bisa menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka kita sungguh menjadi orang yang beruntung itu. Namun, seandainya kita hanya bisa menjalani hari ini dengan nilai yang setara dengan hari kemarin, maka sesungguhnya kita ini merugi. Apalagi seandainya dihari ini, perilaku kita, sikap kita, cara berpikir kita lebih buruk dari hari kemarin. Maka, kita masuk kedalam kelompok orang-orang yang bangkrut.
Kita cenderung menggunakan jumlah uang, harta kekayaan, dan kesuksesan dalam karir untuk mengukur untung dan rugi. Hari ini, kita diajak untuk melihat untung dan rugi dengan perspektif lain. Dengan menggunakan konsep ‘pertumbuhan’. Yaitu, konsep untuk bertumbuh. Terus bertumbuh. Dan terus bertumbuh dari hari kemarin, menuju ke hari ini, dan melanjutkannya ke hari esok. Konsep ini, tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang sedang membangun kesuksesan non-material belaka. Anda yang tengah berfokus kepada kesuksesan material juga bisa menggunakannya sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja kapital anda. Jika anda mendapatkan seribu rupiah kemarin, anda mesti mendapatkan lebih dari seribu hari ini. Jika tidak, maka artinya anda rugi, atau malah bangkrut. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, uang seribu rupiah hari ini nilainya lebih rendah dari seribu rupiah kemarin sebagai konsekuensi dari inflasi. Jadi, hikmah yang diajarkan seribu limaratus tahun lalu ini sungguh sangat relevan dihari ini.
Tapi, memang benar bahwa untuk sesaat kita perlu keluar dari alam materialistik menuju kepada dimensi non-materialistik. Toh, tubuh kita terdiri dari dua bagian penting; fisik dan non-fisik. Komponen fisik dibangun oleh unsur-unsur material. Sedangkan komponen non-fisik disusun oleh unsur-unsur non-material. Oleh karenanya, untuk menjadikan diri kita utuh; kita harus bersedia menembus hal-hal non-material itu.
Dalam perspektif non-fisik, konsep ini mengisyaratkan dua aspek penting. Aspek pertama berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan atau keahlian. Pendek kata, kita ditantang untuk memastikan bahwa pengetahuan kita hari ini lebih banyak atau lebih baik dari hari kemarin. Maknanya? Kita mesti benar-benar menerapkan apa yang biasa kita sebut sebagai ‘long life learning process’. Ibu saya yang tidak berbahasa Inggris menasihatkan;‘Ulah liren diajar’. Artinya, ‘jangan pernah berhenti belajar’. Dan itu betul. Sebab, jika kita berhenti belajar, maka pengetahuan kita dihari ini tidak lebih baik dari hari kemarin. Jika demikian, kita tidak termasuk orang yang beruntung.
Aspek kedua berhubungan dengan perilaku, sikap serta tindak-tanduk kita. Aspek ini bisa menjadi lebih penting bobotnya dari yang pertama. Karena, kita sudah tahu bahwa sikap bisa berarti segala-galanya. Orang yang sikapnya buruk, kemampuan belajarnya juga buruk. Sehingga dengan sikap buruk, kita tidak bisa mengadopsi keterampilan dan keahlian yang lebih baik. Seorang karyawan yang bersikap buruk ditempat kerja, tidak akan bersedia untuk mempelajari hal baru. Menangani tugas-tugas tambahan. Atau melatih diri untuk mengasah keahlian. Seorang karyawan yang berpikiran dan berprasangka buruk pun demikian. Apapapun yang dilakukan atasannya, akan dicurigai dan disikapi dengan buruk.
Sebaliknya, orang-orang yang bersikap baik. Berpikir positif. Membuka diri terhadap kritik. Pastilah akan mendapatkan peningkatan bermakna hampir dalam segala hal. Bahkan, sekalipun memang benar bahwa atasannya memperlakukan dia secara tidak adil. Memangnya, kita bisa selalu bersikap positif untuk setiap tindakan buruk yang dilakukan oleh orang lain kepada kita? Memangnya, kita selalu bisa bersikap positif untuk peristiwa-peristiwa menyakitkan yang menimpa kita? Tentu saja bisa. Mengapa? Karena, kita semua mengetahui dan meyakini bahwa dalam setiap peristiwa; ada sisi baik dan ada sisi buruk. Bahkan, kejadian yang baikpun ada sisi buruknya. Sebaliknya, peristiwa buruk selalu ada sisi baiknya. Itulah sebabnya kita mempunyai istilah; ‘dua sisi mata uang’. Mana ada uang yang hanya memiliki satu sisi? Sikap yang baik akan membantu kita untuk selalu menemukan sisi baik dari hal apapun yang kita hadapi.
Sampai disini, jelas sudah bahwa sesungguhnya, ‘Al-Amien’ mengajari kita tentang sebuah prinsip sederhana, yaitu; “manjadi manusia yang lebih baik, dari hari kehari.” Bisakah anda membayangkan seandainya kita menjadi lebih baik setiap hari? Tentu pencapaian kita akan semakin baik dari hari ke hari juga.
Tapi tunggu dulu. Pelajaran kita belum selesai. Sebab, kedua aspek non material yang baru saja kita bahas itu baru menyentuh alam duniawi. Bagi kita yang meyakini bahwa selain dunia ini juga ada alam akhirat; tentu tidak cukup jika hanya mementingkan dan memperjuangkan urusan dunia saja. Urusan akhirat sama pentingnya. Sehingga kalimat itu selengkapnya berbunyi; ‘menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari dimata Tuhan’. Semakin hari, hati kita semakin bersih. Niat kita semakin tulus. Dan kepatuhan kita kepada kehendak Tuhan menjadi semakin tinggi. Bisakah anda membayangkan seandainya dimata Tuhan kita bisa menjadi hamba yang lebih baik setiap hari? Tentu nilai kemanusiaan kita akan semakin meningkat dari hari ke hari juga.
Dan, jika kita ingat doa yang paling sering kita panjatkan. Doa yang berbunyi; “Tuhan, berikanlah kepadaku kebaikan didunia, dan kebaikan diakhirat.” Tentu kita juga akan sadar bahwa menjadi lebih baik dalam urusan dunia saja, tidaklah cukup. Mungkin kita untung secara duniawi. Pengetahuan kita semakin bertambah. Keterampilan kita semakin tinggi. Penghasilan kita semakin banyak. Rumah kontrakan diganti menjadi hunian cicilan. Sepeda motor beroda dua berubah menjadi mobil. Dari naik angkot menjadi menyetir mobil sendiri. Tapi, kalau nilai akhirat kita tidak menjadi lebih baik apa artinya? Apalagi jika semua peningkatan dan kenikmatan hidup itu semakin menjauhkan diri kita dari aturan Tuhan. Kita untung untuk ukuran dunia, tapi merugi berdasar kriteria akhirat.
Ini sungguh sesuatu yang sangat menakutkan. Menakutkan, karena hidup didunia ini hanya tinggal beberapa saat. Belum tentu umur kita sampai ke tahun depan. Betapapun berhasilnya kita secara duniawi, kenikmatannya hanya bisa dirasakan sementara. Sedangkan akhirat? Dia abadi. Selamanya. Menakutkan jika hanya sempat mengecap nikmat didunia sesaat. Namun, tidak dapat mengecap nikmat akhirat.
Jika nikmat dunia kita bertambah, namun cara kita bertingkah polah semakin buruk; kita benar-benar bangkrut. Hari ini, sudah Tuhan anugerahkan nikmat yang lebih banyak dari hari kemarin. Tapi, hari ini; kita terlenakan dengan kenikmatan itu. Sampai-sampai kita berpikir; ‘kapan lagi menikmatinya’. Lalu kita mengumbar semua keinginan. Oh, bagaimana seandainya Tuhan menjadi marah. Marah karena Dia sudah memberi kita nikmat lebih banyak. Namun, bukannya kita menjadi semakin mendekat. Sebaliknya, kita malah menjadi lebih berani menghujat hukum-hukumNya.
Rugi. Bukanlah tentang berapa uang kita yang hilang. Bangkrut. Bukan tentang bisnis yang tumbang. Melainkan tentang gagalnya diri kita untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah. Manusia. Yang beruntung.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Hanya karena merasa diri lebih baik dari orang lain, tidak berarti kita boleh berhenti disini. Karena, kesempurnaan itu tiada lain adalah sebuah proses perbaikan diri yang tidak pernah berhenti.
Hari Baru!
Teman-teman.
Ada sebuah pertanyaan yang agak bodoh. Jika orang ditanya; “Mau pilih untung atau rugi?” Pastilah dia memilih untung. Memangnya siapa diantara kita yang mau rugi? Apalagi kalau ditanya; “Kamu mau bangkrut atau tidak?” Hah! Rugi saja tidak mau, apalagi kalau sampai bangkrut. Ya jelas tidaklah. Tapi, tunggu dulu. Kira-kira, mengapa ada orang yang begitu dungunya hingga bersusah payah menyampaikan pertanyaan pilon itu? Ternyata pertanyaan itu memang layak diajukan kepada kita. Karena, meskipun secara konsepsi kita tidak ingin rugi, namun perilaku kita sehari-hari menunjukkan bahwa kita sedang menuju kepada kerugian. Anda yang merasa tidak pernah rugi dalam berbisnis mungkin menyangkalnya. Namun, benarkah demikian?
Jaman dahulu kala, ada seorang lelaki yang dijuluki sebagai ‘Al-Amien’. Artinya, orang yang terpercaya. Dikemudian hari, Al-Amien ini disebut-sebut sebagai Sang Utusan. Pada suatu hari, beliau melintasi sebuah kota. Kepada orang-orang dikota beliau bertanya; “apakah kalian tahu apa artinya untung, rugi, dan bangkrut?” Sungguh, itu pertanyaan gampang. Sehingga setiap orang bisa menjawabnya dengan mudah. Namun, tak satupun dari jawaban itu yang memuaskan sang utusan. Lalu dia berkata “Orang-orang yang beruntung adalah mereka yang dihari ini, lebih baik dari hari kemarin. Mereka yang tidak lebih baik dari hari kemarin, adalah orang-orang yang merugi. Sedangkan jika dihari ini dirinya lebih buruk dari hari kemarin, maka mereka adalah orang-orang yang bangkrut.”
Jadi untuk menilai apakah kita untung, rugi atau bangkrut caranya sederhana, yaitu; membandingkan hari ini dengan hari kemarin sebagai acuan. Jika kita bisa menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka kita sungguh menjadi orang yang beruntung itu. Namun, seandainya kita hanya bisa menjalani hari ini dengan nilai yang setara dengan hari kemarin, maka sesungguhnya kita ini merugi. Apalagi seandainya dihari ini, perilaku kita, sikap kita, cara berpikir kita lebih buruk dari hari kemarin. Maka, kita masuk kedalam kelompok orang-orang yang bangkrut.
Kita cenderung menggunakan jumlah uang, harta kekayaan, dan kesuksesan dalam karir untuk mengukur untung dan rugi. Hari ini, kita diajak untuk melihat untung dan rugi dengan perspektif lain. Dengan menggunakan konsep ‘pertumbuhan’. Yaitu, konsep untuk bertumbuh. Terus bertumbuh. Dan terus bertumbuh dari hari kemarin, menuju ke hari ini, dan melanjutkannya ke hari esok. Konsep ini, tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang sedang membangun kesuksesan non-material belaka. Anda yang tengah berfokus kepada kesuksesan material juga bisa menggunakannya sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja kapital anda. Jika anda mendapatkan seribu rupiah kemarin, anda mesti mendapatkan lebih dari seribu hari ini. Jika tidak, maka artinya anda rugi, atau malah bangkrut. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, uang seribu rupiah hari ini nilainya lebih rendah dari seribu rupiah kemarin sebagai konsekuensi dari inflasi. Jadi, hikmah yang diajarkan seribu limaratus tahun lalu ini sungguh sangat relevan dihari ini.
Tapi, memang benar bahwa untuk sesaat kita perlu keluar dari alam materialistik menuju kepada dimensi non-materialistik. Toh, tubuh kita terdiri dari dua bagian penting; fisik dan non-fisik. Komponen fisik dibangun oleh unsur-unsur material. Sedangkan komponen non-fisik disusun oleh unsur-unsur non-material. Oleh karenanya, untuk menjadikan diri kita utuh; kita harus bersedia menembus hal-hal non-material itu.
Dalam perspektif non-fisik, konsep ini mengisyaratkan dua aspek penting. Aspek pertama berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan atau keahlian. Pendek kata, kita ditantang untuk memastikan bahwa pengetahuan kita hari ini lebih banyak atau lebih baik dari hari kemarin. Maknanya? Kita mesti benar-benar menerapkan apa yang biasa kita sebut sebagai ‘long life learning process’. Ibu saya yang tidak berbahasa Inggris menasihatkan;‘Ulah liren diajar’. Artinya, ‘jangan pernah berhenti belajar’. Dan itu betul. Sebab, jika kita berhenti belajar, maka pengetahuan kita dihari ini tidak lebih baik dari hari kemarin. Jika demikian, kita tidak termasuk orang yang beruntung.
Aspek kedua berhubungan dengan perilaku, sikap serta tindak-tanduk kita. Aspek ini bisa menjadi lebih penting bobotnya dari yang pertama. Karena, kita sudah tahu bahwa sikap bisa berarti segala-galanya. Orang yang sikapnya buruk, kemampuan belajarnya juga buruk. Sehingga dengan sikap buruk, kita tidak bisa mengadopsi keterampilan dan keahlian yang lebih baik. Seorang karyawan yang bersikap buruk ditempat kerja, tidak akan bersedia untuk mempelajari hal baru. Menangani tugas-tugas tambahan. Atau melatih diri untuk mengasah keahlian. Seorang karyawan yang berpikiran dan berprasangka buruk pun demikian. Apapapun yang dilakukan atasannya, akan dicurigai dan disikapi dengan buruk.
Sebaliknya, orang-orang yang bersikap baik. Berpikir positif. Membuka diri terhadap kritik. Pastilah akan mendapatkan peningkatan bermakna hampir dalam segala hal. Bahkan, sekalipun memang benar bahwa atasannya memperlakukan dia secara tidak adil. Memangnya, kita bisa selalu bersikap positif untuk setiap tindakan buruk yang dilakukan oleh orang lain kepada kita? Memangnya, kita selalu bisa bersikap positif untuk peristiwa-peristiwa menyakitkan yang menimpa kita? Tentu saja bisa. Mengapa? Karena, kita semua mengetahui dan meyakini bahwa dalam setiap peristiwa; ada sisi baik dan ada sisi buruk. Bahkan, kejadian yang baikpun ada sisi buruknya. Sebaliknya, peristiwa buruk selalu ada sisi baiknya. Itulah sebabnya kita mempunyai istilah; ‘dua sisi mata uang’. Mana ada uang yang hanya memiliki satu sisi? Sikap yang baik akan membantu kita untuk selalu menemukan sisi baik dari hal apapun yang kita hadapi.
Sampai disini, jelas sudah bahwa sesungguhnya, ‘Al-Amien’ mengajari kita tentang sebuah prinsip sederhana, yaitu; “manjadi manusia yang lebih baik, dari hari kehari.” Bisakah anda membayangkan seandainya kita menjadi lebih baik setiap hari? Tentu pencapaian kita akan semakin baik dari hari ke hari juga.
Tapi tunggu dulu. Pelajaran kita belum selesai. Sebab, kedua aspek non material yang baru saja kita bahas itu baru menyentuh alam duniawi. Bagi kita yang meyakini bahwa selain dunia ini juga ada alam akhirat; tentu tidak cukup jika hanya mementingkan dan memperjuangkan urusan dunia saja. Urusan akhirat sama pentingnya. Sehingga kalimat itu selengkapnya berbunyi; ‘menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari dimata Tuhan’. Semakin hari, hati kita semakin bersih. Niat kita semakin tulus. Dan kepatuhan kita kepada kehendak Tuhan menjadi semakin tinggi. Bisakah anda membayangkan seandainya dimata Tuhan kita bisa menjadi hamba yang lebih baik setiap hari? Tentu nilai kemanusiaan kita akan semakin meningkat dari hari ke hari juga.
Dan, jika kita ingat doa yang paling sering kita panjatkan. Doa yang berbunyi; “Tuhan, berikanlah kepadaku kebaikan didunia, dan kebaikan diakhirat.” Tentu kita juga akan sadar bahwa menjadi lebih baik dalam urusan dunia saja, tidaklah cukup. Mungkin kita untung secara duniawi. Pengetahuan kita semakin bertambah. Keterampilan kita semakin tinggi. Penghasilan kita semakin banyak. Rumah kontrakan diganti menjadi hunian cicilan. Sepeda motor beroda dua berubah menjadi mobil. Dari naik angkot menjadi menyetir mobil sendiri. Tapi, kalau nilai akhirat kita tidak menjadi lebih baik apa artinya? Apalagi jika semua peningkatan dan kenikmatan hidup itu semakin menjauhkan diri kita dari aturan Tuhan. Kita untung untuk ukuran dunia, tapi merugi berdasar kriteria akhirat.
Ini sungguh sesuatu yang sangat menakutkan. Menakutkan, karena hidup didunia ini hanya tinggal beberapa saat. Belum tentu umur kita sampai ke tahun depan. Betapapun berhasilnya kita secara duniawi, kenikmatannya hanya bisa dirasakan sementara. Sedangkan akhirat? Dia abadi. Selamanya. Menakutkan jika hanya sempat mengecap nikmat didunia sesaat. Namun, tidak dapat mengecap nikmat akhirat.
Jika nikmat dunia kita bertambah, namun cara kita bertingkah polah semakin buruk; kita benar-benar bangkrut. Hari ini, sudah Tuhan anugerahkan nikmat yang lebih banyak dari hari kemarin. Tapi, hari ini; kita terlenakan dengan kenikmatan itu. Sampai-sampai kita berpikir; ‘kapan lagi menikmatinya’. Lalu kita mengumbar semua keinginan. Oh, bagaimana seandainya Tuhan menjadi marah. Marah karena Dia sudah memberi kita nikmat lebih banyak. Namun, bukannya kita menjadi semakin mendekat. Sebaliknya, kita malah menjadi lebih berani menghujat hukum-hukumNya.
Rugi. Bukanlah tentang berapa uang kita yang hilang. Bangkrut. Bukan tentang bisnis yang tumbang. Melainkan tentang gagalnya diri kita untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah. Manusia. Yang beruntung.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Hanya karena merasa diri lebih baik dari orang lain, tidak berarti kita boleh berhenti disini. Karena, kesempurnaan itu tiada lain adalah sebuah proses perbaikan diri yang tidak pernah berhenti.
Minggu, 24 Agustus 2008
Simply A Terimakasih
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Anda tentu masih ingat tentang frase ‘tidak tahu terimakasih’. Sebuah sebutan yang biasa kita gunakan untuk menggambarkan mereka yang melupakan orang-orang yang telah berjasa kepadanya. Tentu, ini bukan karena mereka tidak tahu bahwa seharusnya mereka berterimakasih, tapi; egonya terlampau besar untuk bisa mengakui hal itu. Lagi pula, mengapa harus berterimakasih jika hal itu justru akan menunjukkan seolah-olah kerberhasilan yang selama ini kita raih itu bukan dari hasil usaha kita sendiri. Padahal, sesungguhnya yang namanya ‘hasil usaha sendiri’ itu tidak ada. Hanya gara-gara anda membeli sendiri sayur ke pasar. Lalu mencuci. Dan kemudian memasaknya hingga matang. Anda tidak bisa serta merta menganggap bahwa anda menyediakan makanan itu sendiri. Memangnya, siapa yang bersedia belumur lumpur untuk menanam benih sayuran itu ketika masih berupa biji-bijian. Siapa yang bersedia membebani pundaknya membawa sayuran itu dari tengah sawah menuju kepasar didekat rumah? Dan siapa yang sudah memeras keringat memasangkan saluran air untuk mencucinya dipancuran keran air rumah kita?
Seorang sahabat bercerita tentang temannya dimasa lalu. Disaat segalanya masih serba alakardarnya, konon dialah yang memberikan bantuan ini dan itu kepada sang sahabat. Bahkan, ketika sahabatnya tidak memiliki sedikitpun makanan untuk disantap; dialah yang bersedia berbagi bekal untuk dinikmati bersama-sama. Ketika sahabatnya tengah sakit, dialah yang membawanya kedokter dan membelikan obat. Bertahun-tahun kemudian, sahabatnya sudah menjadi orang sukses. Jauh lebih sukses dari dirinya. Ketika baru-baru ini mereka kembali saling jumpa, segalanya sudah sangat berbeda. Kejadiannya agak kurang menyenangkan sehingga dia berkata dalam hatinya;’haruskah aku mengingatkannya tentang kebaikan-kebaikanku dimasa lalu?” Saya bertanya; ‘untuk apa?’ Dia berkata;”Untuk mengingatkan bahwa dia tidak akan pernah jadi orang kalau dulu tidak ada yang menolongnya!” Matanya melotot; “Dan itu adalah AKU!” lanjutnya.
Semakin kita menyadari bahwa kita ini tidak bisa hidup sendiri, selayaknya semakin kita sadari bahwa diluar diri kita, begitu banyak peran yang dimainkan oleh orang lain. Ada peran orang lain dalam sukses kita. Ada peran orang lain dalam sehat kita. Ada peran orang lain, dalam segala kenikmatan hidup kita. Tapi, kadang kita lupa akan semuanya itu. Kita masih suka mengira bahwa meskipun kita ini mahluk sosial. Mahluk yang hanya bisa meraih kesempurnaan hidup jika dan hanya jika berinteraksi dan saling mengisi dengan orang lain. Namun, kita suka berkata;”ini adalah hasil kerja keras dan jerih payah gue!” Kita lupa, bahwa ada kontribusi orang lain ketika ’sang gue’ bekerja keras dan berjerih payah. Seorang atasan yang sukses, lupa bahwa kesuksesannya sangat ditentukan oleh kontribusi para bawahan. Seorang bawahan yang sukses, berkata; ”Lihatlah, tanpa atasan gue, gue bisa berhasil juga.” Kita, kadang-kadang mengingkari kemahluksosialan kita sendiri.
Kata terimakasih memiliki dimensi vertical, juga horizontal. Secara horizontal, dia merupakan mantra yang paling ampuh untuk menarik energi positif mendekat kearah kita. Ketika kita mengucapkan terimakasih kepada orang yang telah berbuat kebaikan kepada kita misalnya; maka energi yang keluar dari kata terimakasih itu memberikan vibrasi positif yang membangkitkan kenikmatan disekujur tubuh orang yang ditujunya. Tepat disaat mendengar ucapan terimakasih dari kita; dia merasa bahagia. Dan perasaan bahagia itu menghubungkannya dengan penemuan bahwa; ternyata berbuat baik kepada orang lain itu rasanya membahagiakan.
Itulah sebabnya mengapa orang yang telah berbuat kebaikan secara tulus. Lalu, diberi ucapan terimakasih secara tulus pula cenderung untuk melakukan kebaikan yang lebih banyak. Dan hal ini merupakan satu pertanda lain bahwa kebaikan itu menimbulkan ketagihan. Artinya, orang-orang yang sudah merasakan betapa indahnya berbuat kebajikan cenderung untuk mencari keindahan lain dengan cara berbuat kebajikan lain. Semakin indah. Semakin nikmat. Semakin bersemangat. Sehingga, kebaikan terus meluncur dari jemari tangannya. Laksana mata air yang tidak pernah kering.
Jika kita ingat bahwa Tuhan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik, maka pastilah kita ingat pula bahwa semakin banyak kita berbuat baik, semakin banyak pula pahala yang Tuhan berikan. Jadi, jika kita semakin bersemangat untuk berbuat kebaikan karena orang berterimakasih pada kita, sesungguhnya yang diuntungkan adalah kita. Sebab, dengan ucapan terimakasih orang itulah kita akhirnya berbuat kebaikan lain. Dan mendapatkan pahala lain dari Tuhan. Jadi, jika kita yang untung gara-gara termotivasi oleh orang yang mengucap terimakasih kepada kita; siapa sesungguhnya yang paling berjasa diantara kita? Siapa yang paling pantas untuk berucap terimakasih? Mereka yang yang kita tolong? Ataukah kita yang menjadi semakin terdorong? Jangan-jangan, kitalah yang harus berterimakasih itu….
Secara vertical, kata terimakasih memiliki makna yang khusus pula. Lagipula, bukankah memang sudah sepantasnya kita berterimakasih kepada Tuhan? Sebab tidak ada satupun peristiwa yang terkait dengan kita tanpa campur tangan Tuhan. Telinga kita, mata kita, tangan kita, jiwa, bahkan hidup kita seluruhnya adalah bukti nyata bahwa terimakasih kita kepada Tuhan bisa menjadi tiada berbatas. Makanya, pantaslah jika Dia berkata: “Jika engkau menghitung-hitung nikmatku, maka pastilah engkau tidak bisa menghitungnya.” Sampai disini, kalimat itu masih tidak bisa dibantah. Sebab, memang nikmat Tuhan itu begitu melimpah. Sehingga kita tidak mungkin menghitung dan menginventarisirnya satu demi satu. Dan konon, Tuhan juga mengatakan bahwa; “Sesungguhnya, jika kamu bersyukur; maka Aku akan menambahkan kenikmatan yang disyukuri itu berkali-kali lipat.....”
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kadang kita mengharapkan orang lain mengucapkan terimakasih kepada kebaikan-kebaikan yang kita lakukan untuk mereka. Namun, kita sering lupa bahwa kitalah yang sesungguhnya harus berterimakasih atas kesediaan mereka menerima apa yang kita lakukan untuk mereka.
Hari Baru!
Teman-teman.
Anda tentu masih ingat tentang frase ‘tidak tahu terimakasih’. Sebuah sebutan yang biasa kita gunakan untuk menggambarkan mereka yang melupakan orang-orang yang telah berjasa kepadanya. Tentu, ini bukan karena mereka tidak tahu bahwa seharusnya mereka berterimakasih, tapi; egonya terlampau besar untuk bisa mengakui hal itu. Lagi pula, mengapa harus berterimakasih jika hal itu justru akan menunjukkan seolah-olah kerberhasilan yang selama ini kita raih itu bukan dari hasil usaha kita sendiri. Padahal, sesungguhnya yang namanya ‘hasil usaha sendiri’ itu tidak ada. Hanya gara-gara anda membeli sendiri sayur ke pasar. Lalu mencuci. Dan kemudian memasaknya hingga matang. Anda tidak bisa serta merta menganggap bahwa anda menyediakan makanan itu sendiri. Memangnya, siapa yang bersedia belumur lumpur untuk menanam benih sayuran itu ketika masih berupa biji-bijian. Siapa yang bersedia membebani pundaknya membawa sayuran itu dari tengah sawah menuju kepasar didekat rumah? Dan siapa yang sudah memeras keringat memasangkan saluran air untuk mencucinya dipancuran keran air rumah kita?
Seorang sahabat bercerita tentang temannya dimasa lalu. Disaat segalanya masih serba alakardarnya, konon dialah yang memberikan bantuan ini dan itu kepada sang sahabat. Bahkan, ketika sahabatnya tidak memiliki sedikitpun makanan untuk disantap; dialah yang bersedia berbagi bekal untuk dinikmati bersama-sama. Ketika sahabatnya tengah sakit, dialah yang membawanya kedokter dan membelikan obat. Bertahun-tahun kemudian, sahabatnya sudah menjadi orang sukses. Jauh lebih sukses dari dirinya. Ketika baru-baru ini mereka kembali saling jumpa, segalanya sudah sangat berbeda. Kejadiannya agak kurang menyenangkan sehingga dia berkata dalam hatinya;’haruskah aku mengingatkannya tentang kebaikan-kebaikanku dimasa lalu?” Saya bertanya; ‘untuk apa?’ Dia berkata;”Untuk mengingatkan bahwa dia tidak akan pernah jadi orang kalau dulu tidak ada yang menolongnya!” Matanya melotot; “Dan itu adalah AKU!” lanjutnya.
Semakin kita menyadari bahwa kita ini tidak bisa hidup sendiri, selayaknya semakin kita sadari bahwa diluar diri kita, begitu banyak peran yang dimainkan oleh orang lain. Ada peran orang lain dalam sukses kita. Ada peran orang lain dalam sehat kita. Ada peran orang lain, dalam segala kenikmatan hidup kita. Tapi, kadang kita lupa akan semuanya itu. Kita masih suka mengira bahwa meskipun kita ini mahluk sosial. Mahluk yang hanya bisa meraih kesempurnaan hidup jika dan hanya jika berinteraksi dan saling mengisi dengan orang lain. Namun, kita suka berkata;”ini adalah hasil kerja keras dan jerih payah gue!” Kita lupa, bahwa ada kontribusi orang lain ketika ’sang gue’ bekerja keras dan berjerih payah. Seorang atasan yang sukses, lupa bahwa kesuksesannya sangat ditentukan oleh kontribusi para bawahan. Seorang bawahan yang sukses, berkata; ”Lihatlah, tanpa atasan gue, gue bisa berhasil juga.” Kita, kadang-kadang mengingkari kemahluksosialan kita sendiri.
Kata terimakasih memiliki dimensi vertical, juga horizontal. Secara horizontal, dia merupakan mantra yang paling ampuh untuk menarik energi positif mendekat kearah kita. Ketika kita mengucapkan terimakasih kepada orang yang telah berbuat kebaikan kepada kita misalnya; maka energi yang keluar dari kata terimakasih itu memberikan vibrasi positif yang membangkitkan kenikmatan disekujur tubuh orang yang ditujunya. Tepat disaat mendengar ucapan terimakasih dari kita; dia merasa bahagia. Dan perasaan bahagia itu menghubungkannya dengan penemuan bahwa; ternyata berbuat baik kepada orang lain itu rasanya membahagiakan.
Itulah sebabnya mengapa orang yang telah berbuat kebaikan secara tulus. Lalu, diberi ucapan terimakasih secara tulus pula cenderung untuk melakukan kebaikan yang lebih banyak. Dan hal ini merupakan satu pertanda lain bahwa kebaikan itu menimbulkan ketagihan. Artinya, orang-orang yang sudah merasakan betapa indahnya berbuat kebajikan cenderung untuk mencari keindahan lain dengan cara berbuat kebajikan lain. Semakin indah. Semakin nikmat. Semakin bersemangat. Sehingga, kebaikan terus meluncur dari jemari tangannya. Laksana mata air yang tidak pernah kering.
Jika kita ingat bahwa Tuhan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik, maka pastilah kita ingat pula bahwa semakin banyak kita berbuat baik, semakin banyak pula pahala yang Tuhan berikan. Jadi, jika kita semakin bersemangat untuk berbuat kebaikan karena orang berterimakasih pada kita, sesungguhnya yang diuntungkan adalah kita. Sebab, dengan ucapan terimakasih orang itulah kita akhirnya berbuat kebaikan lain. Dan mendapatkan pahala lain dari Tuhan. Jadi, jika kita yang untung gara-gara termotivasi oleh orang yang mengucap terimakasih kepada kita; siapa sesungguhnya yang paling berjasa diantara kita? Siapa yang paling pantas untuk berucap terimakasih? Mereka yang yang kita tolong? Ataukah kita yang menjadi semakin terdorong? Jangan-jangan, kitalah yang harus berterimakasih itu….
Secara vertical, kata terimakasih memiliki makna yang khusus pula. Lagipula, bukankah memang sudah sepantasnya kita berterimakasih kepada Tuhan? Sebab tidak ada satupun peristiwa yang terkait dengan kita tanpa campur tangan Tuhan. Telinga kita, mata kita, tangan kita, jiwa, bahkan hidup kita seluruhnya adalah bukti nyata bahwa terimakasih kita kepada Tuhan bisa menjadi tiada berbatas. Makanya, pantaslah jika Dia berkata: “Jika engkau menghitung-hitung nikmatku, maka pastilah engkau tidak bisa menghitungnya.” Sampai disini, kalimat itu masih tidak bisa dibantah. Sebab, memang nikmat Tuhan itu begitu melimpah. Sehingga kita tidak mungkin menghitung dan menginventarisirnya satu demi satu. Dan konon, Tuhan juga mengatakan bahwa; “Sesungguhnya, jika kamu bersyukur; maka Aku akan menambahkan kenikmatan yang disyukuri itu berkali-kali lipat.....”
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kadang kita mengharapkan orang lain mengucapkan terimakasih kepada kebaikan-kebaikan yang kita lakukan untuk mereka. Namun, kita sering lupa bahwa kitalah yang sesungguhnya harus berterimakasih atas kesediaan mereka menerima apa yang kita lakukan untuk mereka.
Minggu, 17 Agustus 2008
Sebagai Individu, Apakah Kita Juga Sudah Merdeka?
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang sebuah masyarakat tradisional yang beramai-ramai melakukan eksodus. Semua orang dikampung itu meninggalkan tanah kelahirannya begitu saja. Tahukah anda apa yang menyebabkan mereka melakukannya? Teka-teki itu mengarahkan dugaan para ahli arkeologi kepada kemungkinan adanya hewan buas yang mengancam keselamatan. Namun, ternyata bukan. Ada wabah penyakit yang mematikan? Bukan. Tahayul yang sangat menakutkan? Juga bukan. Lantas apa? Rupanya, mereka pergi karena sudah selama bertahun-tahun tidak turun hujan. Padahal, hujanlah satu-satunya sumber kehidupan yang menumbuhkan tetumbuhan, dan menghidupkan binatang-binatang buruan. Dengan ketiadaan hujan, tak ada lagi yang bisa menghidupi mereka. Maka, hengkanglah mereka dari tempat itu.
Sudah sejak beratus-ratus tahun lamanya sang kepala suku memimpin ritual upacara meminta hujan. Dengan diiringi nyanyian dan puji-pujian serta tari-tarian; dia memanjatkan doa. Meminta supaya sang penguasa langit bersedia menurunkan hujan. Dan penguasa bumi mau mengubah sosok hujan itu menjadi sumber kehidupan. Maka, selama ratusan tahun itu pula mereka selalu mendapatkan hujan yang diharapkan. Namun, beberapa tahun terakhir ini, ritual itu sudah tidak seampuh dulu lagi. Hujan tidak lagi kunjung tiba, meski ritual dan doa-doa itu terus dikumandangkan. Ketika sirna segala harapan, maka pilihan terakhir yang mereka bisa lakukan adalah; pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan tempat penuh kenangan. Meninggalkan segala peradaban yang pernah mereka bangun selama beratus-ratus tahun.
Bertahun-tahun kemudian, seseorang datang ke desa yang tidak lagi bertuan itu. Kemudian, dia menurunkan tongkat kayu yang digunakan untuk menyangga bungkusan bekal dipundaknya. Lalu, dia menggunakan tongkat kayu itu untuk menggali. Setelah sekian lama menggali dalam susah dan payah, akhirnya dia menemukan tanah yang basah. Wajahnya berubah menjadi cerah. Ada seberkas harap tersamar disana. Dia terus menggali. Sekarang, dia menemukan tetesan-tetasan air. Dia terus menggali. Sekarang ada sebuah lubang kecil dimana air itu memancar. Dia terus menggali. Sekarang lubang yang digalinya sudah berkembang menjadi kubangan. Dia menggali lagi. Waaah, sekarang, kubangannya telah berubah menjadi sebuah sumur!
Mungkin kita mengira bahwa orang-orang primitif itu kurang cerdas. Mereka tidak cukup pintar untuk berpikir tentang menggali sumur. Sehingga, mereka percaya bahwa ritual doa yang sudah digunakannya selama beratus-ratus tahun itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan air kehidupan. “Yah, namanya juga orang primitif,” barangkali kita menganggap demikian. Tapi, tidakkah kita ingat bahwa kita yang mengklaim diri sebagai manusia modern ini sering sekali bertindak dan bersikap layaknya manusia-manusia primitif?
“Maksud eloh?”
Maksud saya; kita sering ingat untuk berdoa, namun sering lupa untuk menggali. Kita meminta sesuatu, tapi lupa bahwa untuk mendapatkannya kita harus bersedia membayar harganya. Kita mengira bahwa semua hal yang kita inginkan dimuka bumi ini bisa didapatkan hanya dengan sekedar meminta. Padahal. Tidak. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika begitu banyak hal yang kita dambakan, tetapi tidak kunjung kita dapatkan. Kita sering merasa patah arang karenanya. Tapi, kita jarang sadar, bahwa kita harus mengimbangi permintaan kita itu dengan usaha yang pantas. Yang bisa menjadi dasar kuat agar keinginan kita itu terkabulkan.
Kepada Tuhan kita berdoa; “Tuhan, berikanlah kepadaku ini dan itu.” Tetapi, tindakan kita tidak menunjukkan bahwa kita pantas mendapatkannya. Padahal, jika kita tahu Tuhan itu maha adil, itu berarti bahwa Tuhan akan memperlakukan manusia sesuai dengan kontribusi masing-masing bagi hidupnya. Tidak mungkin yang maha adil memberi lebih banyak dan lebih berkah kepada orang-orang yang berusaha lebih sedikit.
Kepada perusahaan, kita mengajukan tuntutan:”Naikkan gajiku sepuluh persen.” Tetapi, kualitas kerja kita tahun ini tidak ada bedanya dengan yang tahun lalu. Kita tidak menaikkan kinerja kita tahun ini sebesar 10% dari tahun lalu. Padahal, jika kita tahu perusahaan itu bukan badan amal, itu berarti perusahaan hanya akan sanggup menaikkan gaji karyawan jika pendapatannya juga ada peningkatan. Tidak mungkin perusahaan yang untungnya tidak bertambah, harus menanggung beban pembayaran semakin besar.
Kepada negara, kita meminta;”Penguasa. Penguasa. Beeerilah hambaamu uuuang. Beri hamba uang…. Beri hambaaa uuuuaaaaang.” Tetapi, kesempatan yang kita miliki sehari-hari tidak digunakan untuk melakukan tindakan produktif. Kita tidak datang dengan inisiatif. Padahal, jika kita tahu mereka itu penguasa, itu berarti bahwa mereka bukan abdi rakyat. Tidak mungkin yang bukan abdi rakyat mengabdi untuk rakyat.
Kita ini mirip manusia-manusia primitif. Ingat berdoa kelangit diatas, lupa menggali ketanah dibawah. Kita sering mengawang-awang dengan angan-angan dan keinginan yang menjulang. Namun, jarang ingat bahwa kaki kita menginjak tanah dimana usaha dan kerja keras diperlukan. Mungkin, itulah sebabnya guru mengaji saya dimasa kecil berkata;”Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri benar-benar melakukan perubahan-perubahan yang diinginkannya.”
Apakah itu bararti bahwa Tuhan berlepas tangan? Tuhan telah membuat hukum yang berlaku universal. Dan, alam sudah menandatangani naskah hukum itu. Jadilah dia hukum milik alam. Kita menyebutnya hukum alam. Dengan hukum itu, alam berjanji kepada Tuhan; jika suatu benda dijatuhkah dia akan meluncur ke tanah. Jika hutan digunduli, air tidak meresap kedalam tanah. Jika lingkungan dirusak, bencana alam merangsek. Alam juga berjanji bahwa; orang yang bekerja lebih baik, mendapatkan hasil yang lebih baik. Mereka yang menggunakan systemnya secara lebih efisien, menghasilkan kinerja yang lebih memuaskan. Manusia yang menggunakan waktunya untuk hal-hal positif, memperoleh hasil positif. Menurut pendapat anda; Kepada mahluk yang menyia-nyiakan hidupnya, alam akan memberikan apa?
Dengan hukum itu, Tuhan memberi manusia begitu banyak pilihan. Kamu mau jadi orang baik, silakan. Kamu mau jadi orang buruk juga boleh. Anda memilih untuk sukses, itu bagus. Anda lebih suka menjadi manusia gagal, tak ada halang rintang. Anda ingin menjadi pemenang? Selamat berjuang. Anda memilih menjadi pecundang? Siapa yang bisa melarang? Ya, Tuhan. Ternyata, Dia memberi manusia kesempatan untuk melakukan apa saja. Belok kiri. Atau belok kanan. Putar balik. Atau terus lurus kedepan. Bukankah itu yang kita sebut sebagai kemerdekaan?
Kemerdekaan yang tidak melulu soal bule-bule yang ngacir karena tidak tahan dengan ketajaman si bambu runcing. Kemerdekaan yang tidak semata-mata peringatan setahun sekali saat tujuh belasan, seperti hari ini. Dan upacara rutin di tahun-tahun sebelumnya. Ini tentang kemerdekaan individu yang sengaja diberikan Tuhan. Kepada setiap insan. Kemerdekaan untuk menjadi diri sendiri. Kemerdekaan untuk mengeksplorasi potensi diri. Kemerdekaan untuk berlomba menjadi manusia terbaik. Kemerdekaan untuk berkontribusi. Kemerdekaan. Untuk mengubah. Nasib. Diri sendiri.
Kemerdekaan untuk memilih hitam atau putih. Putih. Atau merah. Merah atau putih? Atau merah dan putih. Merah dicampur putih. Menjadi merah dan putih. Merah itu darah yang mengalirkan energi kehidupan. Putih itu hati yang bersih. Memilih merah dan putih, berarti memilih untuk menjadi manusia yang dipenuhi oleh energi untuk kehidupan, dengan disertai hati yang bersih. Sehingga dengan merah dan putih itu, kita berani memproklamirkan diri sendiri sebagai manusia yang mampu memberi makna positif bagi kehidupan. Karena, setiap tindak tanduk dalam hidup, selalu dibarengi dengan hati yang putih bersih. Merah saja tanpa putih, hanya menjadikan kita manusia yang berdaya saing tinggi, tapi tidak punya nurani. Putih saja tanpa merah, hanya menjadikan kita manusia pasrah yang tidak menghasilkan pencapaian bermakna. Merah dan putih memang harus disatukan. Menjadi satu warna utuh; merah putih. Lalu kita memeluknya erat. Hingga dia melebur dengan jiwa dan raga kita. Agar didalam dada kitalah. Sang merah putih itu. Berkibar.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kita terlampau sering berbicara tentang kemerdekaan dalam konteks negara. Sehingga, kita sering lupa bahwa sebagai individu, kita juga sudah merdeka.
Hari Baru!
Teman-teman.
Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang sebuah masyarakat tradisional yang beramai-ramai melakukan eksodus. Semua orang dikampung itu meninggalkan tanah kelahirannya begitu saja. Tahukah anda apa yang menyebabkan mereka melakukannya? Teka-teki itu mengarahkan dugaan para ahli arkeologi kepada kemungkinan adanya hewan buas yang mengancam keselamatan. Namun, ternyata bukan. Ada wabah penyakit yang mematikan? Bukan. Tahayul yang sangat menakutkan? Juga bukan. Lantas apa? Rupanya, mereka pergi karena sudah selama bertahun-tahun tidak turun hujan. Padahal, hujanlah satu-satunya sumber kehidupan yang menumbuhkan tetumbuhan, dan menghidupkan binatang-binatang buruan. Dengan ketiadaan hujan, tak ada lagi yang bisa menghidupi mereka. Maka, hengkanglah mereka dari tempat itu.
Sudah sejak beratus-ratus tahun lamanya sang kepala suku memimpin ritual upacara meminta hujan. Dengan diiringi nyanyian dan puji-pujian serta tari-tarian; dia memanjatkan doa. Meminta supaya sang penguasa langit bersedia menurunkan hujan. Dan penguasa bumi mau mengubah sosok hujan itu menjadi sumber kehidupan. Maka, selama ratusan tahun itu pula mereka selalu mendapatkan hujan yang diharapkan. Namun, beberapa tahun terakhir ini, ritual itu sudah tidak seampuh dulu lagi. Hujan tidak lagi kunjung tiba, meski ritual dan doa-doa itu terus dikumandangkan. Ketika sirna segala harapan, maka pilihan terakhir yang mereka bisa lakukan adalah; pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan tempat penuh kenangan. Meninggalkan segala peradaban yang pernah mereka bangun selama beratus-ratus tahun.
Bertahun-tahun kemudian, seseorang datang ke desa yang tidak lagi bertuan itu. Kemudian, dia menurunkan tongkat kayu yang digunakan untuk menyangga bungkusan bekal dipundaknya. Lalu, dia menggunakan tongkat kayu itu untuk menggali. Setelah sekian lama menggali dalam susah dan payah, akhirnya dia menemukan tanah yang basah. Wajahnya berubah menjadi cerah. Ada seberkas harap tersamar disana. Dia terus menggali. Sekarang, dia menemukan tetesan-tetasan air. Dia terus menggali. Sekarang ada sebuah lubang kecil dimana air itu memancar. Dia terus menggali. Sekarang lubang yang digalinya sudah berkembang menjadi kubangan. Dia menggali lagi. Waaah, sekarang, kubangannya telah berubah menjadi sebuah sumur!
Mungkin kita mengira bahwa orang-orang primitif itu kurang cerdas. Mereka tidak cukup pintar untuk berpikir tentang menggali sumur. Sehingga, mereka percaya bahwa ritual doa yang sudah digunakannya selama beratus-ratus tahun itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan air kehidupan. “Yah, namanya juga orang primitif,” barangkali kita menganggap demikian. Tapi, tidakkah kita ingat bahwa kita yang mengklaim diri sebagai manusia modern ini sering sekali bertindak dan bersikap layaknya manusia-manusia primitif?
“Maksud eloh?”
Maksud saya; kita sering ingat untuk berdoa, namun sering lupa untuk menggali. Kita meminta sesuatu, tapi lupa bahwa untuk mendapatkannya kita harus bersedia membayar harganya. Kita mengira bahwa semua hal yang kita inginkan dimuka bumi ini bisa didapatkan hanya dengan sekedar meminta. Padahal. Tidak. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika begitu banyak hal yang kita dambakan, tetapi tidak kunjung kita dapatkan. Kita sering merasa patah arang karenanya. Tapi, kita jarang sadar, bahwa kita harus mengimbangi permintaan kita itu dengan usaha yang pantas. Yang bisa menjadi dasar kuat agar keinginan kita itu terkabulkan.
Kepada Tuhan kita berdoa; “Tuhan, berikanlah kepadaku ini dan itu.” Tetapi, tindakan kita tidak menunjukkan bahwa kita pantas mendapatkannya. Padahal, jika kita tahu Tuhan itu maha adil, itu berarti bahwa Tuhan akan memperlakukan manusia sesuai dengan kontribusi masing-masing bagi hidupnya. Tidak mungkin yang maha adil memberi lebih banyak dan lebih berkah kepada orang-orang yang berusaha lebih sedikit.
Kepada perusahaan, kita mengajukan tuntutan:”Naikkan gajiku sepuluh persen.” Tetapi, kualitas kerja kita tahun ini tidak ada bedanya dengan yang tahun lalu. Kita tidak menaikkan kinerja kita tahun ini sebesar 10% dari tahun lalu. Padahal, jika kita tahu perusahaan itu bukan badan amal, itu berarti perusahaan hanya akan sanggup menaikkan gaji karyawan jika pendapatannya juga ada peningkatan. Tidak mungkin perusahaan yang untungnya tidak bertambah, harus menanggung beban pembayaran semakin besar.
Kepada negara, kita meminta;”Penguasa. Penguasa. Beeerilah hambaamu uuuang. Beri hamba uang…. Beri hambaaa uuuuaaaaang.” Tetapi, kesempatan yang kita miliki sehari-hari tidak digunakan untuk melakukan tindakan produktif. Kita tidak datang dengan inisiatif. Padahal, jika kita tahu mereka itu penguasa, itu berarti bahwa mereka bukan abdi rakyat. Tidak mungkin yang bukan abdi rakyat mengabdi untuk rakyat.
Kita ini mirip manusia-manusia primitif. Ingat berdoa kelangit diatas, lupa menggali ketanah dibawah. Kita sering mengawang-awang dengan angan-angan dan keinginan yang menjulang. Namun, jarang ingat bahwa kaki kita menginjak tanah dimana usaha dan kerja keras diperlukan. Mungkin, itulah sebabnya guru mengaji saya dimasa kecil berkata;”Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri benar-benar melakukan perubahan-perubahan yang diinginkannya.”
Apakah itu bararti bahwa Tuhan berlepas tangan? Tuhan telah membuat hukum yang berlaku universal. Dan, alam sudah menandatangani naskah hukum itu. Jadilah dia hukum milik alam. Kita menyebutnya hukum alam. Dengan hukum itu, alam berjanji kepada Tuhan; jika suatu benda dijatuhkah dia akan meluncur ke tanah. Jika hutan digunduli, air tidak meresap kedalam tanah. Jika lingkungan dirusak, bencana alam merangsek. Alam juga berjanji bahwa; orang yang bekerja lebih baik, mendapatkan hasil yang lebih baik. Mereka yang menggunakan systemnya secara lebih efisien, menghasilkan kinerja yang lebih memuaskan. Manusia yang menggunakan waktunya untuk hal-hal positif, memperoleh hasil positif. Menurut pendapat anda; Kepada mahluk yang menyia-nyiakan hidupnya, alam akan memberikan apa?
Dengan hukum itu, Tuhan memberi manusia begitu banyak pilihan. Kamu mau jadi orang baik, silakan. Kamu mau jadi orang buruk juga boleh. Anda memilih untuk sukses, itu bagus. Anda lebih suka menjadi manusia gagal, tak ada halang rintang. Anda ingin menjadi pemenang? Selamat berjuang. Anda memilih menjadi pecundang? Siapa yang bisa melarang? Ya, Tuhan. Ternyata, Dia memberi manusia kesempatan untuk melakukan apa saja. Belok kiri. Atau belok kanan. Putar balik. Atau terus lurus kedepan. Bukankah itu yang kita sebut sebagai kemerdekaan?
Kemerdekaan yang tidak melulu soal bule-bule yang ngacir karena tidak tahan dengan ketajaman si bambu runcing. Kemerdekaan yang tidak semata-mata peringatan setahun sekali saat tujuh belasan, seperti hari ini. Dan upacara rutin di tahun-tahun sebelumnya. Ini tentang kemerdekaan individu yang sengaja diberikan Tuhan. Kepada setiap insan. Kemerdekaan untuk menjadi diri sendiri. Kemerdekaan untuk mengeksplorasi potensi diri. Kemerdekaan untuk berlomba menjadi manusia terbaik. Kemerdekaan untuk berkontribusi. Kemerdekaan. Untuk mengubah. Nasib. Diri sendiri.
Kemerdekaan untuk memilih hitam atau putih. Putih. Atau merah. Merah atau putih? Atau merah dan putih. Merah dicampur putih. Menjadi merah dan putih. Merah itu darah yang mengalirkan energi kehidupan. Putih itu hati yang bersih. Memilih merah dan putih, berarti memilih untuk menjadi manusia yang dipenuhi oleh energi untuk kehidupan, dengan disertai hati yang bersih. Sehingga dengan merah dan putih itu, kita berani memproklamirkan diri sendiri sebagai manusia yang mampu memberi makna positif bagi kehidupan. Karena, setiap tindak tanduk dalam hidup, selalu dibarengi dengan hati yang putih bersih. Merah saja tanpa putih, hanya menjadikan kita manusia yang berdaya saing tinggi, tapi tidak punya nurani. Putih saja tanpa merah, hanya menjadikan kita manusia pasrah yang tidak menghasilkan pencapaian bermakna. Merah dan putih memang harus disatukan. Menjadi satu warna utuh; merah putih. Lalu kita memeluknya erat. Hingga dia melebur dengan jiwa dan raga kita. Agar didalam dada kitalah. Sang merah putih itu. Berkibar.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Kita terlampau sering berbicara tentang kemerdekaan dalam konteks negara. Sehingga, kita sering lupa bahwa sebagai individu, kita juga sudah merdeka.
Senin, 11 Agustus 2008
Seberapa Besar Kapasitas Aktual Diri Anda?
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Disekitar kita; begitu banyak orang hebat yang mengagumkan. Mereka memiliki kemampuan diatas rata-rata. Sehingga terlihat unggul dari manusia lainnya. Ketika dihadapkan pada suatu pekerjaan atau tugas tertentu, mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan lebih baik dari orang lain. Ketika mereka dihadapkan pada situasi sulit tertentu, mereka selalu bisa menangani kesulitan itu dengan lebih baik dari orang lain. Ketika prestasi mereka dievaluasi, track record-nya lebih cemerlang dari kebanyakan orang. Seolah-olah, mereka benar-benar manusia paling ideal untuk pekerjaan yang ditanganinya. Itu membuat kita bertanya; “Mengapa Tuhan memberikan talenta begitu hebatnya kepada dia? Sedangkan kepada saya tidak. Jika saya diberkahi kemampuan yang seperti itu, pasti saya akan berprestasi seperti orang itu.” Benarkah demikian?
Beberapa waktu lalu, saya merasakan bahwa kemampuan lap top saya sudah menurun sangat jauh sekali dari sebelumnya. Padahal, dia menggunakan processor yang pasti memadai untuk mendukung kinerja seorang perofesional. Kinerjanya yang semakin memburuk membuat saya tidak mampu menyembunyikan ketidaksabaran ini, sampai-sampai boss saya memergoki dan bilang; “Be patience Dadang, it is still processing…” katanya. “She has to perform faster if she still wants to work with me,” saya menyahut. Tapi, kecaman saya tidak membuatnya bekerja lebih cepat. Padahal, saya sudah melakukan clean disk, dan juga defrag. Akhirnya, minggu lalu saya mengirim memo kepada teman-teman di BT, bahwa saya mau lap top yang bisa bekerja lebih cepat.
Tak lama kemudian, lap top itupun masuk ke dalam klinik untuk diperiksa para dokter spesialis computer, sebelum kembali keruang kerja saya beberapa jam berikutnya. Tahukah anda, bagaimana kinerjanya sekarang? Wuish, she runs like a flash! Sampai-sampai saya terkejut dibuatnya. Sehingga saya tidak sabar untuk bertanya;”Man, elo apain tuch lap top gue?”
Teman BT saya berkata;”Ditambah RAM-nya jadi dua kali lipat, Pak.”
“Cuma begitu doank?”
“Iya. Hanya itu.” Jawabnya. Saya tahu dia bangga dengan hasil kerjanya. Dan saya sangat menghargai usahanya.
“Nggak elo ganti processornya?”
“Nggak Pak,” katanya. “Masih bagus, kok.” Lanjutnya.
Saat itu saya menyadari, bahwa processor adalah potensi atau kapasitas maksimal tentang apa yang bisa dilakukan oleh sebuah computer. Dalam diri manusia, itulah yang biasa kita sebut sebagai talenta atau bakat, alias kapasitas terpendam dalam diri seseorang. Dalam computer, fungsi processor itu penting pada saat kompuetr sedang diaktifkan untuk bekerja. Ini menentukan sampai sejauh mana fungsi computer itu bisa dimaksimalkan. Bagi manusia, fungsi talenta itu penting pada saat kita sedang bekerja atau melakukan suatu aktivitas. Ini menentukan sampai setinggi apa kita bisa berprestasi.
Sekarang, RAM itu apa? Mengapa meningkatkan RAM dua kali lipat bisa menaikkan kinerja processor computer itu sedemikan bermaknanya? RAM adalah sebuah playing ground. Tempat dimana file-file ditarik dari hard disk dan siap untuk diaktifkan. Dioperasikan. Diolah. Dieksekusi. Ditambah gambar ini dan itu. Meskipun kemampuan prosesornya tinggi, namun jika RAM-nya terlampau kecil untuk menampung file-file yang sedang diaktifkan, maka kinerja computer itu akan menjadi sangat buruk. Dia tidak bisa menjadi computer canggih. Manusia juga demikian. Meskipun talentanya besar. Potensi dirinya tinggi. Namun, jika kapasitas playing ground-nya terlampau kecil untuk menampung seluruh potensi diri itu, maka kinerjanya akan buruk juga. Dia tidak akan bisa menjadi manusia unggul.
Ngomong-ngomong, bukankah kita seringkali berbangga hati dengan menyebutkan bahwa; “manusia adalah super computer?” Jika klaim itu benar adanya; bukankah seharusnya kita bisa lebih hebat dari computer tercanggih sekalipun? Mungkin itu benar jika konteks yang kita maksud adalah talenta atau potensi diri yang kita miliki. Sebab, kita percaya bahwa kemampuan otak kita saja konon baru digunakan tidak sampai 5% saja. Tetapi, jika kita berbicara tentang actualized individual potential, maka kita harus bertanya ulang. Mengapa? Karena, kita sudah bertemu dengan begitu banyak orang yang sesungguhnya sangat berbakat, namun pencapaiannya tidak sampai kemana-mana. Sebab, orang-orang ini telah membiarkan playing ground-nya menjadi begitu kecil.
Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimana caranya memperbesar playing ground diri kita? Ada banyak cara. Satu, melatih diri untuk sesuatu yang lebih tinggi. Berapa banyak dari kita yang bersedia menantang diri sendiri untuk menguasai keterampilan-keterampilan baru? Kenyataannya kita sudah cukup puas dengan kemampuan yang kita miliki saat ini. Melatih diri untuk sesuatu yang baru itu menguras tenaga. Membutuhkan waktu. Dan memerlukan komitment. Mengapa kita harus bersusah payah begitu jika kita sudah puas dengan keadaan sekarang?
Dua, meninggalkan comfort zone. Ada banyak peluang baru dalam jarak setengah sentimeter dari diri kita. Namun, untuk meraihnya kita harus bersedia keluar dari zona kenyamanan kita. Mungkin kita harus meninggalkan kestabilan menuju kepada hal yang tidak menentu untuk sementara waktu. Kita perlu menyesuaikan diri kembali. Kita harus merevisi asumsi-asumsi diri. Dan banyak hal lagi yang mesti kita ubah. Tetapi, berapa banyak dari kita yang bersedia meninggalkan comfort zone seperti itu? Jika kondisi sekarang sudah membuat kita enak, mengapa kita harus meninggalkan kenyamanan ini untuk sesuatu yang beresiko dan penuh teka-teki?
Tiga, bersedia membayar harganya. Ketika kita melihat orang lain berprestasi tinggi, seringkali kita hanya melihat hasil akhirnya saja. Yaitu, berupa pencapaian hebat orang itu. Lalu, kita berkata; “Beruntungnya dia. Tuhan telah berbaik hati memberinya talenta yang hebat.” Kita tidak pernah tahu bahwa orang itu telah selama bertahun-tahun mengurangi jam tidurnya. Membuang kesenangannya bermain-main dengan game computer yang menyita begitu banyak waktu, tenaga dan biaya itu. Memeras pikirannya. Memaksa diri untuk berdisiplin tinggi. Dan hanya berfokus kepada hal-hal yang akan membawanya kepada peningkatan kualitas diri secara progresif.
Kita tidak pernah mengetahui semua kerja keras yang dilakukan oleh orang itu. Karena kita terlampau silau oleh hasil akhir yang dicapainya, sambil sesekali menelan ludah. Yang sebenarnya terjadi adalah; ‘Hanya setelah orang itu bersedia membayar semua harganya sajalah, dia baru bisa sampai kepada pencapaian itu.’ Lagi pula, kalau pun kita tahu pahit dan sulit serta terjal berlikunya jalan yang harus dia tempuh; belum tentu kita mau mengikuti jejak langkahnya, bukan? Padahal, ketiga hal itulah yang sesungguhnya telah berhasil menjadikan playing ground-nya menjadi semakin besar. Sehingga kapasitas dirinya juga menjadi semakin besar. Semakin besar. Dan semakin membesar. Sehingga tidak heran jika orang itu bisa meninggalkan manusia-manusia kebanyakan jauh dibelakangnya.
Jika dalam computer kita menyebutnya RAM, bagaimana dengan manusia? Bolehkah saya menyebutnya HAM? Ya. HAM. Human Activated Memory. Yaitu, memory yang tersimpan dalam diri kita, yang bisa kita gunakan untuk berurusan dengan hal-hal yang kita hadapi secara spontan. Memori itu berbahan dasar talenta. Yaitu, potensi yang tersimpan didalam diri kita. Betul-betul dilatih dan diolah sampai menjadi kemampuan actual. Sehingga, kapan saja kemampuan itu dibutuhkan, kita bisa memanggil dan mendayagunakannya secara spontan.
Anda boleh saja mengklaim diri berbakat bermain piano, misalnya. Tapi, jika bakat itu tidak diasah dengan sungguh-sungguh. Maka klaim anda hanya akan menjadi bualan belaka. Permainan piano anda tetap saja jelek. Anda boleh saja mengklaim bahwa diri andalah yang paling layak mendapatkan promosi itu, bukan pesaing anda. Karena anda mengira bahwa anda lebih senior. Lebih pintar. Lebih rajin. Tapi, jika klaim anda itu tidak didukung oleh kapasitas actual yang bisa anda tunjukkan; maka anda tetap saja akan menjadi karyawan jelek. Dan hati anda juga jelek, karena dipenuhi rasa iri.
Anda juga boleh menganggap diri sendiri kurang berbakat. Jadi, wajar saja jika pencapaian anda biasa-biasa saja. Anda tidak dilahirkan untuk menjadi pemenang. Karena Tuhan memberi anda begitu banyak keterbatasan. Hey, wake up! Bangun, bung! Tidak ada manusia yang dilahirkan tanpa keterbatasan. Dan tidak ada manusia yang dilahirkan tanpa membawa pesan dan seoles kemampuan. Wake up and realize that YOU; don’t need to be a perfect person to succeed. YOU, just need to accept yourself just the way you are. And start to enlarge your own playing ground. Your Human Actualized Memory. Your HAM. Would you?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Bukan ketiadaan bakat yang menimbulkan masalah bagi kita. Melainkan, kelalaian kita sendiri pada bakat-bakat yang telah kita warisi.
Hari Baru!
Teman-teman.
Disekitar kita; begitu banyak orang hebat yang mengagumkan. Mereka memiliki kemampuan diatas rata-rata. Sehingga terlihat unggul dari manusia lainnya. Ketika dihadapkan pada suatu pekerjaan atau tugas tertentu, mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan lebih baik dari orang lain. Ketika mereka dihadapkan pada situasi sulit tertentu, mereka selalu bisa menangani kesulitan itu dengan lebih baik dari orang lain. Ketika prestasi mereka dievaluasi, track record-nya lebih cemerlang dari kebanyakan orang. Seolah-olah, mereka benar-benar manusia paling ideal untuk pekerjaan yang ditanganinya. Itu membuat kita bertanya; “Mengapa Tuhan memberikan talenta begitu hebatnya kepada dia? Sedangkan kepada saya tidak. Jika saya diberkahi kemampuan yang seperti itu, pasti saya akan berprestasi seperti orang itu.” Benarkah demikian?
Beberapa waktu lalu, saya merasakan bahwa kemampuan lap top saya sudah menurun sangat jauh sekali dari sebelumnya. Padahal, dia menggunakan processor yang pasti memadai untuk mendukung kinerja seorang perofesional. Kinerjanya yang semakin memburuk membuat saya tidak mampu menyembunyikan ketidaksabaran ini, sampai-sampai boss saya memergoki dan bilang; “Be patience Dadang, it is still processing…” katanya. “She has to perform faster if she still wants to work with me,” saya menyahut. Tapi, kecaman saya tidak membuatnya bekerja lebih cepat. Padahal, saya sudah melakukan clean disk, dan juga defrag. Akhirnya, minggu lalu saya mengirim memo kepada teman-teman di BT, bahwa saya mau lap top yang bisa bekerja lebih cepat.
Tak lama kemudian, lap top itupun masuk ke dalam klinik untuk diperiksa para dokter spesialis computer, sebelum kembali keruang kerja saya beberapa jam berikutnya. Tahukah anda, bagaimana kinerjanya sekarang? Wuish, she runs like a flash! Sampai-sampai saya terkejut dibuatnya. Sehingga saya tidak sabar untuk bertanya;”Man, elo apain tuch lap top gue?”
Teman BT saya berkata;”Ditambah RAM-nya jadi dua kali lipat, Pak.”
“Cuma begitu doank?”
“Iya. Hanya itu.” Jawabnya. Saya tahu dia bangga dengan hasil kerjanya. Dan saya sangat menghargai usahanya.
“Nggak elo ganti processornya?”
“Nggak Pak,” katanya. “Masih bagus, kok.” Lanjutnya.
Saat itu saya menyadari, bahwa processor adalah potensi atau kapasitas maksimal tentang apa yang bisa dilakukan oleh sebuah computer. Dalam diri manusia, itulah yang biasa kita sebut sebagai talenta atau bakat, alias kapasitas terpendam dalam diri seseorang. Dalam computer, fungsi processor itu penting pada saat kompuetr sedang diaktifkan untuk bekerja. Ini menentukan sampai sejauh mana fungsi computer itu bisa dimaksimalkan. Bagi manusia, fungsi talenta itu penting pada saat kita sedang bekerja atau melakukan suatu aktivitas. Ini menentukan sampai setinggi apa kita bisa berprestasi.
Sekarang, RAM itu apa? Mengapa meningkatkan RAM dua kali lipat bisa menaikkan kinerja processor computer itu sedemikan bermaknanya? RAM adalah sebuah playing ground. Tempat dimana file-file ditarik dari hard disk dan siap untuk diaktifkan. Dioperasikan. Diolah. Dieksekusi. Ditambah gambar ini dan itu. Meskipun kemampuan prosesornya tinggi, namun jika RAM-nya terlampau kecil untuk menampung file-file yang sedang diaktifkan, maka kinerja computer itu akan menjadi sangat buruk. Dia tidak bisa menjadi computer canggih. Manusia juga demikian. Meskipun talentanya besar. Potensi dirinya tinggi. Namun, jika kapasitas playing ground-nya terlampau kecil untuk menampung seluruh potensi diri itu, maka kinerjanya akan buruk juga. Dia tidak akan bisa menjadi manusia unggul.
Ngomong-ngomong, bukankah kita seringkali berbangga hati dengan menyebutkan bahwa; “manusia adalah super computer?” Jika klaim itu benar adanya; bukankah seharusnya kita bisa lebih hebat dari computer tercanggih sekalipun? Mungkin itu benar jika konteks yang kita maksud adalah talenta atau potensi diri yang kita miliki. Sebab, kita percaya bahwa kemampuan otak kita saja konon baru digunakan tidak sampai 5% saja. Tetapi, jika kita berbicara tentang actualized individual potential, maka kita harus bertanya ulang. Mengapa? Karena, kita sudah bertemu dengan begitu banyak orang yang sesungguhnya sangat berbakat, namun pencapaiannya tidak sampai kemana-mana. Sebab, orang-orang ini telah membiarkan playing ground-nya menjadi begitu kecil.
Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimana caranya memperbesar playing ground diri kita? Ada banyak cara. Satu, melatih diri untuk sesuatu yang lebih tinggi. Berapa banyak dari kita yang bersedia menantang diri sendiri untuk menguasai keterampilan-keterampilan baru? Kenyataannya kita sudah cukup puas dengan kemampuan yang kita miliki saat ini. Melatih diri untuk sesuatu yang baru itu menguras tenaga. Membutuhkan waktu. Dan memerlukan komitment. Mengapa kita harus bersusah payah begitu jika kita sudah puas dengan keadaan sekarang?
Dua, meninggalkan comfort zone. Ada banyak peluang baru dalam jarak setengah sentimeter dari diri kita. Namun, untuk meraihnya kita harus bersedia keluar dari zona kenyamanan kita. Mungkin kita harus meninggalkan kestabilan menuju kepada hal yang tidak menentu untuk sementara waktu. Kita perlu menyesuaikan diri kembali. Kita harus merevisi asumsi-asumsi diri. Dan banyak hal lagi yang mesti kita ubah. Tetapi, berapa banyak dari kita yang bersedia meninggalkan comfort zone seperti itu? Jika kondisi sekarang sudah membuat kita enak, mengapa kita harus meninggalkan kenyamanan ini untuk sesuatu yang beresiko dan penuh teka-teki?
Tiga, bersedia membayar harganya. Ketika kita melihat orang lain berprestasi tinggi, seringkali kita hanya melihat hasil akhirnya saja. Yaitu, berupa pencapaian hebat orang itu. Lalu, kita berkata; “Beruntungnya dia. Tuhan telah berbaik hati memberinya talenta yang hebat.” Kita tidak pernah tahu bahwa orang itu telah selama bertahun-tahun mengurangi jam tidurnya. Membuang kesenangannya bermain-main dengan game computer yang menyita begitu banyak waktu, tenaga dan biaya itu. Memeras pikirannya. Memaksa diri untuk berdisiplin tinggi. Dan hanya berfokus kepada hal-hal yang akan membawanya kepada peningkatan kualitas diri secara progresif.
Kita tidak pernah mengetahui semua kerja keras yang dilakukan oleh orang itu. Karena kita terlampau silau oleh hasil akhir yang dicapainya, sambil sesekali menelan ludah. Yang sebenarnya terjadi adalah; ‘Hanya setelah orang itu bersedia membayar semua harganya sajalah, dia baru bisa sampai kepada pencapaian itu.’ Lagi pula, kalau pun kita tahu pahit dan sulit serta terjal berlikunya jalan yang harus dia tempuh; belum tentu kita mau mengikuti jejak langkahnya, bukan? Padahal, ketiga hal itulah yang sesungguhnya telah berhasil menjadikan playing ground-nya menjadi semakin besar. Sehingga kapasitas dirinya juga menjadi semakin besar. Semakin besar. Dan semakin membesar. Sehingga tidak heran jika orang itu bisa meninggalkan manusia-manusia kebanyakan jauh dibelakangnya.
Jika dalam computer kita menyebutnya RAM, bagaimana dengan manusia? Bolehkah saya menyebutnya HAM? Ya. HAM. Human Activated Memory. Yaitu, memory yang tersimpan dalam diri kita, yang bisa kita gunakan untuk berurusan dengan hal-hal yang kita hadapi secara spontan. Memori itu berbahan dasar talenta. Yaitu, potensi yang tersimpan didalam diri kita. Betul-betul dilatih dan diolah sampai menjadi kemampuan actual. Sehingga, kapan saja kemampuan itu dibutuhkan, kita bisa memanggil dan mendayagunakannya secara spontan.
Anda boleh saja mengklaim diri berbakat bermain piano, misalnya. Tapi, jika bakat itu tidak diasah dengan sungguh-sungguh. Maka klaim anda hanya akan menjadi bualan belaka. Permainan piano anda tetap saja jelek. Anda boleh saja mengklaim bahwa diri andalah yang paling layak mendapatkan promosi itu, bukan pesaing anda. Karena anda mengira bahwa anda lebih senior. Lebih pintar. Lebih rajin. Tapi, jika klaim anda itu tidak didukung oleh kapasitas actual yang bisa anda tunjukkan; maka anda tetap saja akan menjadi karyawan jelek. Dan hati anda juga jelek, karena dipenuhi rasa iri.
Anda juga boleh menganggap diri sendiri kurang berbakat. Jadi, wajar saja jika pencapaian anda biasa-biasa saja. Anda tidak dilahirkan untuk menjadi pemenang. Karena Tuhan memberi anda begitu banyak keterbatasan. Hey, wake up! Bangun, bung! Tidak ada manusia yang dilahirkan tanpa keterbatasan. Dan tidak ada manusia yang dilahirkan tanpa membawa pesan dan seoles kemampuan. Wake up and realize that YOU; don’t need to be a perfect person to succeed. YOU, just need to accept yourself just the way you are. And start to enlarge your own playing ground. Your Human Actualized Memory. Your HAM. Would you?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Bukan ketiadaan bakat yang menimbulkan masalah bagi kita. Melainkan, kelalaian kita sendiri pada bakat-bakat yang telah kita warisi.
Minggu, 27 Juli 2008
Dua Elemen Pemberdayaan Diri
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Jika anda tersesat disuatu tempat. Dimana disana tidak ada manusia lain selain anda. Siapa yang bisa anda andalkan untuk menolong diri anda? Mungkin, karena saya termasuk orang iseng saja, sehingga mengemukakan pertanyaan janggal macam itu. Seorang sahabat yang saleh berkata; “Saya masih memiliki Tuhan untuk menolong.” Sungguh sebuah jawaban yang hebat. Lalu pertanyaan saya berikutnya; “Seandainya Tuhan bersabda; ‘wahai jiwa yang tengah tersesat, tidak bisakah kamu mencari pertolonganmu sendiri’ apa yang akan anda katakan kepada Tuhan?” Lalu, teman saya mengatakan bahwa Tuhan itu telah berjanji akan mengabulkan setiap permintaan. Jadi, tidaklah mungkin ketika kita memohon pertolongan, Dia malah menyuruh kita untuk mencari ke tempat lain. Saya mulai tersadar, bahwa mungkin memang Tuhan itu tidak iseng seperti saya. Apakah Anda juga berpikiran demikian?
Sesaat setelah saya memposting artikel itu, saya meminta istri saya untuk membacanya. Saya bilang padanya; ”Aku menyebut-nyebut istriku diartikel kali ini. Jadi, kamu harus membacanya…” Seperti yang anda kira, dia sangat termotivasi sekali untuk membacanya dari awal sampai akhir. Maklum, dia perlu tahu apa yang dituliskan suaminya ini tentang dirinya diartikel itu. Ketika membaca tentang ‘motivator sejati itu adalah orang yang paling dekat dengan diri anda’ dia berhenti, dan segera melompat kearah saya. Lalu berkata; “Tuch kan Yah, ada motivator yang seperti itu,” katanya.
“Siapa?” saya balik menantangnya.
“Ya tentu saja orang yang menikahinya…” balasnya dengan tanpa basi-basi.
“Baiklah,” saya bilang. “Sekarang, teruskan dulu membacanya.” Dia kembali kelayar monitor. Dan ketika dia menemukan bahwa ‘istri’ atau ‘suami’ bukanlah sumber motivasi utama yang saya sarankan, dia kembali membelalakan matanya. “Memangnya aku tidak bisa menjadi motivator buat kamu?” katanya. Anda tahu kan raut wajah seorang perempuan cantik kalau sedang kesal pada suaminya.
“Bisa iya.” Saya santai saja. ”Bisa juga tidak.”
“Maksud eloooh?” Matanya sudah belo bahkan sebelum dipelototkan.
“Jika suamimu sedang bisa menyenangkan hatimu,” kata saya, “maka dia akan menaikkan semangat hidupmu. Tapi,” saya melanjutkan, “ketika kamu sedang kesal sama suamimu yang keren ini…….” Saya tidak usah melanjutkannya. Dia sudah mengerti bagaimana rasanya ketika dia sedang sebel banget sama saya. “Anak-anak juga demikian.” Itu saja yang saya tambahkan.
Saya mencoba mengajaknya untuk memahami bahwa sungguh sangat penting untuk bisa menjadi seorang self-reliant. Sebab, meskipun anda tidak akan pernah tersesat seperti orang malang yang saya ilustrasikan tadi; namun ada banyak situasi dimana kita sungguh-sungguh tidak bisa mengandalkan siapapun kecuali diri kita sendiri. Para atasan kapan pun bisa memecat kita. Meskipun pada saat itu sesungguhnya anda sedang sangat membutuhkan pembelaan darinya. Bawahan kita bisa kapan saja meninggalkan anda. Meskipun ketika itu anda sedang sangat membutuhkan tenaganya. Dan seorang suami, bisa pergi meninggalkan sang istri tanpa sebab yang bisa dimengerti hati. Seperti halnya seorang istri bisa menyebabkan hati seorang suami hancur berkeping-keping. Anak-anak juga begitu. Sehingga, guru saya sewaktu kecil dulu mengatakan bahwa; “anak dan istri/suami itu adalah salah satu bentuk batu ujian bagimu”.
Sahabat saya bekata; ”Kamu terlalu percaya diri.”
Saya bilang; “Jika saya terlalu percaya diri, saya tidak akan pernah mau berteman denganmu. Karena saya tahu bahwa tanpa kamupun saya bisa mengerjakan semuanya. Tapi, coba kamu lihat,” saya melanjutkan, “saya menjadikanmu sebagai partner seperti halnya kamu menjadikan saya pasangan kerja, bukan?”
Self-reliance sama sekali bukanlah kata ganti dari egocentric. Self-reliance adalah gambaran tentang sejauh mana diri anda bisa diandalkan tidak peduli apakah anda sedang sendirian ataupun berada ditengah-tengah sekumpulan manusia yang saling bekerja sama. Self-reliance, adalah. Bahan dasar dari terbentuknya kemampuan kita yang bisa diandalkan. Baik sebagai individu. Maupun. Bagian dari sebuah team. Mungkin anda mengira bahwa saat kita berada dalam sebuah kelompok, tidak memiliki sifat self-reliance pun tidak apa-apa. Jika demikian, anda sudah mesti segera mengubah paradigma itu. Sebab, sebuah team yang efektif hanya bisa terbangun jika SEMUA anggota team itu adalah orang-orang yang self-reliant. If not? Orang itu hanya akan menjadi benalu. Maaf, tapi anda boleh menggunakan sebutan lain jika ada yang bisa menggantikan kata benalu.
Seseorang datang kepada saya dan mengeluhkan tentang teman satu teamnya. Dia mengatakan bahwa semua aturan main dan tugas masing-masing anggota team sudah dijelaskan. Ada juklaknya. Ada rule-nya. Ada reward-nya. Ada punishment-nya. Tapi, temannya yang satu itu tetap saja tidak bisa mengikuti juklak itu kecuali harus dituntun. Saya bilang; “Apa salahnya menuntun orang yang sedang melintasi proses pembelajaran?”
“Aduuh, cape Dang!” sanggahnya. “Semakin hari, dia malah semakin menggelayuti orang-orang diteamku. Sekarang tak seorangpun mau menolongnya lagi” katanya.
“Nape, emang?” saya menggodanya.
“Gila, apa? Emangnya orang-orang nggak ada kerjaan lagi, eh!?”
Kedengarannya, ini merupakan cerita lama yang terjadi nyaris disemua organisasi ya? Tentu saja. Karena, kita kadang-kadang tidak mempercayai bahwa self-reliance itu harus dimiliki oleh setiap orang. Memang kita butuh pertolongan orang lain; tapi, pada saat kapan? Saat ini? Atau saat itu? Atau saat ini dan saat itu? Jika anda mengira bahwa orang-orang disekitar anda akan SELALU ada untuk anda; hati-hatilah. Bisa jadi anda akan sampai kepada suatu situasi dimana orang lain itu tidak ada untuk anda. “Tapi, orang itu bilang akan selalu ada untuk saya!” mungkin anda berkilah begitu. Hey, anda terdengar seperti seorang gadis remaja yang terkena rayuan gombal monyet jantan usia belasan.
Baiklah. Tapi, mungkin anda perlu menyepakati perkataan saya ini: Tidak ada ruginya jika kita bisa mengandalkan diri sendiri. Setidaknya, itulah yang saat ini tengah saya upayakan untuk diri saya sendiri. Sebab, saya masih teringat pelajaran berharga yang disampaikan oleh Master Oogway kepada Shifu. Ketika beliau hendak meleburkan diri dengan udara untuk selamanya menyatu dengan alam semesta, Shifu berusaha mencegahnya. Dan berkata; "Master, Bagaimana aku melakukannya jika engkau pergi?"
Kemudian Master Oogway berkata; "Kamu tidak membutuhkan aku, Shifu. Karena kamu memiliki segala kemampuan itu....." katanya. "Ditahap ini, kamu hanya butuh memberi dirimu sendiri kepercayaan yang lebih besar." Lalu tubuh Master Oogway larut dalam partikel-partikel udara. Kemudian beterbangan menuju langit tinggi. Untuk menapaki singasana keabadian.
Anda tentu masih ingat bahwa dihari sebelumnya Master Oogway menjelaskan bahwa ‘kerendahan hati adalah salah satu tanda dari seorang ksatria’. Sehingga, dengan nasihatnya dihari ini kepada Shifu, beliau menasihatkan dua hal yaitu; (1) Kerendahan hati, dan (2) Kepercayaan kepada diri sendiri. Mengapa Master Oogway menasihatkan kedua hal itu? Karena, keduanya berfungsi seperti kedua kaki bagi Pemberdayaan diri. Kerendahan hati itu seperti kaki kiri. Sedangkan kepercayaan bagaikan kaki sebelah kanan. Dengan kepercayaan, anda memberi diri anda sendiri kesempatan untuk menunjukkan siapa diri anda yang sesungguhnya. Mengijinkannya untuk menggapai derajat tertinggi dari setiap pencapaian yang mungkin diraihnya. Sedangkan, dengan kerendahan hati; anda menjaga kesucian pencapaian-pencapaian yang diraihnya. Agar anda. Tidak seperti balon gas. Yang terlepas dari genggaman. Melayang-layang tidak karuan. Dan terhanyutkan oleh perasaan lupa diri yang menyesatkan.
Kita tidak dapat berdiri tegak. Berjalan. Kemudian berlari kencang jika kaki kita hanya sebelah. Apalagi jika kita tidak memiliki keduanya. Kita tidak bisa menjadi manusia yang terberdayakan jika tidak memiliki kerendahan hati. Sekalipun mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, tapi kita hanya akan menjadi manusia hebat yang lupa diri. Kita tidak bisa menjadi manusia yang terberdayakan jika tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. Sekalipun mempunyai kerendahan hati, tapi kita hanya akan menjadi manusia gemulai tanpa pencapaian yang berarti. Apalah lagi jika kita tidak memiliki keduanya?
Dengan berbekal kedua nasihat itu Shifu mulai menegakkan badannya untuk tetap berdiri tegak. Dan menguatkan hatinya untuk terus teguh bertekad. Yang meskipun susah payah. Akhirnya. Dia Berhasil. Melakukannya.
Bisakah kita?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Alasan terbesar mengapa kita sering tidak mendengar nasihat-nasihat dari dalam diri kita sendiri adalah karena; kita tidak memberi cukup kepercayaan kepadanya.
Hari Baru!
Teman-teman.
Jika anda tersesat disuatu tempat. Dimana disana tidak ada manusia lain selain anda. Siapa yang bisa anda andalkan untuk menolong diri anda? Mungkin, karena saya termasuk orang iseng saja, sehingga mengemukakan pertanyaan janggal macam itu. Seorang sahabat yang saleh berkata; “Saya masih memiliki Tuhan untuk menolong.” Sungguh sebuah jawaban yang hebat. Lalu pertanyaan saya berikutnya; “Seandainya Tuhan bersabda; ‘wahai jiwa yang tengah tersesat, tidak bisakah kamu mencari pertolonganmu sendiri’ apa yang akan anda katakan kepada Tuhan?” Lalu, teman saya mengatakan bahwa Tuhan itu telah berjanji akan mengabulkan setiap permintaan. Jadi, tidaklah mungkin ketika kita memohon pertolongan, Dia malah menyuruh kita untuk mencari ke tempat lain. Saya mulai tersadar, bahwa mungkin memang Tuhan itu tidak iseng seperti saya. Apakah Anda juga berpikiran demikian?
Sesaat setelah saya memposting artikel itu, saya meminta istri saya untuk membacanya. Saya bilang padanya; ”Aku menyebut-nyebut istriku diartikel kali ini. Jadi, kamu harus membacanya…” Seperti yang anda kira, dia sangat termotivasi sekali untuk membacanya dari awal sampai akhir. Maklum, dia perlu tahu apa yang dituliskan suaminya ini tentang dirinya diartikel itu. Ketika membaca tentang ‘motivator sejati itu adalah orang yang paling dekat dengan diri anda’ dia berhenti, dan segera melompat kearah saya. Lalu berkata; “Tuch kan Yah, ada motivator yang seperti itu,” katanya.
“Siapa?” saya balik menantangnya.
“Ya tentu saja orang yang menikahinya…” balasnya dengan tanpa basi-basi.
“Baiklah,” saya bilang. “Sekarang, teruskan dulu membacanya.” Dia kembali kelayar monitor. Dan ketika dia menemukan bahwa ‘istri’ atau ‘suami’ bukanlah sumber motivasi utama yang saya sarankan, dia kembali membelalakan matanya. “Memangnya aku tidak bisa menjadi motivator buat kamu?” katanya. Anda tahu kan raut wajah seorang perempuan cantik kalau sedang kesal pada suaminya.
“Bisa iya.” Saya santai saja. ”Bisa juga tidak.”
“Maksud eloooh?” Matanya sudah belo bahkan sebelum dipelototkan.
“Jika suamimu sedang bisa menyenangkan hatimu,” kata saya, “maka dia akan menaikkan semangat hidupmu. Tapi,” saya melanjutkan, “ketika kamu sedang kesal sama suamimu yang keren ini…….” Saya tidak usah melanjutkannya. Dia sudah mengerti bagaimana rasanya ketika dia sedang sebel banget sama saya. “Anak-anak juga demikian.” Itu saja yang saya tambahkan.
Saya mencoba mengajaknya untuk memahami bahwa sungguh sangat penting untuk bisa menjadi seorang self-reliant. Sebab, meskipun anda tidak akan pernah tersesat seperti orang malang yang saya ilustrasikan tadi; namun ada banyak situasi dimana kita sungguh-sungguh tidak bisa mengandalkan siapapun kecuali diri kita sendiri. Para atasan kapan pun bisa memecat kita. Meskipun pada saat itu sesungguhnya anda sedang sangat membutuhkan pembelaan darinya. Bawahan kita bisa kapan saja meninggalkan anda. Meskipun ketika itu anda sedang sangat membutuhkan tenaganya. Dan seorang suami, bisa pergi meninggalkan sang istri tanpa sebab yang bisa dimengerti hati. Seperti halnya seorang istri bisa menyebabkan hati seorang suami hancur berkeping-keping. Anak-anak juga begitu. Sehingga, guru saya sewaktu kecil dulu mengatakan bahwa; “anak dan istri/suami itu adalah salah satu bentuk batu ujian bagimu”.
Sahabat saya bekata; ”Kamu terlalu percaya diri.”
Saya bilang; “Jika saya terlalu percaya diri, saya tidak akan pernah mau berteman denganmu. Karena saya tahu bahwa tanpa kamupun saya bisa mengerjakan semuanya. Tapi, coba kamu lihat,” saya melanjutkan, “saya menjadikanmu sebagai partner seperti halnya kamu menjadikan saya pasangan kerja, bukan?”
Self-reliance sama sekali bukanlah kata ganti dari egocentric. Self-reliance adalah gambaran tentang sejauh mana diri anda bisa diandalkan tidak peduli apakah anda sedang sendirian ataupun berada ditengah-tengah sekumpulan manusia yang saling bekerja sama. Self-reliance, adalah. Bahan dasar dari terbentuknya kemampuan kita yang bisa diandalkan. Baik sebagai individu. Maupun. Bagian dari sebuah team. Mungkin anda mengira bahwa saat kita berada dalam sebuah kelompok, tidak memiliki sifat self-reliance pun tidak apa-apa. Jika demikian, anda sudah mesti segera mengubah paradigma itu. Sebab, sebuah team yang efektif hanya bisa terbangun jika SEMUA anggota team itu adalah orang-orang yang self-reliant. If not? Orang itu hanya akan menjadi benalu. Maaf, tapi anda boleh menggunakan sebutan lain jika ada yang bisa menggantikan kata benalu.
Seseorang datang kepada saya dan mengeluhkan tentang teman satu teamnya. Dia mengatakan bahwa semua aturan main dan tugas masing-masing anggota team sudah dijelaskan. Ada juklaknya. Ada rule-nya. Ada reward-nya. Ada punishment-nya. Tapi, temannya yang satu itu tetap saja tidak bisa mengikuti juklak itu kecuali harus dituntun. Saya bilang; “Apa salahnya menuntun orang yang sedang melintasi proses pembelajaran?”
“Aduuh, cape Dang!” sanggahnya. “Semakin hari, dia malah semakin menggelayuti orang-orang diteamku. Sekarang tak seorangpun mau menolongnya lagi” katanya.
“Nape, emang?” saya menggodanya.
“Gila, apa? Emangnya orang-orang nggak ada kerjaan lagi, eh!?”
Kedengarannya, ini merupakan cerita lama yang terjadi nyaris disemua organisasi ya? Tentu saja. Karena, kita kadang-kadang tidak mempercayai bahwa self-reliance itu harus dimiliki oleh setiap orang. Memang kita butuh pertolongan orang lain; tapi, pada saat kapan? Saat ini? Atau saat itu? Atau saat ini dan saat itu? Jika anda mengira bahwa orang-orang disekitar anda akan SELALU ada untuk anda; hati-hatilah. Bisa jadi anda akan sampai kepada suatu situasi dimana orang lain itu tidak ada untuk anda. “Tapi, orang itu bilang akan selalu ada untuk saya!” mungkin anda berkilah begitu. Hey, anda terdengar seperti seorang gadis remaja yang terkena rayuan gombal monyet jantan usia belasan.
Baiklah. Tapi, mungkin anda perlu menyepakati perkataan saya ini: Tidak ada ruginya jika kita bisa mengandalkan diri sendiri. Setidaknya, itulah yang saat ini tengah saya upayakan untuk diri saya sendiri. Sebab, saya masih teringat pelajaran berharga yang disampaikan oleh Master Oogway kepada Shifu. Ketika beliau hendak meleburkan diri dengan udara untuk selamanya menyatu dengan alam semesta, Shifu berusaha mencegahnya. Dan berkata; "Master, Bagaimana aku melakukannya jika engkau pergi?"
Kemudian Master Oogway berkata; "Kamu tidak membutuhkan aku, Shifu. Karena kamu memiliki segala kemampuan itu....." katanya. "Ditahap ini, kamu hanya butuh memberi dirimu sendiri kepercayaan yang lebih besar." Lalu tubuh Master Oogway larut dalam partikel-partikel udara. Kemudian beterbangan menuju langit tinggi. Untuk menapaki singasana keabadian.
Anda tentu masih ingat bahwa dihari sebelumnya Master Oogway menjelaskan bahwa ‘kerendahan hati adalah salah satu tanda dari seorang ksatria’. Sehingga, dengan nasihatnya dihari ini kepada Shifu, beliau menasihatkan dua hal yaitu; (1) Kerendahan hati, dan (2) Kepercayaan kepada diri sendiri. Mengapa Master Oogway menasihatkan kedua hal itu? Karena, keduanya berfungsi seperti kedua kaki bagi Pemberdayaan diri. Kerendahan hati itu seperti kaki kiri. Sedangkan kepercayaan bagaikan kaki sebelah kanan. Dengan kepercayaan, anda memberi diri anda sendiri kesempatan untuk menunjukkan siapa diri anda yang sesungguhnya. Mengijinkannya untuk menggapai derajat tertinggi dari setiap pencapaian yang mungkin diraihnya. Sedangkan, dengan kerendahan hati; anda menjaga kesucian pencapaian-pencapaian yang diraihnya. Agar anda. Tidak seperti balon gas. Yang terlepas dari genggaman. Melayang-layang tidak karuan. Dan terhanyutkan oleh perasaan lupa diri yang menyesatkan.
Kita tidak dapat berdiri tegak. Berjalan. Kemudian berlari kencang jika kaki kita hanya sebelah. Apalagi jika kita tidak memiliki keduanya. Kita tidak bisa menjadi manusia yang terberdayakan jika tidak memiliki kerendahan hati. Sekalipun mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, tapi kita hanya akan menjadi manusia hebat yang lupa diri. Kita tidak bisa menjadi manusia yang terberdayakan jika tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. Sekalipun mempunyai kerendahan hati, tapi kita hanya akan menjadi manusia gemulai tanpa pencapaian yang berarti. Apalah lagi jika kita tidak memiliki keduanya?
Dengan berbekal kedua nasihat itu Shifu mulai menegakkan badannya untuk tetap berdiri tegak. Dan menguatkan hatinya untuk terus teguh bertekad. Yang meskipun susah payah. Akhirnya. Dia Berhasil. Melakukannya.
Bisakah kita?
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Alasan terbesar mengapa kita sering tidak mendengar nasihat-nasihat dari dalam diri kita sendiri adalah karena; kita tidak memberi cukup kepercayaan kepadanya.
Minggu, 20 Juli 2008
Sejauh Mana Seorang Motivator Bisa Menolong Anda?
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Ada sebuah fenomena menarik dalam dunia perseminaran. Terutama seminar-seminar motivasi. Para motivator hebat berusaha keras mencurahkan segenap kemampuannya dalam memotivasi perserta. Dan tentu saja, begitu banyak yang termotivasi sehingga sering terjadi keriuhan luar biasa didalam ruangan seminar itu. Semakin lihai sang pembicara membawakan materi trainingnya, semakin terbakarlah semangat mereka. Dan disore hari, seminar itu pun berakhir. Keesokan paginya semangat itu masih ada dalam dada para peserta. Seminggu berikutnya, masih cukup banyak yang tersisa. Waktu sebulan berjalan, masih lumayan. Sekuartal berlalu, sudah sebagian besar yang tanggal. Padahal. Bukankah tujuan membayar dan mengikuti seminar itu adalah untuk menjadikan diri kita lebih handal? Tapi, apakah itu mungkin jika semua pelajaran dan semangat yang didapat menguap secepat kilat?
Ada banyak bukti bahwa seminar motivasi sering tidak meninggalkan bekas yang berarti. Meskipun perusahaan sudah mengeluarkan uang banyak, namun para karyawan yang dikirim ke seminar itu tidak menunjukkan perubahan yang signifikan kecuali untuk jangka waktu yang singkat saja. Perilaku dan sikap mereka kembali ‘normal’ tak lama kemudian. Mungkin memang benar, bahwa ada begitu banyak faktor penyebabnya. Tidak perlu dipungkiri bahwa kualitas dan teknik yang digunakan oleh para motivator merupakan salah satunya. Faktor kedua adalah, dukungan lingkungan perusahaan itu sendiri. Seseorang yang saya kenal dengan sangat dekat berkata:”Gue sudah diikutkan training yang canggih-canggih. Tapi begitu gue presentasikan proposal program kepada para boss, eeeh, mereka malah mengatakan bahwa this company doesn’t need such sophisticated project….” Orang ini sudah terbang ke berbagai negara, menempa diri nyaris tanpa henti, dan belajar dari cukup banyak profesor. Tetapi, perusahaan tidak memiliki lahan yang cukup subur untuk memungkinkan benih-benih inovasi hasil dari proses belajarnya tumbuh optimal.
Faktor ketiga tentu saja ada disisi karyawan atau peserta training itu sendiri. Saya sering bertanya-tanya; apa yang menyebabkan seorang karyawan dan peserta training seperti kita ini hanya sanggup mengingat dan menyerap semangat dalam rentang saat yang teramat singkat? Begitu banyak orang yang percaya bahwa semuanya itu bermuara kepada sesuatu yang disebut sebagai ‘follow up’. Oleh karena itu, tidak terlampau mengejutkan jika saat ini banyak lembaga training, motivator dan trainer yang menawarkan program follow up pasca seminarnya. Dan perusahaan yang percaya bahwa follow up itu penting, bersedia membayar program tambahan itu dengan harapan bahwa para karyawan bisa benar-benar menuangkan apa yang dipelajarinya didalam karya nyata kehidupan kerjanya sehari-hari. Lalu, apakah usaha itu membuahkan hasil? Masih harus kita kaji lebih lanjut. Mengapa? Karena, segera setelah program follow up tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun itu berakhir, maka nyaris berakhir pulalah bekas yang ditimbulkannya.
Menurut seorang teman, memang sudah hukumnya begitu; pelajaran yang didapat dari sebuah seminar hanya bakal nyantol sekilas, laksana mobil yang melintas dijalan tol. “Lagipula, yang pantas memikirkan hal begituan itu ya para motivator dan perusahaan,” katanya. “Bukan karyawan seperti kita-kita ini.”
Memang, ini bukan tempat yang tepat untuk membahas faktor pertama, karena adalah diluar jangkauan kita untuk mengomentari para motivator. Sebab, setiap motivator memiliki gaya, teknik, dan kemampuan tersendiri. Meskipun tak jarang yang meniru orang lain, namun keunikannya sebagai individu cukup menjadi bekal bahwa setiap motivator itu juga unik. Juga, bukan wewenang kita mencampuri kebijakan perusahaan yang tidak sungguh-sungguh menyiapkan ruang dan kesempatan tempat tumbuhnya gagasan-gagasan dan sistem nilai baru yang dibawa karyawannya sebagai oleh-oleh. Tapi barangkali, sebagai teman seperjalanan dalam proses bertumbuh dan berkembang ini, kita bisa saling berbagi dalam menemukan jalan terbaik untuk mengoptimalkan proses belajar kita selama ini. Supaya benar-benar ada manfaat nyata bagi kehidupan kita.
Suatu waktu, istri saya mengatakan; “Kamu terlalu banyak berpikir, chayank.” Ketika itu saya masih terperangkap dihadapan layar monitor lap top, sedangkan dia sudah siap dengan perlengkapan fitness-nya. “Sekarang ikut aku ke fitness center,” katanya. Dan seperti kerbau dungu yang dicocok hidungnya, saya menurut saja. Karena memang sudah sangat lama kegiatan olah raga saya tidak lagi teratur, meskipun sangat menikmatinya. Itu bisa menjadi alternatif hiburan lain selain cream-bath di bioskop dan nonton di salon. Aih, terbalik ya? Cream-bath di salon dan nonton di bioskop. Wah, boleh juga tuch kalau membuka salon yang menyediakan personal LCD untuk memutar film box office saat menjalani cream-bath, dan didalamnya dilengkapi fasilitas fitness. (Ting…!)
Saya hendak berpindah ke area treadmills saat mata saya menempel di permukaan sebuah dinding. Ada dua buah kalimat yang sangat menarik tertulis disitu. Sungguh, saya tidak pernah merasa bosan untuk menikmati sensasi yang ditimbulkan kedua kalimat itu. Setiap kali saya datang dan membacanya, selalu ada semangat baru yang tumbuh didalam diri saya. Jadi, tidak peduli berapa kali saya melihatnya, saya tidak pernah merasa bosan membacanya. Dan kalimat itu berbunyi; ‘Motivation is what gets you started’. Untuk memulai melakukan hal besar, kita membutuhkan sesuatu yang memotivasi. Masalahnya, sebuah proyek besar atau perubahan perilaku tidak hanya bisa diselesaikan dengan sekedar memulainya. Melainkan dengan menjalaninya secara konsisten, hingga tujuan kita tercapai. Dan sepertinya kita sudah tahu bahwa para motivator disetiap seminar hanya bisa mengantarkan anda kepada tahap memulai. Jadi, tidak heran kalau begitu banyak orang yang menggebu-gebu saat keluar dari ruang seminar, dan melempem lagi di keesokan harinya.
Orang-orang antusias mempunyai trik tersendiri, yaitu; terus mengejar kemanapun dan dimanapun sang motivator menyelenggarakan seminarnya. Dengan cara itu, mereka bisa mempertahankan motivasinya agar tetap tinggi. Masalahnya, jika waktu kita dihabiskan untuk membuntuti dan mendengar mereka bicara, kapan kita bertindaknya? Lagipula, apakah kita akan terus-menerus bergantung pada sang motivator? Jika uang anda tidak cukup untuk membayar ongkos seminarnya, apakah anda masih bisa mengikuti sesi-sesinya?
Selain itu, kita perlu menerima kenyataan bahwa motivator juga manusia. Ada kalanya mereka salah. Kadang mereka terlalu sibuk untuk menerima telepon penuh rasa ingin tahu anda. Atau sekedar menjawab email anda. Jika demikian, bukankah perjalanan kita menuju pertumbuhan bisa terancam? Jadi, adakah alternatif lain selain yang itu? Tentu saja ada! Tahukah anda, bagaimana caranya? Cari motivator lain yang tidak akan pernah menomor duakan anda. Yang tidak peduli apakah saat itu anda memiliki uang atau tidak. Yang bersedia mendengarkan apapun keluhan anda. Dan yang selamanya ada disisi anda. Emangnya ada motivator seperti itu? Sebelum saya menjawabnya; maukah anda menyebut motivator yang seperti itu – jika ada – sebagai motivator sejati kelas wahid? Ya, anda tentu setuju bahwa motivator yang macam itulah yang pantas mendapatkan gelar bergengsi itu. Sebab, hanya dia yang bersedia melakukan segalanya untuk anda.
Apa tadi pertanyaan anda? ‘Emangnya ada motivator seperti itu?’ Saya bilang; ADA! Percayalah. This kind of motivator really exists here on the earth! Tahukah anda siapa dia? Dia adalah orang yang paling dekat dengan anda. Pacar? Bukan. Istri? Bukan. Anak-anak anda? Juga bukan. Jadi siapa? Anda benar; ‘diri anda sendiri’. Jika anda mampu menjadikan diri sendiri sebagai motivator utama dalam hidup anda, maka anda sudah mendapatkan the true motivational source. Dan. Itulah. Yang biasa. Kita sebut. Sebagai. Internal motivation.
Selama diri anda ada, maka selama itu pula anda termotivasi. Selama itu juga anda bersedia meneruskan perjalanan untuk bertumbuh kembang. Dan, tepat disaat anda secara konsisten mampu menjalaninya, semua berubah menjadi sebuah kebiasaan. Dan, tepat disaat sesuatu menjadi kebiasaan, anda mulai merasakan segalanya berjalan secara otomatis. Tanpa paksaan. Tanpa keharusan. Tanpa perlu energi fisikal dan emosional yang besar. Persis seperti bunyi selanjutnya dari kalimat yang tertulis didinding fitness center itu, bahwa: ‘Habit is what keeps you going’. Mengapa? Karena anda, baru saja mencapai sebuah tatanan baru yang disebut sebagai unconscious competence. Dan itulah saat dimana anda secara sempurna berhasil mengadopsi suatu perilaku, atau keterampilan baru.
Lima juta tahun yang akan datang, kita semua akan menjadi fosil. Seorang arkeolog dijaman itu menemukan puing-puing bangunan fitness center itu. Dan didinding bangunan itu, mereka menemukan sebuah tulisan kuno. Dan. Ketika diterjemahkan, tulisan itu berbunyi; ‘Motivation is what gets you started. Habit is what keeps you going’. Motivasilah yang mampu mendorong anda untuk memulai sesuatu. Sedangkan kebiasaan menjadikan anda untuk terus bertahan dijalur itu, hingga anda sampai kepada tujuan hidup yang ingin anda wujudkan. Dalam setiap seminar tentang arkeology dan antropology yang diselenggarakannya; sang arkeolog selalu menyampaikan pesan dididing fitness center kuno itu. Sebab, dia percaya bahwa; jika anda berhasil menjadikan diri anda sendiri sebagai motivator pribadi. Dan anda berhasil membangun kebiasaan-kebiasaan positif yang bisa menjamin anda terus bertahan dalam setiap perjuangan hidup. Maka. Anda benar-benar telah menjadi. Manusia modern. Yang sangat handal.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Tidak ada motivator yang lebih baik dari diri anda sendiri. Hanya saja, anda sering tidak mendengar nasihat-nasihatnya.
Hari Baru!
Teman-teman.
Ada sebuah fenomena menarik dalam dunia perseminaran. Terutama seminar-seminar motivasi. Para motivator hebat berusaha keras mencurahkan segenap kemampuannya dalam memotivasi perserta. Dan tentu saja, begitu banyak yang termotivasi sehingga sering terjadi keriuhan luar biasa didalam ruangan seminar itu. Semakin lihai sang pembicara membawakan materi trainingnya, semakin terbakarlah semangat mereka. Dan disore hari, seminar itu pun berakhir. Keesokan paginya semangat itu masih ada dalam dada para peserta. Seminggu berikutnya, masih cukup banyak yang tersisa. Waktu sebulan berjalan, masih lumayan. Sekuartal berlalu, sudah sebagian besar yang tanggal. Padahal. Bukankah tujuan membayar dan mengikuti seminar itu adalah untuk menjadikan diri kita lebih handal? Tapi, apakah itu mungkin jika semua pelajaran dan semangat yang didapat menguap secepat kilat?
Ada banyak bukti bahwa seminar motivasi sering tidak meninggalkan bekas yang berarti. Meskipun perusahaan sudah mengeluarkan uang banyak, namun para karyawan yang dikirim ke seminar itu tidak menunjukkan perubahan yang signifikan kecuali untuk jangka waktu yang singkat saja. Perilaku dan sikap mereka kembali ‘normal’ tak lama kemudian. Mungkin memang benar, bahwa ada begitu banyak faktor penyebabnya. Tidak perlu dipungkiri bahwa kualitas dan teknik yang digunakan oleh para motivator merupakan salah satunya. Faktor kedua adalah, dukungan lingkungan perusahaan itu sendiri. Seseorang yang saya kenal dengan sangat dekat berkata:”Gue sudah diikutkan training yang canggih-canggih. Tapi begitu gue presentasikan proposal program kepada para boss, eeeh, mereka malah mengatakan bahwa this company doesn’t need such sophisticated project….” Orang ini sudah terbang ke berbagai negara, menempa diri nyaris tanpa henti, dan belajar dari cukup banyak profesor. Tetapi, perusahaan tidak memiliki lahan yang cukup subur untuk memungkinkan benih-benih inovasi hasil dari proses belajarnya tumbuh optimal.
Faktor ketiga tentu saja ada disisi karyawan atau peserta training itu sendiri. Saya sering bertanya-tanya; apa yang menyebabkan seorang karyawan dan peserta training seperti kita ini hanya sanggup mengingat dan menyerap semangat dalam rentang saat yang teramat singkat? Begitu banyak orang yang percaya bahwa semuanya itu bermuara kepada sesuatu yang disebut sebagai ‘follow up’. Oleh karena itu, tidak terlampau mengejutkan jika saat ini banyak lembaga training, motivator dan trainer yang menawarkan program follow up pasca seminarnya. Dan perusahaan yang percaya bahwa follow up itu penting, bersedia membayar program tambahan itu dengan harapan bahwa para karyawan bisa benar-benar menuangkan apa yang dipelajarinya didalam karya nyata kehidupan kerjanya sehari-hari. Lalu, apakah usaha itu membuahkan hasil? Masih harus kita kaji lebih lanjut. Mengapa? Karena, segera setelah program follow up tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun itu berakhir, maka nyaris berakhir pulalah bekas yang ditimbulkannya.
Menurut seorang teman, memang sudah hukumnya begitu; pelajaran yang didapat dari sebuah seminar hanya bakal nyantol sekilas, laksana mobil yang melintas dijalan tol. “Lagipula, yang pantas memikirkan hal begituan itu ya para motivator dan perusahaan,” katanya. “Bukan karyawan seperti kita-kita ini.”
Memang, ini bukan tempat yang tepat untuk membahas faktor pertama, karena adalah diluar jangkauan kita untuk mengomentari para motivator. Sebab, setiap motivator memiliki gaya, teknik, dan kemampuan tersendiri. Meskipun tak jarang yang meniru orang lain, namun keunikannya sebagai individu cukup menjadi bekal bahwa setiap motivator itu juga unik. Juga, bukan wewenang kita mencampuri kebijakan perusahaan yang tidak sungguh-sungguh menyiapkan ruang dan kesempatan tempat tumbuhnya gagasan-gagasan dan sistem nilai baru yang dibawa karyawannya sebagai oleh-oleh. Tapi barangkali, sebagai teman seperjalanan dalam proses bertumbuh dan berkembang ini, kita bisa saling berbagi dalam menemukan jalan terbaik untuk mengoptimalkan proses belajar kita selama ini. Supaya benar-benar ada manfaat nyata bagi kehidupan kita.
Suatu waktu, istri saya mengatakan; “Kamu terlalu banyak berpikir, chayank.” Ketika itu saya masih terperangkap dihadapan layar monitor lap top, sedangkan dia sudah siap dengan perlengkapan fitness-nya. “Sekarang ikut aku ke fitness center,” katanya. Dan seperti kerbau dungu yang dicocok hidungnya, saya menurut saja. Karena memang sudah sangat lama kegiatan olah raga saya tidak lagi teratur, meskipun sangat menikmatinya. Itu bisa menjadi alternatif hiburan lain selain cream-bath di bioskop dan nonton di salon. Aih, terbalik ya? Cream-bath di salon dan nonton di bioskop. Wah, boleh juga tuch kalau membuka salon yang menyediakan personal LCD untuk memutar film box office saat menjalani cream-bath, dan didalamnya dilengkapi fasilitas fitness. (Ting…!)
Saya hendak berpindah ke area treadmills saat mata saya menempel di permukaan sebuah dinding. Ada dua buah kalimat yang sangat menarik tertulis disitu. Sungguh, saya tidak pernah merasa bosan untuk menikmati sensasi yang ditimbulkan kedua kalimat itu. Setiap kali saya datang dan membacanya, selalu ada semangat baru yang tumbuh didalam diri saya. Jadi, tidak peduli berapa kali saya melihatnya, saya tidak pernah merasa bosan membacanya. Dan kalimat itu berbunyi; ‘Motivation is what gets you started’. Untuk memulai melakukan hal besar, kita membutuhkan sesuatu yang memotivasi. Masalahnya, sebuah proyek besar atau perubahan perilaku tidak hanya bisa diselesaikan dengan sekedar memulainya. Melainkan dengan menjalaninya secara konsisten, hingga tujuan kita tercapai. Dan sepertinya kita sudah tahu bahwa para motivator disetiap seminar hanya bisa mengantarkan anda kepada tahap memulai. Jadi, tidak heran kalau begitu banyak orang yang menggebu-gebu saat keluar dari ruang seminar, dan melempem lagi di keesokan harinya.
Orang-orang antusias mempunyai trik tersendiri, yaitu; terus mengejar kemanapun dan dimanapun sang motivator menyelenggarakan seminarnya. Dengan cara itu, mereka bisa mempertahankan motivasinya agar tetap tinggi. Masalahnya, jika waktu kita dihabiskan untuk membuntuti dan mendengar mereka bicara, kapan kita bertindaknya? Lagipula, apakah kita akan terus-menerus bergantung pada sang motivator? Jika uang anda tidak cukup untuk membayar ongkos seminarnya, apakah anda masih bisa mengikuti sesi-sesinya?
Selain itu, kita perlu menerima kenyataan bahwa motivator juga manusia. Ada kalanya mereka salah. Kadang mereka terlalu sibuk untuk menerima telepon penuh rasa ingin tahu anda. Atau sekedar menjawab email anda. Jika demikian, bukankah perjalanan kita menuju pertumbuhan bisa terancam? Jadi, adakah alternatif lain selain yang itu? Tentu saja ada! Tahukah anda, bagaimana caranya? Cari motivator lain yang tidak akan pernah menomor duakan anda. Yang tidak peduli apakah saat itu anda memiliki uang atau tidak. Yang bersedia mendengarkan apapun keluhan anda. Dan yang selamanya ada disisi anda. Emangnya ada motivator seperti itu? Sebelum saya menjawabnya; maukah anda menyebut motivator yang seperti itu – jika ada – sebagai motivator sejati kelas wahid? Ya, anda tentu setuju bahwa motivator yang macam itulah yang pantas mendapatkan gelar bergengsi itu. Sebab, hanya dia yang bersedia melakukan segalanya untuk anda.
Apa tadi pertanyaan anda? ‘Emangnya ada motivator seperti itu?’ Saya bilang; ADA! Percayalah. This kind of motivator really exists here on the earth! Tahukah anda siapa dia? Dia adalah orang yang paling dekat dengan anda. Pacar? Bukan. Istri? Bukan. Anak-anak anda? Juga bukan. Jadi siapa? Anda benar; ‘diri anda sendiri’. Jika anda mampu menjadikan diri sendiri sebagai motivator utama dalam hidup anda, maka anda sudah mendapatkan the true motivational source. Dan. Itulah. Yang biasa. Kita sebut. Sebagai. Internal motivation.
Selama diri anda ada, maka selama itu pula anda termotivasi. Selama itu juga anda bersedia meneruskan perjalanan untuk bertumbuh kembang. Dan, tepat disaat anda secara konsisten mampu menjalaninya, semua berubah menjadi sebuah kebiasaan. Dan, tepat disaat sesuatu menjadi kebiasaan, anda mulai merasakan segalanya berjalan secara otomatis. Tanpa paksaan. Tanpa keharusan. Tanpa perlu energi fisikal dan emosional yang besar. Persis seperti bunyi selanjutnya dari kalimat yang tertulis didinding fitness center itu, bahwa: ‘Habit is what keeps you going’. Mengapa? Karena anda, baru saja mencapai sebuah tatanan baru yang disebut sebagai unconscious competence. Dan itulah saat dimana anda secara sempurna berhasil mengadopsi suatu perilaku, atau keterampilan baru.
Lima juta tahun yang akan datang, kita semua akan menjadi fosil. Seorang arkeolog dijaman itu menemukan puing-puing bangunan fitness center itu. Dan didinding bangunan itu, mereka menemukan sebuah tulisan kuno. Dan. Ketika diterjemahkan, tulisan itu berbunyi; ‘Motivation is what gets you started. Habit is what keeps you going’. Motivasilah yang mampu mendorong anda untuk memulai sesuatu. Sedangkan kebiasaan menjadikan anda untuk terus bertahan dijalur itu, hingga anda sampai kepada tujuan hidup yang ingin anda wujudkan. Dalam setiap seminar tentang arkeology dan antropology yang diselenggarakannya; sang arkeolog selalu menyampaikan pesan dididing fitness center kuno itu. Sebab, dia percaya bahwa; jika anda berhasil menjadikan diri anda sendiri sebagai motivator pribadi. Dan anda berhasil membangun kebiasaan-kebiasaan positif yang bisa menjamin anda terus bertahan dalam setiap perjuangan hidup. Maka. Anda benar-benar telah menjadi. Manusia modern. Yang sangat handal.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/
Catatan Kaki:
Tidak ada motivator yang lebih baik dari diri anda sendiri. Hanya saja, anda sering tidak mendengar nasihat-nasihatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)